Bercanda
atau bersenda gurau adalah salah satu bumbu dalam pergaulan di
tengah-tengah masyarakat. Ia terkadang diperlukan untuk menghilangkan
kejenuhan dan menciptakan keakraban, namun tentunya bila disajikan
dengan bagus sesuai porsinya dan melihat kondisi yang ada. Sebab, setiap
tempat dan suasana memang ada bahasa yang tepat untuk diutarakan.
Khalil bin Ahmad berkata, “Manusia dalam penjara (terkekang) apabila
tidak saling bercanda.” Pada suatu hari, al-Imam asy-Sya’bi rahimahullah
bercanda, maka ada orang yang menegurnya dengan mengatakan, “Wahai Abu
‘Amr (kuniah al-Imam asy-Sya’bi, -red.), apakah kamu bercanda?” Beliau
menjawab, “Seandainya tidak seperti ini, kita akan mati karena
bersedih.” (al-Adab asy-Syar’iyah, 2/214) Namun, jika sendau
gurau ini tidak dikemas dengan baik dan menabrak norma-norma agama, bisa
jadi akan memunculkan bibit permusuhan, sakit hati, dan trauma
berkepanjangan. Pada dasarnya, bercanda hukumnya boleh, asalkan tidak
keluar dari batasanbatasan syariat.
Sebab,
Islam tidak melarang sesuatu yang bermanfaat dan dibutuhkan oleh
manusia sebagaimana Islam melarang hal-hal yang membahayakan dan tidak
diperlukan oleh manusia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bergaullah kamu dengan manusia (namun) agamamu jangan kamu lukai.” (Shahih al-Bukhari, Kitabul Adab)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Para Sahabat Bercanda Manakala kita membuka kembali lembaran sejarah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
kita akan mendapati bahwa beliau adalah sosok yang bijak dan ramah
dalam pergaulan. Beliau bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya dan
mendudukkan orang sesuai kedudukannya. Beliau berbaur dengan sahabat dan
bercanda dengan mereka. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Nabi n bergaul (dekat) dengan kita. Sampai-sampai beliau mengatakan kepada adikku yang masih kecil, ‘Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh an-Nughair?’.” (Shahih al-Bukhari no. 6129)
An-Nughair
adalah burung kecil sebangsa burung pipit. Alkisah, Abu Umair ini
dahulu bermain-main dengan burung kecil miliknya. Pada suatu hari burung
itu mati dan bersedihlah dia karenanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengetahui hal itu mencandainya agar tenteram hatinya dan hilang kesedihannya. Maha benar Allah Subhanahu wata’ala ketika berfirman,
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benarbenar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)
Memang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
sangat dekat dengan para sahabatnya sehingga tahu persis kebutuhan dan
problem yang mereka hadapi, kemudian beliau membantu mencarikan jalan
keluarnya. Masih kaitannya dengan senda gurau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ada beberapa riwayat yang diabadikan oleh ulama hadits, di antaranya:
1. Dari Anas bin Malik, ia berkata,
“Sungguh, ada seorang lelaki meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah kendaraan untuk dinaiki. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,
‘Aku akan memberimu kendaraan berupa anak unta.’ Orang itu (heran) lalu
berkata, ‘Apa yang bisa saya perbuat dengan anak unta itu?’ Nabi n bersabda, ‘Bukankah unta betina itu tidak melahirkan selain unta (juga)?’.”(HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al- Misykat no. 4886)
Orang
ini menyangka bahwa yang namanya anak unta mesti kecil, padahal kalau
sedikit berpikir, dia tidak akan menyangka seperti itu, karena unta yang
dewasa juga anak dari seekor unta. Dalam hadits ini, di samping
mencandai orang tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
juga memberi bimbingan kepadanya dan yang lainnya agar orang yang
mendengar suatu ucapan seyogianya mencermati lebih dahulu dan tidak
langsung membantahnya, kecuali setelah tahu secara mendalam maksudnya. (Tuhfatul Ahwadzi 6/128)
2. Dahulu, ada seorang sahabat bernama Zahir bin Haram radhiyallahu ‘anhu. Dia biasa membawa barang-barang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dari badui (pedalaman) karena dia seorang badui. Apabila Zahir ingin pulang ke kampungnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mempersiapkan barang-barang yang dibutuhkan Zahir di tempat tinggalnya. Zahir ini jelek mukanya, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyenanginya. Pada suatu hari ia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjual barang dagangannya. Diam-diam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mendekapnya dari belakang. Zahir berkata,“Siapa ini? Lepaskan saya!” Zahir lalu menoleh, ternyata ia adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Zahir pun menempelkan punggungnya pada dada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata, “Siapa yang mau membeli budak ini?” Zahir berkata, “Wahai
Rasulullah, demi Allah, kalau begitu, niscaya engkau akan mendapatiku
sebagai barang (budak) yang tidak laku dijual (karena jeleknya wajah).”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Akan tetapi, engkau di sisi Allah Subhanahu wata’ala bukan orang yang tidak laku dijual.”—atau beliau bersabda—”Akan tetapi, engkau di sisi Allah Subhanahu wata’ala itu mahal.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad 3/161 dan al-Baghawi dalam Syarhu as-Sunnah)
Di sini, di samping bercanda dengan ucapan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bercanda dengan perbuatan. Ini adalah sebagian contoh senda guraunya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan, perlu diketahui bahwa senda gurau beliau adalah haq, bukan kedustaan. At-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa para sahabat bertanya,“Wahai Rasulullah, Anda mencandai kami?” Beliau bersabda,
إِنِّي لَا أَقُوْلُ إِلَّا حَقًّا
“Saya tidak berkata selain kebenaran.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1990)
Seolah-olah, mereka ingin mengatakan bahwa tidak pantas bagi beliau yang membawa risalah (tugas) dari Allah Subhanahu wata’ala dan mulia kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wata’ala untuk bercanda. Beliau pun mengatakan bahwa beliau memang bercanda, namun tidak mengatakan kecuali kebenaran. (lihat Syarhul Misykat karya ath-Thibi, 10/3140) Demikian juga para sahabat. Bakr bin Abdullah mengisahkan, “Dahulu para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (bercanda dengan) saling melempar semangka. Tetapi, ketika mereka dituntut melakukan sesuatu yang serius, mereka adalah para lelaki.” (lihat Shahih al-Adabul al-Mufrad no. 201)
Kisah di atas menunjukkan bolehnya bercanda dengan perbuatan sebagaimana ucapan. Namun, tidaklah seluruh waktu para sahabat habis untuk bersenda gurau. Mereka hanyalah melakukannya kadangkadang. Dan tampaknya, mereka di sini tidak saling melempar buah semangka, namun hanya kulitnya. Wallahu a’lam.
Bolehnya
bercanda juga tidak bisa menjadi alasan untuk menjadikannya sebagai
profesi (sebagai pelawak/ komedian, -red.). Ini adalah sebuah
kekeliruan. (Fathul Bari 10/527)
Bercanda Ada Batasannya
Ada beberapa hal yang semestinya diperhatikan oleh seorang ketika bercanda, di antaranya:
1. Tidak bercanda dengan ayat ayat Allah Subhanahu wata’ala dan hukum syariat-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman tentang Nabi Musa ‘Alahissalam ketika menyuruh kaumnya (bani Israil) untuk menyembelih sapi.
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تَذْبَحُوا بَقَرَةً ۖ قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا
هُزُوًا ۖ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” Mereka berkata,
“Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” Musa menjawab, “Aku
berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari
orang-orang yang jahil.” (al- Baqarah: 67)
Maksudnya, aku (Musa) tidaklah bercanda dalam hukum-hukum agama karena hal itu adalah perbuatan orang orang yang bodoh. (Faidhul Qadir 3/18)
2. Tidak berdusta dalam bergurau
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya saya bercanda dan saya tidaklah mengatakan selain kebenaran.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Kabir dari jalan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakannya sahih dalam Shahih al-Jami’)
3. Tidak menghina orang lain
Misalnya, menjelek-jelekkan warna kulit seseorang dan cacat fisiknya.
4. Tidak bercanda di saat seseorang dituntut untuk serius
Sebab, hal ini bertentangan dengan adab kesopanan dan bisa jadi mengakibatkan kejelekan bagi pelakunya atau orang lain.
5. Tidak mencandai orang yang tidak suka dengan candaan
Sebab, hal ini bisa menimbulkan permusuhan dan memutus tali persaudaraan.
6. Tidak tertawa terbahak-bahak
Dahulu, tawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah dengan senyuman. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita sering tertawa sebagaimana sabdanya.
لاَ تُكْثِرِ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيْتُ الْقَلْبَ
“Janganlah engkau sering tertawa, karena sering tertawa akan mematikan hati.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3400)
Al – Imam an – Nawawi rahimahullah
menerangkan, “Ketahuilah, bercanda yang dilarang adalah yang mengandung
bentuk melampaui batas dan dilakukan secara terus-menerus. Sebab, hal
ini bisa menimbulkan tawa (yang berlebihan), kerasnya hati, melalaikan
dari mengingat Allah Subhanahu wata’ala dan memikirkan hal-hal
penting dalam agama. Bahkan, seringnya berujung pada menyakiti orang,
menimbulkan kedengkian, dan menjatuhkan kewibawaan. Adapun candaan yang
jauh dari ini semua, dibolehkan, seperti yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu, namun tidak terlalu sering. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
melakukannya untuk sebuah maslahat, yaitu menyenangkan dan
menenteramkan hati orang yang diajak bicara. Yang seperti ini sunnah.
(Syarah ath-Thibi rahimahullah terhadap al-Misykat 10/3140)
7. Tidak mengacungkan/ menodongkan senjata kepada saudaranya
Terkadang,
ada orang yang bercanda dengan mengacungkan senjatanya (pisau atau
senjata api) kepada temannya. Hal ini tentu sangat berbahaya karena bisa
melukai, bahkan membunuhnya. Sering terjadi, seseorang bermainmain
menodongkan pistolnya kepada orang lain. Ia menyangka pistolnya kosong
dari peluru, namun ternyata masih ada sehingga mengakibatkan kematian
orang lain. Akhirnya dia pun menyesal karena ternyata masih tersisa
padanya “peluru setan” yang mematikan. Namun, apa mau dikata, nyawa
orang lain melayang karena kedunguannya. Ini akibat menyelisihi
bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda, “Janganlah salah seorang kalian menunjuk kepada saudaranya dengan senjata, karena dia tidak tahu, bisa jadi setan mencabut dari tangannya, lalu dia terjerumus ke dalam neraka.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Demikian pula sabda beliau (yang artinya), “Barang siapa mengacungkan besi kepada saudaranya, para malaikat akan melaknatnya, meskipun ia saudara kandungnya.” (HR. Muslim dan at- Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Larangan mengacungkan senjata kepada saudara ini bersifat umum, baik
serius maupun bercanda. Sebab, manusia menjadi target setan untuk
dijerumuskan kepada kebinasaan. Dengan sedikit saja tersulut kemarahan,
seseorang bisa tega membunuh saudaranya dengan senjata itu. Adapun
mengacungkan senjata kepada orang zalim yang menyerangnya dan akan
membunuhnya, merampas hartanya, atau melukai kehormatannya, boleh bagi
seseorang untuk menakutinakutinya dengan senjata supaya terhindar dari
kejahatannya. Apabila upaya menakuti-nakuti ini berhasil, selesailah
masalahnya. Namun, bila orang zalim itu tetap menyerang, ia boleh
melakukan perlawanan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَمَنِ
اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ
عَلَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ
الْمُتَّقِينَ
“Barang
siapa menyerang kamu, seranglah ia seimbang dengan serangannya
terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah bersama
orang-orang yang bertakwa.” (al- Baqarah: 194)
Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
melarang kita dari bercanda dengan senjata kecuali karena khawatir dari
(godaan) setan kepada orang yang beriman. Setan telah mengarahkan
perangkapnya kepada orang yang beriman agar terjerumus dalam perkara
yang menyeretnya kepada neraka dan kemurkaan Allah Subhanahu wata’ala.
Demi menutup jalan yang berbahaya ini, kita dilarang bercanda= yang
bisa menimbulkan kejelekan dan menakut-nakuti muslimin atau bahkan
mengakibatkan hilangnya nyawa. Betapa banyak petaka yang kita saksikan
karena candaan yang seperti ini. Misalnya, seseorang bercanda dengan
berteriak keras dari belakang punggung saudaranya yang sedang santai
atau di sisi telinganya sehingga dia terkejut. Semisal ini pula adalah
mengejutkan seseorang dengan memuntahkan peluru di atas kepala
saudaranya untuk menakutnakuti. Demikian pula mengejutkan orang dengan
membunyikan klakson mobil sekeras-kerasnya ketika lewat di sisinya
sehingga berdebar-debar jantungnya dan hampir copot. Ada juga mainan
ular-ularan yang mirip ular sungguhan yang dilemparkan kepada orang lain
yang tidak mengetahuinya. Ia sangka itu ular sungguhan sehingga
terkejut dan takut tidak kepalang. Sungguh, candaan yang tersebut di
atas dan semisalnya telah banyak menyisakan kepiluan dan trauma yang
mendalam.” (lihat Ishlahul Mujtama’ hlm. 36—37)
8. Mengambil harta orang dengan bercanda
Tidak
dibenarkan menurut agama seseorang bercanda dengan mengambil harta atau
barang milik saudaranya, lalu dia sembunyikan di suatu tempat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لَاعِبًا وَلَا جَادًّا وَإِنْ أَخَذَ عَصَا صَاحِبِهِ فَلْيَرُدَّهَا عَلَيْهِ
“Janganlah
salah seorang kalian mengambil barang temannya (baik) bermain-main
maupun serius. Meskipun ia mengambil tongkat temannya, hendaknya ia
kembalikan kepadanya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim. Asy-Syaikh al-Albani t menyatakan hasan dalam Shahih al-Jami’)
Sisi
dilarangnya mengambil barang saudaranya secara serius itu jelas, yaitu
itu adalah bentuk pencurian. Adapun larangan mengambil barang orang
lain dengan bergurau karena hal itu memang tidak ada manfaatnya, bahkan
terkadang menjadi sebab timbulnya kejengkelan dan tersakitinya pemilik
barang tersebut. (Aunul Ma’bud 13/346—347)
9. Tidak menakut-nakuti di jalan kaum muslimin
Menciptakan
ketenangan di tengahtengah masyarakat adalah hal yang dituntut dari
setiap individu. Tetapi, karena kebodohan dan jauhnya manusia dari
bimbingan agama, masih saja didapati orang-orang yang iseng dan bergurau
dengan menakut-nakuti di jalan yang biasa dilalui oleh orang. Bentuk
menakut – nakutinya beragam. Ada yang modusnya dengan penampakan bentuk
yang menakutkan, seperti pocongan atau suara-suara yang mengerikan,
terutama di jalan-jalan yang gelap. Model bercanda seperti ini sungguh
keterlaluan karena bisa menyisakan trauma yang berkepanjangan,
terhalanginya seseorang dari keperluannya, bahkan terhalanginya
seseorang dari masjid dan majelis-majelis kebaikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, lihat Shahihul Jami’no. 7659)
10. Berdusta untuk menimbulkan tawa
Apabila seorang bercanda dengan kedustaan, ia telah keluar dari batasan mubah (boleh) kepada keharaman. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ، وَيْلٌ لَهُ، وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah orang yang bercerita lalu berdusta untuk membuat tawa manusia, celakalah ia, celakalah ia.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim dari Mu’awiyah bin Haidah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakannya hasan dalam Shahih al-Jami’)
Ia
celaka karena dusta sendiri adalah pokok segala kejelekan dan cela,
sehingga apabila digabungkan dengan hal yang mengundang tawa yang bisa
mematikan hati, mendatangkan kelalaian, dan menyebabkan kedunguan, tentu
hal ini lebih buruk. (Faidhul Qadir 6/477) Akhirnya, kita memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala agar diberi taufik dan bimbingan- Nya untuk selalu lurus dalam berbuat dan berkata-kata.
Sumber : asysyariah.comoleh: Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar