Hari itu, di salah satu sudutnya Masjid Nabawi berkumpullah Abu Qudamah dan para sahabatnya.
Di hati para sahabatnya, Abu Qudamah
adalah orang yang sangat dikagumi. Itu karena Abu Qudamah adalah seorang
mujahid. Berjihad dari satu front ke medan-medan jihad lainnya. Seolah
hidup beliau, beliau persembahkan untuk berjihad.
Debu yang beterbangan, kilatan pedang,
hempasan anak panah, derap kuda adalah hal yang sudah biasa bagi beliau.
Pengalaman, tragedi, kisah dan momen pun telah banyak beliau saksikan
di setiap gelanggang perjuangan jihad.”Abu Qudamah, ceritakanlah pada
kami kisah paling mengagumkan di hari-hari jihadmu,” tiba-tiba salah
seorang sahabatnya meminta.
“Ya,” jawab Abu Qudamah.Beberapa tahun lalu. Aku singgah di kota Recca. Aku ingin membeli onta untuk membawa persenjataanku.
Saat aku sedang bersantai di
penginapan, keheningan pecah oleh suara ketukan.Ku buka ternyata seorang
perempuan.”Engkaukah Abu Qudamah?” tanyanya.”Engkaukah yang menghasung
umat manusia untuk berjihad?” pertanyaannya yang kedua.
“Sungguh, Allah telah menganugerahiku
rambut yang tak dimiliki wanita lain. Kini aku telah memotongnya. Aku
kepang agar bisa menjadi tali kekang kuda. Aku pun telah menutupinya
dengan debu agar tak terlihat.
Aku berharap sekali agar engkau
membawanya. Engkau gunakan saat menggempur musuh, saat jiwa
kepahlawananmu merabung. Engkau gunakan bersamaan saat kau menghunus
pedang, saat kau melepaskan anak panah dan saat tombak kau genggam erat.
Kalau pun engkau tak membutuhkan, ku
mohon berikanlah pada mujahid yang lain. Aku berharap agar sebagian
diriku ikut di medan perang, menyatu dengan debu-debu fi sabilillah.
Aku adalah seorang janda. Suamiku dan
karib kerabatku, semuanya telah mati syahid fi sabilillah. Kalau pun
syariat mengizinkan aku berperang, aku akan memenuhi seruannya,”
ungkapnya sembari menyerahkan kepangan rambutnya.
Aku hanya diam membisu. Mulutku kelu
walau tuk mengucapkan “iya”.”Abu Qudamah, walaupun suamiku terbunuh,
namun ia telah mendidik seorang pemuda hebat. Tak ada yang lebih hebat
darinya.
Ia telah menghapal Al-Qur’an. Ia mahir
berkuda dan memanah. Ia senantiasa sholat malam dan berpuasa di siang
hari. Kini ia berumur 15 tahun. Ialah generasi penerus suamiku. Mungkin
esok ia akan bergabung dengan pasukanmu. Tolong terimalah dia. Aku
persembahkan dia untuk Allah. Ku mohon jangan halangi aku dari pahala,”
kata-kata sendu terus mengalir dari bibirnya.
Adapun aku masih diam membisu. Memahami
kalimat per kalimat darinya. Lalu tanpa sadar perhatianku tertuju pada
kepangan rambutnya.”Letakkanlah dalam barang bawaanmu agar kalbuku
tenang,” pintanya.
Tahu aku memperhatikan kepangan rambutnya.
Aku pun segera meletakkannya bersama
barang bawaanku. Seolah aku tersihir dengan kata-kata dan himmah (tekad)
nya yang begitu mengharukan.Keesokan harinya, aku bersama pasukan
beranjak meninggalkan Recca.Tatkala kami tiba di benteng Maslamah bin
Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang ada seorang penunggang kuda yang
memanggil-manggil.
“Abu Qudamah!” serunya.
“Abu Qudamah, tunggu sebentar, semoga Allah merahmatimu.”
Kaki pun terhenti. Lalu aku berpesan kepada pasukan, “tetaplah di tempat hingga aku mengetahui orang ini.”
Dia mendekat dan
memelukku.”Alhamdulillah, Allah memberiku kesempatan menjadi pasukanmu.
Sungguh Dia tidak ingin aku gagal,” ucapnya.
“Kawan, singkaplah kain penutup kepalamu dahulu,” pintaku.
Ia pun menyingkapnya. Ternyata wajahnya
bak bulan purnama. Terpancar darinya cahaya ketaatan.”Kawan, apakah
engkau memiliki Abi?” tanyaku.
“Justru aku keluar bersamamu hendak
menuntut balas kematian Abi. Dia telah mati syahid. Semoga saja Allah
menganugerahiku syahid seperti Abi,” jawabnya.
“Lalu, bagaimana dengan Ummi? Mintalah
restu darinya terlebih dahulu. Jika merestui, ayo. Jika tidak, layanilah
beliau. Sungguh baktimu lebih utama dibandingkan jihad. Memang, jannah
di bawah bayangan pedang, namun juga di bawah telapak kaki ibu.”
“Duhai Abu Qudamah. Tidakkah engkau mengenaliku.”
“Tidak.”
“Aku putra pemilik titipan itu. Betapa cepatnya engkau melupakan titipan Ummi, pemilik kepangan rambut itu”
“Aku, insya Allah, adalah seorang syahid
putra seorang syahid. Aku memohon kepadamu dengan nama Allah, jangan kau
halangi aku ikut berjihad fi sabilillah bersamamu. Aku telah
menyelesaikan Al-Qur’an. Aku juga telah mempelajari Sunnah Rasul. Aku
pun lihai menunggang kuda dan memanah.Tak ada seorang pun lebih berani
dariku. Maka, janganlah kau remehkan aku hanya karena aku masih belia.”
Ummi telah bersumpah agar aku tidak
kembali. Beliau berpesan; Nak, jika kau telah melihat musuh, jangan
pernah kau lari. Persembahkanlah ragamu untuk Allah. Carilah kedudukan
di sisi Allah. Jadilah tetangga Abimu dan paman-pamanmu yang sholeh di
jannah. Jika nantinya kau menjadi syahid, jangan kau lupakan Ummi.
Berilah Ummi syafa’at. Aku pernah mendengar faedah bahwa seorang syahid
akan memberi syafaat untuk 70 orang keluarganya dan juga 70 orang
tetangganya. Ummi pun memelukku dengan erat dan mendongakkan kepalanya
ke langit;
Rabbku.. Maulaku.. Inilah putraku,
penyejuk jiwaku, buah hatiku.. aku persembahkan ia untukmu. Dekatkanlah
ia dengan ayahnya,” terang sang pemuda.Kata-katanya terus mendobrak
tanggul air mataku. Dan akhirnya aku benar-benar tak kuasa menahannya.
Aku tersedu-sedu. Aku tak tega melihat wajahnya yang masih muda, namun
begitu tinggi tekadnya. Aku pun tak bisa membayangkan kalbu sang ibu.
Betapa sabarnya ia.Melihatku menangis, sang pemuda bertanya, “Paman, apa
gerangan tangisanmu ini? Jika sebabnya adalah usiaku, bukankah ada
orang yang lebih muda dariku, namun Allah tetap mengadzabnya jika
bermaksiat !?”
“Bukan,” aku segera menyanggah.
“Bukan lantaran usiamu. Namun aku menangis karena kalbu ibumu. Bagaimana jadinya nanti jika engkau gugur?”
Akhirnya aku menerimanya sebagai bagian
dari pasukan. Siang malam si pemuda tak pernah jemu berdzikir kepada
Allah Ta’ala. Saat pasukan bergerak, ia yang paling lincah mengendalikan
kuda. Saat pasukan berhenti istirahat, ia yang paling aktif melayani
pasukan. Semakin kita melangkah, tekadnya juga semakin membuncah,
semangatnya semakin menjulang, kalbunya semakin lapang dan tanda-tanda
kebahagiaan semakin terpancar darinya.
Kami terus berjalan menyusuri hamparan
bumi nan luas. Hingga kami tiba di medan laga bersamaan dengan
bersiap-siapnya matahari untuk terbenam.Sesampainya, sang pemuda
memaksakan diri menyiapkan hidangan berbuka untuk pasukan. Memang, hari
itu kami berpuasa. Dan dikarenakan hal inilah juga khidmatnyakepada
pasukan selama perjalanan, dia tertidur pulas. Pulas sekali hingga kami
iba membangunkan. Akhirnya, kami sendiri yang menyiapkannya
danmembiarkan si pemuda tidur. Saat tidur, tiba-tiba bibirnya mengembang
menghiasi wajahnya.”Lihatlah, ia tersenyum!” kataku pada teman
keheranan.
Setelah bangun, aku bertanya padanya, “kawan, saat tertidur kau tersenyum. Apa gerangan mimpimu?”
“Aku mimpi indah sekali. Membuatku bahagia,” jawabnya.”Ceritakanlah padaku!” pintaku penasaran.”
Aku seperti di sebuah taman hijau nan
permai. Indah sekali. Pemandangannya menarik kalbuku untuk
berjalan-jalan.Saat asyik berjalan, tiba-tiba aku berdiri di depan
istana perak, balkonnya dari batu permata dan mutiara serta
pintu-pintunya dari emas.Sayang, tirai-tirainya terjuntai, menghalangiku
dari bagian dalam istana. Namun tak lama, keluarlah gadis-gadis
menyingkap tirai-tirainya.
Sungguh wajah mereka bagaikan rembulan.
Kutatap wajah-wajah cantik itu dengan penuh kekaguman, amboi
cantiknya.”Marhaban,” kata salah seorang dari mereka tahu ku
memandanginya.
Aku pun tak tahan hendak menjulurkan
tangan menyentuhnya. Belum sampai tangan ini menyentuh, dia berkata,
“Belum. Ini belum waktunya. Janganlah terburu-buru.”
Telingaku juga menangkap sebuah suara salah seorang mereka, “Ini suami Al Mardhiyah.”
Mereka berkata kepadaku,”kemarilah, yarhamukalloh.”
Baru saja kakiku hendak melangkah, ternyata mereka telah berdiri di depanku.
Mereka membawaku ke atas istana. Di
sebuah kamar, seluruhnya dari emas merah yang berkilauan indahnya. Dalam
kamar itu ada dipan yang bertahtakan permata hijau dan kaki-kakinya
terbuat dari perak putih. Dan di atasnya. . .seorang gadis belia dengan
wajah bersinar lebih indah dari sekedar rembulan!!
Kalaulah Allah tidak memantapkan kalbu
dan penglihatanku, niscaya butalah mataku dan hilanglah akalku karena
tak kuasa menatap kecantikannya!!
“Marhaban, ahlan wa sahlan, duhai wali
Allah. Sungguh engkau adalah milikku dan aku adalah milikmu” katanya
menyambutku, membuatku tak terasa hendak memeluknya.”Sebentar. Janganlah
terburu-buru. Belum waktunya. Aku berjanji padamu, kita bertemu besok
selepas sholat dhuhur. Bergembiralah,” sang pemuda mengakhiri kisahnya.
Lalu, aku berusaha membangkitkan himmahnya, “Kawan, mimpimu begitu
indah. Engkau akan melihat kebaikan nantinya.” Kami pun bermalam dengan
perasaan takjub dan kagum akan mimpi sang pemuda.
Esok hari, kami bersiap menghadapi kaum
kafir. Barisan diluruskan, formasi dan strategi dimatangkan, senjata
tergenggam kuat dan tali kekang kuda dipegang erat.Semangat pun semakin
berkobar saat mendengar hasungan, “wahai segenap para tentara Allah,
tunggangilah kuda-kuda kalian. Bergembiralah dengan jannah. Majulah
kalian, baik terasa ringan oleh kalian ataupun terasa berat.”
Tak lama, skuadron pasukan kuffar tiba
di hadapan kami. Banyak sekali, bagaikan belalang yang menyebar
kemana-mana.Perang campuh pun terjadi. Kesunyian pagi hari sontak
terpecah oleh teriakan skuadron kuffar dan gema takbir kaum muslimin.
Suara senjata yang saling beradu, berbaur dengan riuh rendah suara para
prajurit yang sedang bertaruh nyawa.Tiba-tiba aku mengkhawatirkan pemuda
itu. Iya, dimana pemuda itu…Dimana pemuda itu ? Ku berusaha mencari di
tengah medan laga. Ternyata dia di barisan depan pasukan muslimin. Dia
merangsek maju, menyibak skuadron kuffar dan memporak porandakan barisan
mereka.
Dia bertempur dengan hebatnya. Dia
mampu melumpuhkan begitu banyak pasukan kuffar. Namun begitu, tetap saja
hati ini tak tega melihatnya. Aku segera menyusulnya di depan.
“Kawan, kau masih terlalu muda. Kau tak
tahu betapa liciknya pertempuran.Kembalilah ke belakang,” teriakku
mencoba menyaingi suara riuh pertempuran, sambil menarik tali kekang
kudanya.
“Paman, tidakkah kau membaca ayat {{
wahai segenap kaum mukmin, jika kalian telah bercampuh dengan kaum
kuffar, maka janganlah kalian mundur ke belakang }} [Al Anfal:15].
Sudikah engkau aku masuk neraka ?” serunya menimpali. Saat kucoba
memahamkannya, serbuan kavelari kuffar memisahkan kami. Aku berusaha
mengejarnya, namun sia-sia. Peperangan semakin bergejolak.
Dalam kancah pertempuran, terdengarlah
derap kaki kuda diiringi gemerincing pedang dan hujan panah.Lalu
mulailah kepala berjatuhan satu persatu. Bau anyir darah tercium
dimana-mana. Tangan dan kaki bergelimpangan.Dan tubuh tak bernyawa
tergeletak bersimbah darah. Demi Allah, perang itu telah menyibukkan
tiap orang akan dirinya sendiri dan melalaikan orang lain. Sabetan dan
kilatan pedang di atas kepala yang tak henti-hentinya,menjadikan suhu
memuncak. Kedua pasukan bertempur habis-habisan.
Saat perang usai, aku segera mencari si
pemuda. Terus mencari di medan laga. Aku khawatir dia termasuk yang
terbunuh. Aku berkeliling mengendarai kuda di sekitar kumpulan korban.
Mayat demi mayat, sungguh wajah mereka tak dapat dikenali, saking
banyaknya darah bersimbah dan debu menutupi.
Dimana sang pemuda ? Aku terus
melanjutkan pencarian. Dan tiba-tiba aku mendengar suara lirih, ”Kaum
muslimin, panggilkan pamanku Abu Qudamah kemari!”
Itu suaranya, teriakku dalam kalbu.
Kucari sumber suara, ternyata benar, si pemuda. Berada di tengah-tengah
kuda bergelimpangan.Wajahnya bersimbah darah dan tertutup debu. Hampir
aku tak mengenalnya.
Aku segera mendatanginya. “Aku di sini!
Aku di sini! Aku Abu Qudamah!” isakku tak kuasa menahan tangis. Aku
sisingkan sebagian kainku dan mengusap darah yang menutupi wajah
polosnya.”Paman, demi Rabb ka’bah, aku telah meraih mimpiku. Akulah
putra ibu pemilik rambut kepang itu. Aku telah berbakti padanya, ku
kecup keningnya dan ku hapus debu dan darah yang terkadang mengalir di
wajahnya,” kenangnya. Sungguh aku benar-benar tak kuasa dengan kejadian
ini.
“Kawan, janganlah kau lupakan pamanmu ini. Berilah dia syafa’at nanti di hari kiamat.”
“Orang sepertimu tak kan pernah
kulupakan.””Jangan!” serunya lagi saat kucoba mengusap wajahnya. “Jangan
kau usap wajahku dengan kainmu. Kainku lebih berhak untuk itu.
Biarkanlah darah ini mengalir hingga aku menemui Rabb-ku, paman.
Paman, lihatlah, bidadari yang pernah
kuceritakan padamu ada di dekatku. Dia menunggu ruhku keluar.
Dengarkanlah kata-katanya; sayang, bersegeralah. Aku rindu.Paman, demi
Allah, tolong bawalah bajuku yang berlumuran darah ini untuk Ummi.
Serahkanlah padanya, agar beliau tahu aku tak pernah menyia-nyiakan
petuahnya. Juga agarbeliau tahu aku bukanlah pengecut melawan kaum kafir
yang busuk itu. Sampaikanlah salam dariku dan katakan hadiahmu telah
diterima Allah.Paman, saat berkunjung ke rumah nanti, kau akan bertemu
adik perempuanku. Usianya sekitar sepuluh tahun. Jika aku datang, ia
sangat gembira menyambutku. Dan jika aku pergi, ia paling tidak mau
kutinggalkan.
Saat ku meninggalkannya kali ini, ia
mengharapkanku cepat kembali. “Kak, cepat pulang, ya.” Itulah
kata-katanya yang masih terngiang di telingaku. Jika engkau bertemu
dengannya, sampaikan salamku padanya dan katakan; Allah-lah yang akan
menggantikan kakak sampai hari kiamat, ” kata-katanya terus membuat air
mataku meleleh. Menetes dan terus menetes membuat aliran sungai di
pipi.”Asyhadu alla ilaaha illalloh, wahdahu laa syarikalah, sungguh
benar janji-Nya. Wa asyhadu anna muhammadarrosululloh. Inilah apa yang
dijanjikan Allah dan rasul-Nya dan nyatalah apa yang dijanjikan Allah
dan rasul-Nya,” itulah kata-kata terakhirnya sebelum ruh berlepas dari
jasadnya. Lalu aku mengkafaninya dan menguburkannya.Aku harus segera ke
Recca, tekadku. Aku segera pergi ke Recca. Tak lain dan tak bukan
tujuanku hanyalah ibu si pemuda.
Celakanya aku, aku belum mengetahui
nama si pemuda dan dimana rumahnya. Aku berkelililing ke seluruh kota
Recca. Setiap sudut, gang dan jalan ku telusuri. Dan akhirnya aku
mendapatkan seorang gadis mungil. Wajahnya bersinar mirip si pemuda.
Ia melihat-lihat setiap orang yang
berlalu di depannya. Tiap kali melihat orang baru datang dari bepergian,
ia bertanya, “Paman, anda datang darimana?”
“Aku datang dari jihad,” kata lelaki itu.
“Kalau begitu kakakku ada bersamamu?” tanyanya
“Aku tak kenal, siapa kakakmu.” kata lelaki itu sambil berlalu.
Lalu lewatlah orang kedua dan tanyanya, “Paman, anda datang dari mana?”
“Aku datang dari jihad,” jawabnya.
“Kakakku ada bersamamu?”, tanya gadis itu.
“Aku tak kenal, siapa kakakmu.” jawabnya sambil berlalu.
Gadis itu pun tak bisa menahan rindu
kepada sang kakak. Sambil terisak-isak, dia berkata,”mengapa mereka
semua kembali dan kakakku tak kunjung kembali?”
Aku iba kepadanya. Ku coba menghampiri tanpa membawa ekspresi kesedihan.
“Adik kecil, bilang sama Ummi, Abu Qudamah datang.”
Mendengar suaraku, sang ibu keluar.”Assalamu’alaiki,” salamku.”Wa’alaikum salam,” jawabnya.
“Engkau ingin memberiku kabar gembira atau berbela sungkawa?” lanjutnya.
“Maksud, ibu ?”
“Jika putraku datang dengan selamat,
berarti engkau berbela sungkawa. Jika dia mati syahid, berarti engkau
kemari membawa kabar gembira,” terangnya.”Bergembiralah. Allah telah
menerima hadiahmu.”
Ia pun menangis terharu.
“Benarkah?”
“Iya.
“Benar-benar ia tak kuasa menahan
tangis.”Alhamdulillah.Segala puji milik Allah yang telah menjadikannya
tabunganku di hari kiamat,” pujinya kepada Zat Yang Maha Kuasa.
Para sahabat Abu Qudamah mendengarkan
kisahnya dengan penuh kekaguman.”Lalu gadis kecil itu bagaimana?” tanya
salah seorang dari mereka.”Dia mendekat kepadaku. Dan kukatakan padanya,
“Kakakmu menitipkan salam padamu dan berkata; Dik, Allah-lah yang
menggantikanku sampai hari kiamat nanti”. Tiba-tiba dia menangis
sekencang-kencangnya. Wajahnya pucat. Terus menangis hingga tak sadarkan
diri. Dan setelah itu nyawanya tiada.
Sang ibu mendekapnya dan menahan sabar
atas semua musibah yang menimpanya.Aku benar-benar terharu melihat
kejadian ini. Aku serahkan padanya sekantong uang, berharap bisa
mengurangi bebannya.Sang ibu pun melepas kepergianku. Aku meninggalkan
mereka dengan kalbu yang penuh kekaguman, ketabahan sang ibu, sifat
ksatria sang pemuda dan cinta gadis kecil itu kepada kakaknya…(SELESAI)
—————————————————————-
Ya Rohman Ya Rohiim Kabulkanlah seuntai
do’a kami. Memang terasa berat meniti jalan jannah-Mu. Syahwat yang
selalu menyambar, Syubhat yang terus menghantam, setan yang tak pernah
menyerah dan nafsu jahat yang senantiasa memberontak. Sedangkan kalbu
ini lemah, ya Rabb.Kalaulah bukan karena-Mu, tidaklah kami ini berislam.
Tidak pula mengerjakan sholat, tidak pula bersedekah.Teguhkanlah kaki
kami di atas jalan-Mu ini !
————————————————–
Penerjemah : Al-Akh Yahya Al-Windany
Diterjemahkan dengan beberapa editing tanpa merubah tujuan dan makna dari Kitab ‘Uluwwul Himmah indan Nisaa’, 212-217.
Lihat juga:
1. Masyari’ul Asywaqi ila Mashori’il Usysyaqi: 1/285-290.2.
Sifatush Shofwah: 2/369-3703.
Tarikh Islam: 1/214-215
————————————————–
Semoga Bermanfaat ! Baarakallahufiykum.
Di kutip dari: Postingan abu Tsabit di Majmu’ah WIC ( warta ikhwah cikarang)
(Tholibul Ilmi Cikarang)
Makkah Fajr - 25th November 2024
-
*Makkah Fajr *
(Surah Ale ‘Imraan: Ayaah 98-115) *Sheikh Juhany*
Download 128kbps Audio
3 jam yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar