Walimah
adalah sebutan untuk undangan makan. Secara bahasa walimah menurut
Ibnul A’robiy adalah berkumpulnya orang-orang untuk makanan yang
dihidangkan dalam suasana kegembiraan. Definisi ini dinisbatkan kepada
asy-Syafi’i dan para Sahabatnya, Ibnu Abdil Bar dari para Ahli Bahasa
(Arab) (al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab karya anNawawiy (16/393)).
Walimah itu ada 3 macam:
1Walimah yang terkait dengan syariat, karena ada perintah khusus untuk mengerjakannya. Maka ini adalah Sunnah.
Contoh : Walimah Urs (pernikahan) dan walimah yang terkait dengan kelahiran, yaitu ‘aqiqoh.
Konotasi kata walimah secara asal adalah utk hidangan makanan pada pernikahan.
Nabi memerintahkan kepada Abdurrohman bin Auf untuk menyelenggarakan walimah setelah beliau menikah:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Adakan walimah meski dengan seekor kambing (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik).
Memang
walimah tidak terkait dengan keabsahan pernikahan. Artinya, jika karena
suatu sebab hanya akad nikah namun tidak ada walimah maka yang demikian
pernikahannya tetap sah. Sebagaimana dijelaskan dalam salah satu Fatwa
al-Lajnah ad-Daimah.
Tentang aqiqah, Nabi shollallahu alaihi wasallam menyatakan:
الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
Anak
(yang baru lahir) tergadaikan dengan aqiqahnya. Ia disembelihkan
(kambing) pada hari ketujuh (kelahiran), diberi nama, dan dipotong
rambutnya (H.R atTirmidzi, Ibnu Majah)
2⃣Walimah yang tidak terkait dengan syariat, hanya adat.
Maka yang demikian boleh dilaksanakan selama:
a) Tidak memberatkan b) Tidak ada keyakinan tertentu bahwa walimah itu bisa menyebabkan hal tertentu (menolak musibah, dsb). c) Orang yang meninggalkan atau tidak mengerjakannya tidak dicela. d) Tidak ada acara-acara pendukung di dalamnya yang mengandung kesyirikan, kebid’ahan, atau kemaksiatan. e) Tidak dijadikan sebagai sunnah (kebiasaan terus menerus dan dijadikan syiar
Contoh
walimah yang tidak terkait dengan syariat ini adalah: walimah untuk
yang menempati rumah baru. Selama tidak diiringi keyakinan yang batil
bahwa walimah itu bisa mencegah datangnya keburukan dan tidak dijadikan
sebagai hal yang terkait syariat, maka tidak mengapa. Tapi kalau itu
dijadikan sebagai sunnah, sehingga kalau menempati rumah baru kemudian
tidak ada walimah-nya terasa tidak afdhal, maka yang demikian tidak
boleh.
Terdapat Fatwa Syaikh Sholih al-Fauzan dalam hal ini:
لقد
انتقلنا إلى بيت جديد ونريد أن نعد وليمة بقصد التعريف بالمنزل وجمع
الجيران والأقارب والأصدقاء، فما حكم ذلك ؟ لا بأس بعمل الوليمة بمناسبة
النزول في بيت جديد لجمع الأصدقاء والأقارب إذا كان هذا من باب الفرح
والسرور، أما إن صاحب ذلك اعتقاد أن هذه الوليمة تدفع شر الجن، فهذا العمل
لا يجوز، لأنه شرك واعتقاد فاسد، أما إذا كان من باب العادات فلا بأس به .
Pertanyaan:
Kami telah berpindah ke rumah baru. Kami ingin mempersiapkan walimah
dengan tujuan mengenalkan rumah baru dan mengumpulkan tetangga-tetangga,
saudara, dan teman-teman. Apa hukum yang demikian?
Jawaban:
Tidak
mengapa mengadakan walimah karena menempati rumah baru dengan
mengumpulkan teman dan kaum kerabat jika hal ini termasuk memberikan
kegembiraan. Sedangkan orang yang meyakini bahwa walimah ini bisa
mencegah keburukan Jin, maka amalan ini tidak diperbolehkan. Karena itu
adalah kesyirikan dan i’tiqod yang buruk. Adapun jika termasuk hal yang
terkait adat (bukan ibadah, pent) maka yang demikian tidak mengapa
(al-Muntaqa min Fataawa al-Fauzan (94/16)).
Contoh lain walimah yang masuk kategori ini adalah walimatul khitan. Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fataawa membolehkannya.
Demikian juga dengan walimah yang diadakan oleh seseorang yang baru mendapatkan keselamatan dari musibah.
Terdapat Fatwa Syaikh Ibn Sholih al-Utsaimin rahimahullah dalam hal tersebut:
السؤال فضيلة الشيخ! ما حكم إقامة الوليمة بمناسبة سلامة الشخص من الحادث؟ الجواب
لا حرج على الإنسان إذا سلم من حادث أن يصنع طعاماً ويوزعه على الفقراء
شكراً لله تعالى على هذه النعمة, ولهذا قال كعب بن مالك : (إن من توبتي أن
أنخلع من مالي صدقة إلى الله ورسوله). وأما أن يصنع طعام ويدعى إليه
الأحباب والأقارب والجيران فهذا ليس بقربة، ولكنه ليس ببدعة؛ لأنه لا يتخذ
على أنه عبادة، ولكنه من باب الفرح، فلا بأس به .
Pertanyaan: Fadhilatusy Syaikh ! Apa hukum menegakkan walimah karena keselamatan seseorang dari suatu kecelakaan?
Jawaban:
Tidak mengapa bagi seseorang jika selamat dari suatu kecelakaan untuk
membuat makanan dan membagikannya kepada fakir miskin sebagai bentuk
syukur kepada Allah Ta’ala atas kenikmatan tersebut. (Sahabat Nabi)
Ka’ab bin Malik berkata: Sesungguhnya termasuk bagian dari taubatku
adalah aku menyerahkan hartaku sebagai shodaqoh kepada Allah dan
RasulNya. Adapun membuat makanan dan mengundang orang-orang tercinta,
karib kerabat, dan tetangga maka ini bukanlah qurbah (ibadah). Hal ini
bukan bid’ah. Karena ia tidak menjadikannya sebagai ibadah. Tetapi
karena bergembira. Maka yang demikian tidak mengapa (Liqo’ al-Baab
al-Maftuh (102/7)).
Contoh
lain walimah yang masuk kategori ini adalah walimah karena baru pulang
dari safar. Ungkapan syukur karena diberi keselamatan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menyatakan:
ومثل
ذلك ما يفعله بعض الناس عند القدوم من السفر يدعو أقاربه وجيرانه شكرا لله
على السلامة فإن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا قدم من سفر نحر جزورا
ودعا الناس لذلك عليه الصلاة والسلام
Dan
semisal dengan itu adalah apa yang dilakukan sebagian orang ketika baru
datang dari safar mengundang para kerabat dan tetangga sebagai bentuk
syukur kepada Allah karena diberi keselamatan. Karena Nabi
alaihishholaatu was salaam jika beliau pulang dari safar beliau
menyembelih unta dan mengundang manusia untuk hidangan itu (Nuurun alad
Darb, kaset no 837).
3Walimah yang terlarang.
Contoh:
walimah yang diadakan dalam suasana duka meninggalnya seseorang. Para
Sahabat Nabi menganggapnya sebagai niyahah (meratap).
عَنْ
جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ كُنَّا نَرَى
الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنْ
النِّيَاحَةِ
Dari
Jarir bin Abdillah al-Bajaliy beliau berkata: Kami menganggap
berkumpulnya orang-orang di tempat keluarga mayit dan mereka membuatkan
makanan adalah termasuk meratap (niyahah)(riwayat Ibnu Majah dan Ahmad)
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan:
وَأَكْرَهُ
النِّيَاحَةَ على الْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَأَنْ تَنْدُبَهُ
النَّائِحَةُ على الِانْفِرَادِ لَكِنْ يُعَزَّى بِمَا أَمَرَ اللَّهُ عز
وجل من الصَّبْرِ وَالِاسْتِرْجَاعِ وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ
الْجَمَاعَةُ وَإِنْ لم يَكُنْ لهم بُكَاءٌ فإن ذلك يُجَدِّدُ الْحُزْنَ
Saya
membenci meratapi mayit setelah kematiannya dan aku tidak suka untuk
menganggap baik bagi orang yang meratap dibiarkan sendiri. Akan tetapi
semestinya dilakukan takziyah terhadapnya (dikuatkan hatinya) sesuai
dengan yang Allah perintahkan berupa kesabaran dan istirja’ (mengucapkan
inna lillaahi wa innaa ilahi rooji’un). Dan saya tidak menyukai
al-Ma’tam, yaitu berkumpulnya orang-orang (di tempat mayit) meskipun di
sana tidak ada tangisan. Karena yang demikian akan memperbaharui
perasaan sedih (al-Umm (1/279)).
Walimah pada dasarnya dilakukan dalam suasana kegembiraan, bukan karena duka cita.
Hal
lain yang perlu diperhatikan dalam walimah adalah jangan hanya
mengundang orang kaya saja, tapi yang perlu mendapat perhatian khusus
adalah orang-orang fakir/ miskin.
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ
Seburuk-buruk
makanan adalah makanan walimah, yang diundang padanya adalah para orang
kaya dan ditinggalkan orang-orang fakirnya (H.R al-Bukhari dan Muslim
dari Abu Hurairah)
Sumber : salafy.or.id
Ditulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar