Sistem
kepartaian lahir sebagai konsekuensi logis dari demokratisasi yang
bergulir. Demokrasi adalah sebuah paham yang lahir dari pemikiran
filsafat Yunani. Dengan tiga pilar inti: liberty (kebebasan), fraternity
(persaudaraan), dan equality (persamaan), paham demokrasi dijajakan
secara paksa ke negeri-negeri kaum muslimin.
Negara
yang paling getol memompakan paham ini adalah Amerika Serikat (AS).
Melalui beragam cara, negeri Paman Sam ini terus melakukan
neo-kolonialisme (penjajahan gaya baru) dengan meracuni negeri-negeri
kaum muslimin dengan paham Yunani satu ini. Meski senyatanya, di negeri
AS sendiri, paham demokrasi ini tidak begitu keras nilai jualnya.
Terbukti, setiap kali diadakan pemilihan umum, hanya kalangan tertentu
saja yang berpartisipasi dalam pemilu. Banyak warga AS yang tidak
memedulikan pesta demokrasi di sana. Banyak warga negaranya yang golput.
Sebuah ironi yang sangat kontras dari sebuah negara kolonialis AS yang
mempropagandakan demokratisme, namun di negaranya sendiri tak diminati
warganya. Rakyat AS yang menggunakan hak pilih dalam enam pemilu
terakhir, ternyata tak mencapai jumlah 60%. Tahun 1988 hanya 50,1%,
1992: 55,1%, 1996: 49,1%, 2000: 51,3%, 2004: 55,3%, dan tahun 2008:
56,8%. Dari angka-angka yang dikeluarkan Federal Election Commision
(semacam lembaga Komisi Pemilihan Umum [KPU] di Indonesia), nyata bahwa
nyaris separuh penduduk AS yang punya hak pilih tidak menggunakan hak
pilihnya alias golput.
Vox
populi vox dei, suara rakyat adalah suara tuhan. Dengan jargon ini,
sistem demokrasi mengeksplorasi rakyat untuk terlibat aktif. Kemenangan
peserta pemilu ditentukan dari perolehan suara terbanyak. Tak
memedulikan apakah peserta pemilu yang menang tersebut memiliki kualitas
yang handal atau tidak untuk mengurusi negara. Tak peduli pula, apakah
yang dipilih tersebut bisa dipertanggungjawabkan moralitasnya atau
tidak. Selama pemenang pemilu tersebut meraup suara yang mumpuni, maka
berhak untuk mengelola negara. Rakyatlah yang menentukan seseorang
mendapatkan kursi atau tidak. Padahal, dari berbagai strata (lapisan)
masyarakat, tak seluruhnya (bahkan sebagian besar) tidak memahami benar
kualitas dan moralitas calon yang dipilihnya. Karenanya, tak
mengherankan bila kemudian terjadi politik “bagi-bagi uang” guna
memenangkan calon peserta pemilu. Rakyat didekati, agar mau memberikan
suaranya untuk sang calon. Janji-janji disebar, guna memikat rakyat.
Sebuah fenomena menebar ambisi mereguk jabatan. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah menasihati Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu untuk
tidak meminta-minta kedudukan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
Al-Imam Al-Bukhari (no. 7146) dan Al-Imam Muslim (no. 1652), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لاَ تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ
إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا، وَإِنْ
أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا
“Wahai
Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena
sungguh, jika engkau diberi kedudukan tanpa memintanya, niscaya engkau
akan ditolong (Allah Subhanahu wa ta’ala) atas kedudukan (yang
ada padamu). Sedangkan jika kedudukan tersebut diperoleh dari hasil
meminta, engkau bakal dibebani kedudukan tersebut (tidak ditolong Allah Subhanahu wa ta’ala).”
Sistem
demokrasi telah membuka peluang antar elit politik dan antar konstituen
(pendukung) partai saling berbenturan. Masing-masing memiliki
kepentingan dan fanatisme kepartaian yang membabi buta. Karena itu,
seringkali wahana pesta demokrasi diwarnai aksi-aksi brutal vandalis
(merusak), penganiayaan fisik, dan pembunuhan rival politik. Konflik di
tingkat elit diikuti pula dengan konflik di di level bawah. Sebut saja
kasus kegagalan Megawati terpilih menjadi presiden, telah menimbulkan
aksi kekerasan di tingkat lokal. Pembakaran Gedung Walikota Surakarta
merupakan imbas pertarungan elit politik di ibukota negara. Demikian
pula yang terjadi di Surabaya, Pasuruan, atau wilayah tapal kuda Jawa
Timur. Pembakaran kantor Golkar, aksi penebangan pohon, dan perusakan
sarana milik masyarakat merupakan dampak pertikaian antar elit politik
di level atas. Para elit politik berebut kedudukan, mengumbar ambisi
untuk meraih posisi utama kekuasaan. Berdasarkan hadits dari Abu
Hurairah z, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan tentang ambisi liar untuk merebut kekuasaan. Kata beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sungguh kalian akan berambisi untuk meraih kepemimpinan dan kelak kalian akan menyesal di hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 7148)
Kehidupan
berpartai telah mencabik-cabik ukhuwah Islamiyah. Padahal ukhuwah
(persaudaraan) sesama muslimin merupakan nikmat dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Firman-Nya:
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ
اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ
فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ
مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ
لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu
dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan
hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang
bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103)
Bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan
kepada kelompok-kelompok yang saling bertikai dan berperang di kalangan
kaum muslimin untuk melakukan langkah-langkah perdamaian. Hingga
ukhuwah di antara mereka yang baku tikai bisa terajut kembali. Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan bertakwa agar memperoleh rahmat. Firman-Nya:
وَإِنْ
طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ
فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي
تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ
فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ. إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا
بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ.
“Dan
jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang
berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.
Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah Subhanahu wa
ta’ala), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku
adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah
antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu
mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 9-10)
Allah Subhanahu wa ta’ala akan
mencurahkan rahmat kepada orang-orang beriman manakala mereka menjaga
ukhuwah, saling menolong dalam kemaslahatan. Inilah yang Allah Subhanahu wa ta’ala perintahkan kepada orang-orang beriman agar tetap menjaga ukhuwah. Firman-Nya:
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ
وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ
سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)
Lantas,
apa yang mereka peroleh setelah sistem yang dijejalkan orang-orang
kafir ini ditelan mentah-mentah oleh sebagian kaum muslimin? Tak lain
kecuali merobek jalinan persaudaraan sesama muslim. Hubungan keluarga
menjadi tidak harmonis lantaran satu anggota keluarga dengan anggota
keluarga yang lainnya berbeda atribut partai. Hubungan tetangga menjadi
tidak nyaman lantaran satu dengan yang lain berbeda partai. Begitulah
buah yang bisa dipetik dari sebuah sistem bernama demokrasi.
Bagi
sebagian masyarakat yang benar-benar mencermati proses demokratisasi di
negeri ini, sebagian dari mereka cenderung untuk tidak terlibat sebagai
partisipan alias golput. Sikap apatis, acuh tak acuh terhadap
pelaksanaan pemilu lebih disebabkan melihat hasil proses demokratisasi
itu sendiri. Yang senyatanya, jika berbicara jujur, bahwa demokratisasi
tidaklah akan memberi kebaikan kepada masyarakat. Rakyat hanya dijadikan
kuda tunggangan agar elit politik bisa merebut kursi, setelah itu
rakyat dilupakan dan mereka sibuk membesarkan partai serta keadaan
dirinya. Demokrasi telah turut andil menanamkan sikap sinis rakyat
terhadap elit politik mereka. Maka, persepsi bahwa politik itu kotor,
menyeruak kembali di benak masyarakat. Berpolitik tidak lebih dari
sekadar perebutan kekuasaan dengan memperalat rakyat.
Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdillah Al-Imam, salah seorang ulama Yaman, mengungkapkan
bahwa pemilu termasuk aktivitas menyekutukan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Perbuatan tersebut dikategorikan dalam syirku ath-tha’ah (syirik
ketaatan). Ini dilihat dari sisi bahwa pemilu merupakan bagian dari
sistem aturan (an-nizham) demokrasi. Sedangkan demokrasi adalah sebuah
sistem aturan yang berasal dari musuh-musuh Islam agar kaum muslimin
berpaling dari keyakinan agamanya. Barangsiapa ridha dengan sistem
aturan tersebut, turut menyebarluaskannya dan meyakini kebenarannya,
maka sungguh dia telah menaati musuh-musuh Islam dalam upaya menyelisihi
perintah Allah Azza wa Jalla. Ini benar-benar kesyirikan dalam ketaatan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَفَرَرْتُ
مِنْكُمْ لَمَّا خِفْتُكُمْ فَوَهَبَ لِي رَبِّي حُكْمًا وَجَعَلَنِي مِنَ
الْمُرْسَلِينَ. وَتِلْكَ نِعْمَةٌ تَمُنُّهَا عَلَيَّ أَنْ عَبَّدْتَ
بَنِي إِسْرَائِيلَ.
“Apakah
mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada
ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah
dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh
azab yang amat pedih. Kamu lihat orang-orang yang zalim sangat
ketakutan karena kejahatan-kejahatan yang telah mereka kerjakan,
sedangkan siksaan menimpa mereka.” (Asy-Syura: 21-22)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
ذَٰلِكَ
بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللَّهُ
سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ ۖ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِسْرَارَهُمْ
“Yang
demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu
berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah
(orang-orang Yahudi): ‘Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan’.” (Muhammad: 26)
Firman-Nya pula:
وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Al-An’am: 121)
[Tanwiru Azh-Zhulumati bi
Kasyfi Mafasidi wa Syubuhati Al-Intikhabat, hal. 39]
Sungguh
naif sekali bila ada yang berpandangan bahwa sistem demokrasi bisa
menjadi wasilah (sarana) bagi tegaknya syariat Islam. Bagaimana mungkin
seseorang menegakkan syariat Islam, sementara jalan yang ia tempuh untuk
menegakkan syariat Islam itu sendiri bertentangan dengan syariat.
Justru saat dirinya menempuh jalan tersebut (demokrasi) senyatanya dia
tengah meruntuhkan nilai-nilai syariat Islam. Sadar atau tidak, dirinya
tengah berkolaborasi (bekerja sama) dengan musuh-musuh Islam. Karena
tujuan hendak meraup suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu, banyak
aktivis partai yang terjatuh pada kesyirikan dan kemungkaran.
Pernyataan
Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Anis Matta(*), yang menganggap
angka delapan sebagai angka hoki (keberuntungan), telah memicu
pro-kontra di kalangan anggota partai. Di Semarang, PKS menggelar aksi
pada tanggal 8 bulan 8 (Agustus) tahun 08 (2008), sehingga muncul angka
“keramat” 8-8-8. Tak sampai di situ, di Bundaran Air Mancur, Semarang
dihadirkan 8 orang Srikandi PKS yang melepas 8 merpati sebagai simbol
bahwa PKS merupakan partai cinta damai dan memperjuangkan kesejahteraan.
Disertai pula acara melepas 88 balon bertulis angka 8. Di Aceh digelar
acara “beulukat kuneng 8” yang dilakukan pada tanggal 8 bulan 8 yang
lalu. Allahul Musta’an.
Ironis
memang. Partai yang katanya berplatform (berlandaskan) Islam ini,
justru mengaitkan pertambahan perolehan suara dengan nomor partai. Tahun
1999, semasa bernama Partai Keadilan (PK) bernomor 24, setelah bernomor
16 (2004), PKS meraih suara lebih banyak. Kini dengan nomor urut 8
bakal bisa lebih banyak lagi. Perubahan 24, 16, 8 juga merupakan selisih
8.
Dalam
terminologi agama, ada istilah yang disebut tathayyur yaitu (anggapan)
kesialan. Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam, bahwa
kesesatan orang-orang seperti ini telah sampai pada taraf yang
membahayakan. Sebagian orang menentukan kesialan lantaran waktu,
hari-hari, bulan-bulan, atau tahun-tahun. Sebagian lagi menentukannya
dengan angka-angka, seperti angka 13. Ada lagi yang menentukan nasib
sial dengan burung. Ketahuilah bahwa tathayyur (menentukan sial tidaknya
sesuatu) termasuk macam kesyirikan (perbuatan menyekutukan) Allah Subhanahu wa ta’ala. (Irsyadun Nazhir ila Ma’rifati ‘Alamatis Sahir, hal. 85)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لا يَعْلَمُونَ
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al-A’raf:
131)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu secara marfu’:
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
“Thiyarah
adalah syirik. Thiyarah adalah syirik. Thiyarah adalah syirik. Dan
tiadalah salah seorang dari kita kecuali (sungguh telah terjadi dalam
hatinya sesuatu dari itu), akan tetapi Allah telah menghilangkannya
dengan tawakkal (kepada-Nya).” (HR. Abu Dawud no. 3910. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menshahihkannya)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa tathayyur menafikan tauhid karena menghilangkan sikap tawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, menyandarkan kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala.
Tathayyur menjadikan seseorang menggantungkan urusan pada sesuatu yang
bukan hakikatnya, tapi pada waham (keyakinan yang keliru) dan khayal. (Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, 1/559)
Sedangkan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah mengungkapkan bahwa tathayyur merupakan adat jahiliah. Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan
(terkait tathayyur ini) tentang umat-umat yang kafir dari kalangan kaum
Fir’aun, Tsamud, dan ashabu Yasin (penduduk sebuah kampung seperti
disebutkan dalam surat yasin ayat 13-16). (I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab At-Tauhid, 2/3)
Maka,
siapapun dia dan dari golongan manapun, ketika dakwah tauhid diremehkan
niscaya akan menyeret ke lumpur kesyirikan. Mereka yang menjadikan
politik sebagai panglima, sedangkan dakwah tauhid dilalaikan, kelak akan
menjadikan mereka, terjerembab jatuh menyekutukan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Demokrasi
adalah sebuah sistem. Ketika seseorang masuk dalam sistem, maka pola
perilakunya akan menyesuaikan dengan perilaku yang berlaku dalam sistem
tersebut. Sungguh, tidak mengherankan bila perilaku, cara pandang dan
pemikiran politisi di negeri ini berkiblat kepada nilai-nilai yang
menjunjung demokratisasi.
Dalam
ranah agama, cara berpikir demokratis bisa melahirkan sikap beragama
yang pluralis liberalis. Seseorang akan didorong untuk bersikap toleran
dan membenarkan ajaran-ajaran yang mengusung kekufuran kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Ujung dari semua ini, bahwa semua agama itu benar. Maka, janganlah
menganggap diri paling benar dalam mengamalkan agama. Contoh kasus
Ahmadiyah dan ajaran sesat lainnya. Meski sebagian pemimpin mereka telah
dijatuhi sanksi hukum, akan tetapi delik yang diajukan kepada mereka
bukan karena kesesatan ajaran agama mereka. Ini menunjukkan bahwa hukum
yang ada di negeri ini memberi ruang legalitas bagi ide-ide pemahaman
beragama yang liberal pada mereka. Tentunya didasari pemikiran bahwa
negeri ini adalah negeri yang demokratis hingga semua pemahaman agama
boleh hidup. Itulah muara akhir dari sistem demokrasi –yang salah satu
sendinya adalah liberty (kebebasan)– yang tengah dijejalkan ke
negeri-negeri kaum muslimin. Padahal Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)
Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang berakal.
Wallahu a’lam.
(*) Sekarang Presiden PKS
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)
Sumber : asysyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar