Segala hal yang akan mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan
manusia telah diajarkan oleh Islam. Tugas para nabi dan rasul yang
diutus oleh Allah subhanahu wata’ala adalah mengajarkan kepada
umatnya kebaikan dan memperingatkan mereka dari segala bentuk kejelekan.
Tidak ada satupun kebaikan maupun kejelekan yang luput dari dakwah para
nabi
dan rasul tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Demikian pula nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagai Rasul terakhir dan penyempurna risalah para nabi sebelumnya, beliau telah menunaikan amanah suci ini dengan sempurna. Menyampaikan seluruh ajaran yang telah diwahyukan oleh Rabb semesta alam. Cukuplah apa yang beliau ajarkan menjadi pedoman hidup untuk beramal dan meraih keridhaan Allah ta’ala.
Maka dari itulah, tidak sepantasnya bagi seorang muslim membuat atau mengada-adakan bid’ah (amal tertentu yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) dengan berkeyakinan bahwa amal tersebut adalah bagian dari ajaran Islam. Sungguh beliau telah mengajarkan segala hal yang bisa mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Para sahabat Nabi juga telah memberikan kesaksian dengan jujur bahwa junjungan mereka telah menyampaikan ajaran Islam ini dengan tuntas. Para sahabat mengatakan,
Kalau misalnya ada seseorang yang melakukan kebid’ahan atau amalan tertentu yang tidak pernah sedikitpun dicontohkan dan diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian ia meyakini bahwa amalan tersebut baik dan merupakan bagian dari syariat Islam, maka seolah-olah ia telah menganggap bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kurang sempurna dan tidak amanah dalam menyampaikan syariat Allah ta’ala ini. Na’udzubillahi min dzalik. Benar yang dikatakan oleh Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah,
“Barangsiapa yang berbuat bid’ah (mengadakan-adakan perkara baru dalam agama Islam ini), dan ia memandang bahwa perkara itu adalah baik, maka sungguh ia telah menganggap Nabi Muhammad tidak amanah dalam menyampaikan risalah, karena Allah ta’ala telah berfirman (artinya): Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian. (Al-Maidah: 3). Sehingga segala sesuatu yang pada hari (diturunkannya ayat) itu bukan bagian dari agama, maka pada hari inipun sesuatu tersebut juga bukan bagian dari agama.” (lihat Al-I’tisham, karya Al-Imam Asy-Syathibi)
Perhatikan kisah berikut, kiranya bisa membantu kita untuk memahami maksud perkataan Al-Imam Malik rahimahullah di atas.
Salah seorang tokoh tabiin, yaitu Said bin Al-Musayyib pernah melihat seorang laki-laki melakukan shalat dua raka’at setelah Ashar dan dia sering melakukannya. Maka beliau melarangnya. Laki-laki itu berkata: “Wahai Abu Muhammad (Said bin Al-Musayyib, pent), apakah Allah akan mengadzabku karena shalat?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi Dia akan mengadzabmu karena menyelisihi sunnah.” (HR. Ad-Darimi, no. 450, dengan sanad yang bagus)
Coba cermati kisah di atas. Tentu tidak ada seorang muslim pun yang menganggap bahwa shalat adalah perbuatan yang tidak baik. Namun karena shalat yang dilakukan oleh orang tersebut dilakukan pada waktu yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka perbuatan tersebut menjadi perbuatan yang tidak baik dan menyelisihi sunnah Nabi. Kalau seandainya yang dilakukan oleh orang tadi baik, niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pasti akan menjelaskannya dan generasi pertama umat ini dari kalangan shahabat pun pasti akan berlomba-lomba mengamalkannya. Jika masih ada yang meyakini bahwa amalan yang dilakukan orang tadi baik, maka ia telah menganggap bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak amanah dalam menyampaikan ajaran ini.
Ketika ayat 3 dari surat Al-Maidah tersebut turun, amalan shalat yang dilakukan setelah Ashar sebagaimana yang dilakukan orang tadi adalah bukan bagian dari agama (karena tidak pernah diajarkan oleh Nabi), maka pada hari ini pun hingga hari kiamat nanti, amalan tersebut tetap bukan bagian dari tuntunan Islam.
Maka dari itu, sia-sialah amalan yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya orang yang menganggap baik suatu perbuatan yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi, biasanya akan melahirkan konsekuensi (terhadap pemikiran dia) bahwa menurutnya syariat ini belum sempurna, sehingga firman Allah, ”Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian”, tidak memiliki makna yang berarti menurut mereka.” (Al-I’tisham)
Sehingga tolok ukur baik dan tidaknya suatu amalan adalah dengan berdasarkan timbangan sunnah dan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tuntunan tentang suatu amalan tertentu, maka amalan tersebut baik. Dan sebaliknya kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menuntunkannya, maka dipastikan bahwa amalan tersebut tidak baik dan jangan dilakukan.
Sekarang anda bisa menilai apakah acara perayaan maulid, peringatan Isra’ Mi’raj, shalat Raghaib (shalat di malam Jum’at pertama bulan Rajab), tahlilan memperingati 3 hari, 7 hari, 40 hari kematian termasuk amalan baik?
url: http://mahad-assalafy.com/2013/05/19/satu-bukti-jeleknya-bidah/
dan rasul tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّا
عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ،
وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ.
“Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali
diwajibkan atasnya meneraangkan seluruh kebaikan yang mereka ketahui
kepada umatnya dan memberikan peringatan dari seluruh kejelekan yang ia
ketahui.” (HR. Muslim, no. 1844)Demikian pula nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagai Rasul terakhir dan penyempurna risalah para nabi sebelumnya, beliau telah menunaikan amanah suci ini dengan sempurna. Menyampaikan seluruh ajaran yang telah diwahyukan oleh Rabb semesta alam. Cukuplah apa yang beliau ajarkan menjadi pedoman hidup untuk beramal dan meraih keridhaan Allah ta’ala.
Maka dari itulah, tidak sepantasnya bagi seorang muslim membuat atau mengada-adakan bid’ah (amal tertentu yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) dengan berkeyakinan bahwa amal tersebut adalah bagian dari ajaran Islam. Sungguh beliau telah mengajarkan segala hal yang bisa mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ، ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ، إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ.
“Tidak ada sesuatu pun yang dapat mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka, kecuali telah dijelaskan kepada kalian.” (HR. Ath-Thabarani, no. 1647 dengan sanad yang shahih. Lihat Ash-Shahihah, no. 1803)Para sahabat Nabi juga telah memberikan kesaksian dengan jujur bahwa junjungan mereka telah menyampaikan ajaran Islam ini dengan tuntas. Para sahabat mengatakan,
نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ.
“Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan (ajaran Islam), menunaikan, dan memberikan nasehat.” Lalu
Nabi mengangkat jari telunjuknya ke arah langit dan kemudian
mengarahkannya kepada para sahabatnya seraya mengatakan, “Ya Allah,
saksikanlah. Ya Allah, saksikanlah.” Beliau mengucapkannya sampai tiga
kali. (HR. Muslim, no. 1218)Kalau misalnya ada seseorang yang melakukan kebid’ahan atau amalan tertentu yang tidak pernah sedikitpun dicontohkan dan diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian ia meyakini bahwa amalan tersebut baik dan merupakan bagian dari syariat Islam, maka seolah-olah ia telah menganggap bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kurang sempurna dan tidak amanah dalam menyampaikan syariat Allah ta’ala ini. Na’udzubillahi min dzalik. Benar yang dikatakan oleh Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah,
“Barangsiapa yang berbuat bid’ah (mengadakan-adakan perkara baru dalam agama Islam ini), dan ia memandang bahwa perkara itu adalah baik, maka sungguh ia telah menganggap Nabi Muhammad tidak amanah dalam menyampaikan risalah, karena Allah ta’ala telah berfirman (artinya): Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian. (Al-Maidah: 3). Sehingga segala sesuatu yang pada hari (diturunkannya ayat) itu bukan bagian dari agama, maka pada hari inipun sesuatu tersebut juga bukan bagian dari agama.” (lihat Al-I’tisham, karya Al-Imam Asy-Syathibi)
Perhatikan kisah berikut, kiranya bisa membantu kita untuk memahami maksud perkataan Al-Imam Malik rahimahullah di atas.
Salah seorang tokoh tabiin, yaitu Said bin Al-Musayyib pernah melihat seorang laki-laki melakukan shalat dua raka’at setelah Ashar dan dia sering melakukannya. Maka beliau melarangnya. Laki-laki itu berkata: “Wahai Abu Muhammad (Said bin Al-Musayyib, pent), apakah Allah akan mengadzabku karena shalat?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi Dia akan mengadzabmu karena menyelisihi sunnah.” (HR. Ad-Darimi, no. 450, dengan sanad yang bagus)
Coba cermati kisah di atas. Tentu tidak ada seorang muslim pun yang menganggap bahwa shalat adalah perbuatan yang tidak baik. Namun karena shalat yang dilakukan oleh orang tersebut dilakukan pada waktu yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka perbuatan tersebut menjadi perbuatan yang tidak baik dan menyelisihi sunnah Nabi. Kalau seandainya yang dilakukan oleh orang tadi baik, niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pasti akan menjelaskannya dan generasi pertama umat ini dari kalangan shahabat pun pasti akan berlomba-lomba mengamalkannya. Jika masih ada yang meyakini bahwa amalan yang dilakukan orang tadi baik, maka ia telah menganggap bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak amanah dalam menyampaikan ajaran ini.
Ketika ayat 3 dari surat Al-Maidah tersebut turun, amalan shalat yang dilakukan setelah Ashar sebagaimana yang dilakukan orang tadi adalah bukan bagian dari agama (karena tidak pernah diajarkan oleh Nabi), maka pada hari ini pun hingga hari kiamat nanti, amalan tersebut tetap bukan bagian dari tuntunan Islam.
Maka dari itu, sia-sialah amalan yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan bagian dari ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim, no. 1718)Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya orang yang menganggap baik suatu perbuatan yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi, biasanya akan melahirkan konsekuensi (terhadap pemikiran dia) bahwa menurutnya syariat ini belum sempurna, sehingga firman Allah, ”Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian”, tidak memiliki makna yang berarti menurut mereka.” (Al-I’tisham)
Sehingga tolok ukur baik dan tidaknya suatu amalan adalah dengan berdasarkan timbangan sunnah dan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tuntunan tentang suatu amalan tertentu, maka amalan tersebut baik. Dan sebaliknya kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menuntunkannya, maka dipastikan bahwa amalan tersebut tidak baik dan jangan dilakukan.
Sekarang anda bisa menilai apakah acara perayaan maulid, peringatan Isra’ Mi’raj, shalat Raghaib (shalat di malam Jum’at pertama bulan Rajab), tahlilan memperingati 3 hari, 7 hari, 40 hari kematian termasuk amalan baik?
url: http://mahad-assalafy.com/2013/05/19/satu-bukti-jeleknya-bidah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar