Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Senin, 03 Juni 2013

Orang Yang Tidak Suka Ikut Menyemarakkan Pengusung Fitnah dan Pengusung Kezhaliman

Berikut beberapa nukilan penjelasan Syaikhuna Muhammad bin Abdillah Al-Imam -حفظه الله- dalam pelajaran Shahih Al-Bukhary:
Bab Orang Yang Tidak Suka Ikut Serta Menyemarakkan Pengusung Fitnah dan Pengusung Kezhaliman

عن ابْنُ عَبَّاسٍ: أَنَّ أُنَاسًا مِنَ المُسْلِمِينَ كَانُوا مَعَ المُشْرِكِينَ، يُكَثِّرُونَ سَوَادَ المُشْرِكِينَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَيَأْتِي السَّهْمُ فَيُرْمَى فَيُصِيبُ أَحَدَهُمْ فَيَقْتُلُهُ، أَوْ يَضْرِبُهُ فَيَقْتُلُهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ المَلاَئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ} [النساء: 97]
“Dari Ibnu ‘Abbas -رضي الله عنهما-: Bahwa beberapa orang dari kaum muslimin berada bersama kaum musyrikin, memperbanyak barisan kaum musyrikin menentang Rasulullah -صلى الله عليه وسلم-. Lalu anak panah dilemparkan lalu mengenai salah satu dari orang-orang tersebut, sehingga membunuhnya, atau mengenainya lalu membunuhnya. Maka Allah تعالى menurunkan: “Sesungguhnya orang-orang yang dimatikan oleh malaikat dalam kondisi menzhalimi diri-diri mereka …” (An-Nisaa: 97).”
Kelengkapan ayat yang turun adalah:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيراً(97) إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلاً(98) فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوّاً غَفُوراً(99)
” Sesungguhnya orang-orang yang dimatikan oleh malaikat dalam keadaan menzhalimi diri-diri mereka, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” Orang-orang itu tempatnya adalah neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), maka mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (An-Nisaa: 97-99)
Asy-Syaikh berkata:
Allah تعالى menurunkan ayat ini terkait dengan beberapa orang shahabat yang telah berislam di Makkah dan belum berhijrah, mereka dilarang oleh keluarga mereka, maka mereka tetap di Makkah. Ketika terjadi peperangan antara Rasulullah صلى الله عليه وسلم dengan Quraisy (perang Badr), kaum musyrikin meminta kepada shahabat yang ada di Makkah untuk bergabung bersama kaum musyrikin, kalau tidak maka mereka akan disakiti. Maka sebagian orang bergabung bersama kaum musyrikin, meski mereka tidak ingin memerangi Nabi dan para shahabat dan mereka tidak ikut berperang. Akan tetapi mereka telah bergabung ikut keluar, dan dengan bergabungnya ini telah terjadi penambahan jumlah.
Karenanya Al-Imam Al-Bukhary di sini membuat Bab: Bab Orang Yang Tidak Suka Ikut Serta Menyemarakkan Pengusung Fitnah dan Pengusung Kezhaliman
Diriwayatkan dari hadits Ibnu Mas’ud رضي الله عنه oleh Abu Ya’la dan selainnya bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ كَثَّرَ سَوَادَ قَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ، وَمَنْ رَضِيَ عَمَلَ قَوْمٍ كَانَ شَرِيكًا لِمَنْ عَمِلَهُ
“Siapa yang menyemarakkan suatu kaum maka dia termasuk bagian darinya. Dan siapa yang ridha dengan perbuatan suatu kaum maka dia termasuk ikut serta dengan orang yang melakukannya.”
Dan hadits ini juga disebutkan oleh Al-’Ujluny dalam Kasyf Al-Khafa’ dan dia mendha’ifkannya, dan juga datang dari hadits Abu Dzar رضي الله عنه.
Kesimpulannya: Menyemarakkan pengusung maksiat atau fitnah secara sengaja -artinya dia tahu bahwa mereka itu pengusung maksiat atau fitnah- dan dia mampu untuk menghindar, maka jika dia lakukan penyemarakan ini maka dia berdosa dengan sikapnya ini. Dan jika dia menyemarakkan namun tidak tahu bahwa mereka itu pengusung maksiat atau fitnah, maka dia dalam hal ini tidak berdosa, dan dia dituntut untuk berhati-hati dan meneliti, sampai jika sudah serius maka dia telah mengetahui perkara itu sesuai dengan hakikatnya.
Ayat di atas menunjukkan bahwa orang yang menyemarakkan pengusung fitnah dalam kondisi dia tahu akan hal itu maka dia dihukumi telah terjatuh dalam dosa besar, karena Allah تعالى berfirman (yang maknanya): “Orang-orang itu tempatnya adalah neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” Maka ancaman yang sangat keras ini yaitu dengan jahannam menunjukkan bahwa perbuatan ini merupakan dosa besar.
Maka kaum muslimin sangat membutuhkan untuk menjauhi dari membantu orang-orang yang berada dalam kejelekan dan kerusakan, dalam bentuk apapun bantuan tersebut, dalam bentuk pertikaian, dalam bentuk harta, dalam bentuk mengelabui kaum muslimin, dan selain itu. Kaum muslimin butuh untuk berhati-hati dari perkara ini dengan kehati-hatian yang tinggi. Kalau tidak maka bisa terjatuh pada keikut sertaan dalam perkara yang membuat Allah تعالى murka.
Demikian juga orang yang bergabung bersama pengusung fitnah dengan bentuk keridhaan maka dia ikut berdosa, meskipun dia tidak ikut bergabung keluar dalam gerakan. Namun dia ridha dengan fitnah tersebut, maka dia berdosa, dia mendapat dosa seperti dosa mereka, meski dia tidak bergabung bergerak bersama mereka.
Abu Dawud meriwayatkan dari hadits Al-’Ursy bin ‘Umairah رضي الله عنه bahwa Rasullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
إِذَا عُمِلَتِ الْخَطِيئَةُ فِي الْأَرْضِ كَانَ مَنْ شَهِدَهَا فَكَرِهَهَا، -وَقَالَ: مَرَّةً أَنْكَرَهَا- كَانَ كَمَنْ غَابَ عَنْهَ، وَمَنْ غَابَ عَنْهَا فَرَضِيَهَا كَانَ كَمَنْ شَهِدَهَا
“Jika diketahui adanya kekeliruan di muka bumi maka orang yang menyaksikannya lalu membencinya -beliau juga berkata: terkadang mengingkarinya- maka dia seperti orang yang tidak menyaksikannya. Dan orang yang tidak menyaksikannya lalu dia meridhainya maka dia seperti orang yang menyaksikannya.” Artinya seperti orang yang menyaksikannya dan menyetujuinya.
Maka Rasulullah menjadikan orang yang tidak menyaksikan namun ridha dengan kekeliruan seperti orang yang menyaksikannya dan ridha dengan kekeliruan tersebut.
Kemudian Asy-Syaikh berkata:
Maka keridhaan terhadap kemunkaran ini menjadikan orang yang ridha dengannya termasuk ikut serta dengan mereka yang bersentuhan langsung dengan penyimpangan tersebut.
Keikut sertaan dalam suatu maksiat:
Pertama: Terjadi dengan keridhaan terhadapnya.
Kedua: Terjadi dengan kehadiran di tengah mereka meski tidak ikut langsung melakukannya. Meski dia tidak malakukannya hanya saja dia terhitung dalam orang yang melakukannya. Dan in lebih parah dari yang pertama.
Ketiga: Terjadi dengan keridhaan, lalu bergabung bergerak bersamanya, kemudian ikut melakukannya. Maka ini lebih parah dari yang sebelumnya dalam kejelekan dan dosa.
Maka seorang muslim harusnya berhati-hati dari ikut menyaksikan majelis-majelis kejelekan, kebathilan, kebid’ahan dan kemaksiatan. Telah diriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Umar رضي الله عنهما bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَجْلِسْ عَلَى مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا بِالْخَمْرِ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan duduk dalam hidangan yang disajikan pada khamr (minuman memabukkan).”
Kalau ada berkata: “Aku tidak minum khamr!“. Maka dikatakan padanya: “Tapi kau sudah hadir, ini adalah keikut sertaan, apa yang kau lakukan bersama mereka? Mereka berada pada kafasikan yang besar dan kau hadir bersama mereka?” Maka demikian pula dalam perkara bid’ah dan penyimpangan. Yang dituntut adalah menjauhi fitnah sebisa mungkin.
Pertanyaan: Bagaimana dengan yang berta’ashub kepada sebagian untuk melawan sebagian yang lain, apakah ini termasuk keikut sertaan dalam fitnah?
Jawab: Ini termasuk keikut sertaan dalam fitnah. Yang berta’ashub ini perlu dihukum lebih dari pada yang melakukan pertikaian dan khilaf. Untuk apa ta’ashub ini? Kita semua (kaum muslimin apalagi ahlus sunnah) itu ikhwah. Untuk yang ini memusuhi yang ini. Ini tidak pantas seorang muslim itu berta’ashub.
Dari pelajaran Shahih Al-Bukhary tanggal 19 Rajab 1434 H.

Rekaman pelajaran ada di Bag. Dokumentasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar