Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Sabtu, 03 November 2012

Memberi Nama Yang Diperhambakan Kepada Selain Allah


Firman Allah Ta'ala (artinya):
"Tatkala Allah mengkaruniakan mereka seorang anak laki-laki yang sempurna (wujudnya), mereka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah dalam hal (anak) yang Dia karuniakan kepada mereka. Maha Suci Allah dari perbuatan syirik mereka." (Al-A'raf: 190)

Ibnu Hazm mengatakan: "Para ulama telah sepakat mengharamkan setiap nama yang diperhambakan kepada selain Allah, seperti: 'Abdu 'Umar (Hamba Umar), 'Abdul Ka'bah (Hamba Ka'bah) dan yang semisalnya, kecuali 'Abdul Muthallib." Maksudnya mereka belum sepakat mengharamkan nama 'Abdul Muthallib, karena asal nama ini berhubungan dengan perbudakan.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Ibnu 'Abbas, dalam menafsirkan ayat tersebut, mengatakan: "Setelah Adam menggauli isterinya Hawwa' ia pun hamil. Lalu Iblis datang kepada mereka berdua dengan berkata: "Sungguh, aku adalah kawanmu berdua yang telah mengeluarkan kamu dari surga. Demi Allah, hendaklah kamu mentaatiku, kalau tidak niscaya akan kujadikan anakmu itu bertanduk dua seperti rusa, sehingga akan keluar dari perut isterimu dengan merobeknya. Demi Allah, pasti akan kulakukan." Demikianlah Iblis menakut-nakuti mereka berdua. "Namailah anakmu itu 'Abdul Harits*," kata Iblis memerintah. Tetapi keduanya menolak untuk mematuhinya. Tatkala bayi mereka lahir, lahirlah ia dalam keadaan mati. Kemudian Hawwa' hamil lagi, maka datanglah Iblis kepada mereka berdua dengan mengatakan seperti yang pernah ia katakan. Tetapi mereka berdua tetap menolak untuk mematuhinya, dan bayi mereka pun lahir dalam keadaan mati. Selanjutnya, Hawwa' mengandung lagi, maka datanglah Iblis kepada mereka berdua dan mengingatkan mereka apa yang pernah ia katakan. Karena Adam dan Hawwa' lebih menginginkan keselamatan anaknya, akhirnya mereka mematuhi Iblis dengan memberi kepada anak mereka nama 'Abdul Harits. Itulah tafsiran firman Allah (artinya):
"Mereka berdua menjadikan sekutu bagi Allah dalam hal (anak) yang Dia karuniakan kepada mereka."
*) Al-Harits adalah nama Iblis. Dan maksud Iblis menakut-nakuti mereka berdua supaya memberi nama tersebut kepada anaknya ialah untuk mendapatkan suatu macam bentuk perbuatan syirik, dan inilah salah satu cara Iblis memperdaya musuhnya, kalau dia belum mampu untuk menjerumuskan seseorang manusia ke dalam tindakan maksiat yang besar resikonya, akan dimulai untuk menjerumuskannya terlebih dahulu dari tindakan maksiat yang ringan atau kecil.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan pula, dengan sanad shahih, bahwa Qatadah mengatakan: "Yaitu berbuat syirik dalam hal ketaatan kepada Iblis, bukan dalam ibadah kepadanya." Maksudnya: mereka tidaklah menyembah Iblis, tetapi mentaati Iblis dengan memberi nama 'Abdul Harits kepada anak mereka, sebagaimana yang diminta Iblis. Dan perbuatan itu disebut perbuatan syirik kepada Allah.
Demikian juga ia meriwayatkan dengan sanad shahih, bahwa dalam menafsirkan firman Allah (artinya):
"Jika Engkau mengkaruniakan kami anak laki-laki yang sempurna (wujudnya)" (Al-A'raf: 189), Mujahid mengatakan: "Adam dan Hawwa' khawatir kalau bayi mereka itu lahir tidak dalam wujud manusia." Dan diriwayatkan pula tafsiran yang senada dari Al-Hasan (Al-Bashri), Sa'id (bin Jubair) dan yang lain.
Kandungan tulisan ini:
  1. Dilarang setiap nama yang diperhambakan kepada selain Allah.
  2. Tafsiran ayat tersebut di atas. Ayat ini menunjukkan bahwa anak yang dikaruniakan Allah kepada seseorang termasuk ni'mat yang harus disyukuri, dan termasuk kesempurnaan rasa syukur kepada-Nya bila diberi nama yang baik yang tidak diperhambakan kepada selain-Nya, karena pemberian nama yang diperhambakan kepada selain-Nya adalah syirik.
  3. Perbuatan syirik (sebagaimana dinyatakan oleh ayat ini) dalam sekedar pemberian nama saja, tanpa bermaksud hakekatnya.
  4. Anak puteri yang sempurna wujud jasmaninya, yang dikaruniakan Allah kepada seseorang merupakan ni'mat (yang harus disyukuri).
  5. Telah disebutkan oleh ulama Salaf mengenai perbedaan antara syirik dalam ketaatan dan syirik dalam ibadah.
Dikutip dari buku: "Kitab Tauhid" karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Penerbit: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar