Mukadimah
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya :
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar
Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Sesungguhnya Dia
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. Al-Isra [17]
: 1).
Allah
Subahanhu Wa Ta’ala memberikan salah satu mukjizat kepada hamba-Nya, yakni Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan peristiwa Isra dan Mi’raj. Sebuah
kejadian luar biasa yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia. Peristiwa
nyata yang benar-benar telah terjadi dan kita sebagai umat Islam yang mengimani
ayat-ayat Al-Quran.
Isra Mi’raj
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam merupakan salah satu peristiwa
penting bagi umat Islam karena pada peristiwa ini Allah memberikan perintah
kepada Nabi Muhammd Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan untuk umat Islam
berupa kewajiban mendirikan Shalatfardhu lima waktu sehari semalam. Isra Mi’raj
terjadi pada periode akhir kenabian di Mekkah sebelum Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam hijrah ke Madinah, yaitu setahun sebelum hijrah. Menurut
sebagian ulama, terjadi pada malam tanggal 27 Rajab (tahun 621 M.).
Isra’ Mi’raj
terjadi ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berada dalam situasi
tekanan dan hinaan yang kuat dari kelompok musyrikin Mekkah, terutama dari Abu
Jahal, Abu Lahab, dan sekutunya. Sementara ketika itu Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam baru saja ditinggal wafat isterinya tercinta Khadijah
Al-Kubra, pendamping sejati, pembela dan pendukung utama perjuangan dakwahnya.
Pada saat beriringan, beliau juga baru saja berduka karena meninggalnya Abu
Thalib pamannya, yang selama ini turut menjadi tameng pembelanya. Itulah tahun
duka cita atau disebut dengan ‘amul hazn’.
Menurut
Ketua Divisi Luar Negeri Al-Quds Institution Yaman Syaikh Dr. Mahmoud Abdul
Majid Al-Khatib, ayat tersebut terkait erat dengan pembebasan Masjid
Al-Aqsha Palestina dari penjajahan Zionis Israel. Ini merupakan landasan aqidah
bagi para pejuang Al-Aqsha.
Menurutnya, keterkaitan ayat ini dengan pembebasan Al-Aqsha dari sisi akidah Islam disebabkan Al-Aqsha adalah nama yang Allah cantumkan di dalam Al-Quran, kiblat pertama umat Islam, tempat isra’ mi’raj Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam serta negeri para nabi utusan Allah.
Menurutnya, keterkaitan ayat ini dengan pembebasan Al-Aqsha dari sisi akidah Islam disebabkan Al-Aqsha adalah nama yang Allah cantumkan di dalam Al-Quran, kiblat pertama umat Islam, tempat isra’ mi’raj Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam serta negeri para nabi utusan Allah.
“Al-Qur’an
sebagai petunjuk yang benar, khususnya di dalam surat Al-Isra ayat pertama
jelas menunjukkan betapa Allah memuliakan Masjid Al-Aqsha. Berarti memang
Al-Aqsha tidak lepas dari akidah seorang muslim,” ujar Al-Khatib, pria
kelahiran Nablus Palestina.
Nabi
Melakukan Isra
Peristiwa
Isra, yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diperjalankan oleh Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dari Masjidil Haram di Mekkah hingga ke Masjidl
Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina. Jarak tempuh yang dilalui beliau
sekitar 1.500 km, tapi hanya ditempuh dalam waktu tidak sampai satu malam.
Secara
logika akal biasa, tampaknya tidak mungkin seorang manusia melakukan perjalanan
ribuan kilometer, hingga ke langit dan turun kembali, hanya dalam waktu
semalam.
Namun,
logika aqidah menjadi mungkin, manakala yang memperjalankan adalah Allah, Sang
Penguasa langit bumi dan alam semesta, Sang Maha Kuasa.
Secara
logika manusia, mana mungkin seekor semut misalnya mampu berjalan dari Bogor ke
Jakarta haya dalam setengah hari. Padahal untuk berjalan dari rumah ke lapangan
di depan rumah saja perlu berjam-jam. Namun jika sang semut menempel di sebuah
mobil, lalu mobil itu berjalan ke Jakarta, dan sore kembali lagi ke Bogor.
Maka, perjalanan itu menjadi sangat mungkin.
Demikian
halnya manakala Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan Isra dan Mi’raj,
menjadi sangat mungkin karena ada yang memperjalankan, yaitu Allah.
Adapun
Masjidil Haram tempat start Isra adalah nama yang diberikan oleh Allah
Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an, disebut juga dengan Baitullah terletak
di Mekkah, negeri yang diberkahi dan menjadi petunjuk semua manusia. Mekkah disebut
juga dengan “Ummul Qura” (induk negeri).
Firman Allah
Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ
Artinya :
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia,
ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi
semua manusia.” (Q.S. Ali Imran [3] : 96).
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مُصَدِّقُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَلِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَهُمْ عَلَى صَلاَتِهِمْ يُحَافِظُونَ
Artinya :
“Dan ini (Al Qur’an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi;
membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi
peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar
lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu
beriman kepadanya (Al Qur’an), dan mereka selalu memelihara shalatnya.” (Q.S.
Al-An’am [6] : 92).
Sedangkan
Masjidil Aqsha, tempat singgah Isra sebelum Mi’raj ke langit, adalah nama yang
juga diberikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, terletak di Palestina. Dua
masjid inilah, yakni Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha merupakan dua bangunan
tempat ibadah yang mula-mula Allah Subhanahu Wa Ta’ala letakkan di muka bumi
ini.
Bagi para
jamaah umrah yang kini juga singgah ke Masjidil Aqsha, setelah dari Masjidil
Haram dan Masjid Nabawi, tentu akan merasakan perbedaan mencolok kondisi
ketiganya. Jika di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi jamaah begitu ramai,
mencapai jutaan, diterangi lampu-lampu, bangunan indah, penjagaan asykar
Muslim.
Sebaliknya,
yang terjadi di Masjidil Aqsha begitu memprihatinkan, tak seramai di dua masjid
Mekkah dan Madinah tersebut. Bahkan dengan bangunan berlubang-lubag bekas
tembakan peluru, lampu-lampu temaram, dan dijaga ketat oleh tentara Zionis
Israel.
Masjidil
Haram dan Masjidil Aqsha, dua bangunan inilah bangunan yang mula-mula dibangun
di permukaan bumi ini. ini seperti disebutkan di dalam sebuah hadits Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam.
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ مَسْجِدٍ وُضِعَ فِي الْأَرْضِ أَوَّلُ قَالَ الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ قَالَ ثُمَّ الْمَسْجِدُ الْأَقْصَى قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ يَعْنِي بَيْتَ الْمَقْدِسِ قَالَ قُلْتُ كَمْ بَيْنَهُمَا قَالَ أَرْبَعُونَ سَنَةً
Artinya :
“Wahai Rasulullah, masjid apakah yang pertama diletakkan oleh Allah di muka
bumi?” Beliau bersabda, “Al-Masjid Al-Haram”. Abu Dzar bertanya lagi, “Kemudian
apa?”. Beliau bersabda, “Kemudian Al-Masjid Al-Aqsha”. Berkata Abu Mu’awiyah
“Yakni Baitul Maqdis” . Abu Dzar bertanya lagi, “Berapa lama antara keduanya?”.
Beliau menjawab, “Empat puluh tahun”. (H.R. Ahmad dari Abu Dzar).
Pondasi
Masjidil Aqsha diletakkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala sejak jaman Nabi Adam
‘Alaihis Salam. Dalam kurun waktu sekian lama, bangunan itu rusak dan runtuh
dimakan waktu. Areal tanah sekitar Masjidil Aqsha juga termasuk ke dalam
kawasan masjid tersebut. Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihis Salam shalat di tanah
itu, bagian dari Masjidil Aqsha.
Ibnul Qayyim
Al-Jauziyah menyebutkan, Masjidil Aqsha dibangun kembali di atas pondasinya
oleh cucu Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam, yakni Nabi Ya`qub bin Ishaq bin Ibrahim.
Keturunan berikutnya, Nabi Daud ‘Alaihis Salam membangun ulang masjid itu.
Bangunan Masjid Al-Aqsha diperbaharui oleh putera Nabi Dawud ‘Alaihis Salam,
yaitu Nabi Sulaiman ‘Alaihis Salam (tahun 960 SM).
Mereka para
nabi Allah membangun kembali Masjid Al-Aqsha adalah untuk tempat ibadah
mendirikan shalat di dalamnya, bukan mendirikan kuil sinagog seperti yang
diklaim Zionis.
Nabi Mi’raj
dari Al-Aqsha
Peristiwa
Mi’raj, yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dinaikkan oleh Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dari Kubah Ash-Shakhrah, kawasan kompleks Masjidil Aqsha,
ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi di langit.
Maka,
dikatakan juga oleh ulama bahwa shalat bagi orang-orang beriman adalah bagai
Mi’rajnya, naik ke langit, maknanya ibadah khas kepada Allah. Kiasan ulama
tasawuf menyebutkan:
الصَّلاَةُ مِعْرَاجُ الْمُؤْمِنِيْنَ
Artinya:
“Shalat itu adalah mi’raj bagi orang-orang yang beriman”.
Karenanya,
meyakini peristiwa Isra Mi’raj adalah bukti keimanan umat Islam akan kebenaran
ayat-ayat Al-Qur’an, wujud ketakwaan kepada Allah Subahanhu Wa Ta’ala, serta
kecintaan kepada utusan-Nya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Dan kini,
dengan pekembangan teknologi luar biasa, perjalanan jarak jauh dengan
menggunakan pesawat super canggih dapat ditempuh hanya dalam hitungan jam, kadang
tidak perlu satu malam. Maka secara ilmu pengetahuan pun, mustahil tidak
mempercayai peristiwa perjalanan yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam.
Tentang
peristiwa Mi’raj ke Sidratul Muntaha ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan
:
أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى () وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى () عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى () عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى () إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى () مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى () لَقَدْ رَأَى مِنْ ءَايَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى ()
Artinya :
“Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah
dilihatnya? (12) Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam
rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (13) (yaitu) di Sidratil Muntaha. (14)
Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (15) (Muhammad melihat Jibril) ketika
Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (16) Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula)
melampauinya. (17) Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda
(kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (18). (Q.S. An-Najm [53] : 12-18).
Adapun
“Sidratul Muntaha” secara harfiah berarti “tumbuhan sidrah yang tak
terlampaui”, suatu perlambang batas yang tak seorang manusia atau makhluk
lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang
maha mengetahui hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali
penjelasan dalam Al-Qur’an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan
bagaimana Sidratul Muntaha itu. Kita sebagai mukmin tinggal meyakini
kebenarannya serta mengimaninya.
Ibnu ‘Abbas
menyebutkan, peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan rangkaian ujian keimanan
seseorang terhadap kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman di salam surat Al-Isra ayat 60 :
وَإِذْ قُلْنَا لَكَ إِنَّ رَبَّكَ أَحَاطَ بِالنَّاسِ وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُونَةَ فِي الْقُرْءَانِ وَنُخَوِّفُهُمْ فَمَا يَزِيدُهُمْ إِلَّا طُغْيَانًا كَبِيرًا
Artinya :
“Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: “Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu
meliputi segala manusia”. Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami
perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula)
pohon kayu yang terkutuk dalam Al Qur’an. Dan Kami menakut-nakuti mereka,
tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.” (Q.S.
Al-Isra [17] : 60).
Pada
peristiwa Isra Mi’raj, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengimami
para Nabi, seperti disebutkan di dalam hadits.
….. وَقَدْ رَأَيْتُنِي فِي جَمَاعَةٍ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ فَإِذَا مُوسَى قَائِمٌ يُصَلِّي فَإِذَا رَجُلٌ ضَرْبٌ جَعْدٌ كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ شَنُوءَةَ وَإِذَا عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَام قَائِمٌ يُصَلِّي أَقْرَبُ النَّاسِ بِهِ شَبَهًا عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ الثَّقَفِيُّ وَإِذَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام قَائِمٌ يُصَلِّي أَشْبَهُ النَّاسِ بِهِ صَاحِبُكُمْ يَعْنِي نَفْسَهُ فَحَانَتْ الصَّلَاةُ فَأَمَمْتُهُمْ
Artinya :
“….. Dan sungguh telah diperlihatkan kepadaku jama’ah para nabi.
Adapun Musa, dia sedang berdiri shalat. Dia lelaki tinggi kekar
seakan-akan dia termasuk suku Sanu’ah. Dan ada pula ‘Isa bin Maryam ‘Alaihis
Salam sedang berdiri shalat. Manusia yang paling mirip dengannya adalah ‘Urwah
bin Mas’ud Ats-Tsaqafi. Ada pula Ibrahim ‘Alaihis Salam sedang berdiri shalat.
Orang yang paling mirip dengannya adalah sahabat kalian ini, yakni beliau
sendiri. Kemudian diserukanlah shalat. Lantas aku mengimami mereka”. (H.R.
Muslim).
Kaitan
dengan Pembebasan
Al-Aqsha
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda di dalam haditsnya:
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَ
Artinya : “Tidak
boleh mengkhususkan melakukan perjalanan kecuali menuju tiga Masjid, yaitu
Masjid Al-Haram (di Mekkah), dan Masjidku (Masjid An-Nabawi di Madinah), dan
Masjid Al-Aqsha (di Palestina)”. (H.R. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan
Abu Daud dari Abu Hurairah).
Landasan
aqidah ayat dan hadits di atas, juga dalil-dalil qath’i lainnya menunjukkan
ketinggian, keutamaan, dan kemuliaan Masjidil Aqsha di dalam Islam.
Hal tersebut
menekankan pentingnya kaum Muslimin memperhatikan Masjid Al-Aqsha serta
menekankan tanggung jawab umat Islam di seluruh dunia dalam membela dan menjaga
masjid tersebut. Umat Islam tidak boleh membiarkan apalagi melalaikannya
dikuasai oleh yang bukan haknya, seperti berlangsung saat ini. Masjidil Aqsha
adalah hak milik yang sah, milik kita umat Islam (Al-Aqsha Haqquna).
Masjid
Al-Aqsha sebagai hak milik kita umat Islam perlu disosialisasikan ke seluruh
lapisan masyarakat umat Islam, agar tumbuh semangat bersama, satu niat dan satu
tujuan, yakni membebaskan Masjidil Aqsha yang begitu mulia berdasar dalil-dalil
qath’i.
Zionis
Yahudi Israel dengan sekutu-sekutunya tidak henti-hentinya menodai citra mulia
Masjid Al-Aqsha dan menjadikannya sebagai kancah pemerkosaan Hak Asasi Manusia
(HAM) yang terburuk sepanjang sejarah peradaban manusia. Seperti menguasai,
melakukan pembakaran, pelarangan untuk shalat, pembunuhan, bahkan rencana
merobohkan Al-Aqsha lewat jalur terowongan, serta menggantinya dengan sinagog
Yahudi.
Terhitung
sejak tahun 1967 sampai sekarang, ratusan kali terjadi insiden berdarah yang melibatkan
Yahudi Israel yang melecehkan bahkan merusak masjid kiblat pertama umat Islam
tersebut.
Adapun
secara aqidah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala sudah memberikan janji kemenangan itu.
Seperti yang Allah janjikan di dalam firman-Nya, di dalam Surat Al-Isra :
فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ أُولاَهُمَا بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَنَا أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ فَجَاسُوا خِلَالَ الدِّيَارِ وَكَانَ وَعْدًا مَفْعُولًا
Artinya :
“Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua
(kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai
kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah
ketetapan yang pasti terlaksana”. (Q.S. Al-Isra [17] : 5).
ثُمَّ رَدَدْنَا لَكُمُ الْكَرَّةَ عَلَيْهِمْ وَأَمْدَدْنَاكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ نَفِيرًا
Artinya :
“Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan
Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kamu
kelompok yang lebih besar”. (Q.S. Al-Isra [17] : 6).
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الْآخِرَةِ لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا
Artinya :
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan
jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri, dan apabila
datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang
lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid,
sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan
sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai”. (Q.S. Al-Isra [17] : 7).
Isyarat
kemenangan itu juga disebutkan di dalam hadits:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ لَعَدُوِّهِمْ قَاهِرِينَ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ إِلاَّ مَا أَصَابَهُمْ مِنْ لَأْوَاءَ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَأَيْنَ هُمْ قَالَ بِبَيْتِ الْمَقْدِسِ وَأَكْنَافِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ
Artinya :
“Tidak henti-hentinya thaifah dari umatku yang menampakkan kebenaran terhadap
musuh mereka. Mereka mengalahkannya, dan tidak ada yang membahayakan mereka
orang-orang yang menentangnya, hingga datang kepada mereka keputusan Allah Azza
wa Jalla, dan tetaplah dalam keadaan demikian”. Para sahabat bertanya, “Wahai
Rasulullah, di manakah mereka?”. Beliau bersabda, “Di Bait Al-Maqdis dan di
sisi-sisi Bait Al-Maqdis”. (H.R. Ahmad dari Abi Umamah).
Untaian ayat
Al-Quran di atas kiranya menjadi energi pembangkit perjuangan umat Islam
membebaskan Masjid Al-Aqsha dari cengkeraman penjajah. Kebangkitan kesatupaduan
umat Islam lewat isu sentral Al-Aqsha Haqquna merupakan suara peringatan dan
teriakan menggema di angkasa bersandar pada Al-Quran.
Sebuah
kekuatan yang oleh Paul Smith, seorang orientalis berkebangsaan Jerman, disebut
sebagai “Kekuatan Internasional di Hari Esok”. Sebuah ikatan kokoh yang sanggup
menghimpun segenap kaum muslimin dari berbagai macam kebangsaan.
Pandangan
Smith, seperti dikutip oleh Syaikh Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya
“Al-Ghazali Menjawab 40 Soal Islam Abad 20, Mengapa Islam Ditakuti?” (Mizan
Bandung, 1999) dikemukakan, ”Kebangkitan Dunia Islam merupakan suara peringatan
bagi Eropa dan merupakan teriakan yang menggema di angkasa berseru kepada
Eropa, supaya berhimpun dan saling bersandar menghadapi raksasa yang sudah
mulai bangkit”.
Lebih lanjut
ia mengatakan, ”Kekuatan Al-Qur’an dalam menghimpun kekuatan seluruh kaum
muslimin tidak dapat dianggap enteng! Berbagai peristiwa di masa lalu tidak
menggoyahkan kepercayaan mereka kepada Al-Qur’an. Semangat Islam masih
menguasai pikiran dan perasaan para pemimpinnya, dan keadaannya akan terus
demikian selama bangsa-bangsa Islam masih tetap menggantungkan nasibnya kepada
ajaran-ajaran Islam. Saya yakin, bahwa ikatan Islam sanggup menghimpun segenap
kaum muslimin dari berbagai kaum muslimin dari berbagai macam kebangsaan.”
Dan liwa
pembebasan Al-Aqsha “Allahu Akbar” itu sudah dikibarkan oleh utusan Jama’ah
Muslimin (Hizbullah) dari Indonesia saat melakukan ziarah ke masjid tersebut,
beberapa tahun lalu. Serta diperkuat secara simbolik diserahkan kepada Syaikh
Dr Yusuf Al-Qaradhawi, saat berkunjung ke Jalur Gaza Palestina.
Bebas dengan
atau Tanpa Kita
Allah Maha
Kuat, Maha Perkasa, lagi Maha Kuasa, sesungguhnya yang mengalahkan Zionis
Israel dan sekutunya hanyalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kita hamba-hamba-Nya
hanyalah menjalankan amanah-Nya, melaksanakan perintah-Nya, berjihad di
jalan-Nya. Adapun kemenangan adalah hak mutlak Allah. Ketahuilah, bahwa yang
mampu mengalahkan Zionis Israel bukanlah pada kekuatan senjata, materi, dan
fisik. Tetapi terletak pada aqidah yang kokoh kepada Allah. Kita bersandar dan
bergantung hanya kepada Allah, “Allaahus shomad”.
Amanah
Pembebasan Al-Aqsha ini adalah suatu yang haq, benar adanya, berdasarkan
Al-Quran dan As-Sunnah. Kalau haq, jawaban kita adalah “Sami’na wa atho’na”.
Kalaupun masih ada di antara kita yang belum siap berangkat jihad Membebaskan
Al-Aqsha, ‘matahari’ tidak akan berhenti hanya karena seseorang. Tetapi akan
terus berjalan seiring perjalanan waktu.
“Al-Aqsha
tetap akan dibebaskan oleh kaum Muslimin Mukminin, dengan atau tanpa kita,”
ujar Dr Adhyaksa Dault, suatu ketika dalam Tabligh Akbar di Masjid At-Taqwa
Kompleks Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor beberaoa tahun lalu.
Solidaritas
Al-Aqsha akan terus berjalan seiring perjalanan waktu sampai Masjid Al-Aqsha
kembali ke pangkuan muslimin. Pembebasan Al-Aqsha ini tentu saja melibatkan
seluruh kaum muslimin muslimat, besar kecil, tua muda, dan seluruh komponen
lapisan masyarakat hingga Masjid Al-Aqsha serta kawasan Palestina dan
sekitarnya bisa dibebaskan dari Zionis Israel, kembali ke pangkuan muslimin.
“isy kariman aw mut syahidan”.
Di dalam
hadits dinubuwwahkan kemenangan itu :
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ الْمُسْلِمُونَ الْيَهُودَ فَيَقْتُلُهُمْ الْمُسْلِمُونَ حَتَّى يَخْتَبِئَ الْيَهُودِيُّ مِنْ وَرَاءِ الْحَجَرِ وَالشَّجَرِ فَيَقُولُ الْحَجَرُ أَوْ الشَّجَرُ يَا مُسْلِمُ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا يَهُودِيٌّ خَلْفِي فَتَعَالَ فَاقْتُلْهُ إِلَّا الْغَرْقَدَ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرِ
Artinya : “
Tidak akan terjadi kiamat sehingga kaum Muslimin berperang dengan Yahudi, maka
kaum Muslimin berhasil membunuh mereka sehingga Yahudi bersembunyi di balik
pohon dan batu. Lalu batu atau pohon itu berkata : Wahai Muslim.. Wahai hamba
Allah! Ini Yahudi sembunyi di belakangku, maka segera bunuh dia, kecuali
gharqad karena ia adalah dari pohon Yahudi. (H.R. Muslim).
Semoga kita
menjadi bagian dari jihad pembebasan Al-Aqsha itu. Ruh semangat Isra Mi’raj
semoga dapat memperjalankan jiwa dan raga kita untuk bergerak membebaskan
Al-Aqsha. Amin Ya Robbal ‘Alamin. Allahu Akbar! Al-Aqsha haqquna!! (P4/P2).
Oleh :
Ali Farkhan Tsani
sumber: http://mirajnews.com/2016/04/kaitan-isra-miraj-dengan-pembebasan-masjid-al-aqsha.html/111771
Tidak ada komentar:
Posting Komentar