Sasaran dakwah seorang da’i yang
berjalan di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mengikuti manhaj
salafus shaleh dalam memperbaiki keadaan ummat dan menggiring mereka
agar istiqomah di atas agama Allah ialah senantiasa mengharapkan hidayah
bagi manusia dan ibra’ adz dzimmah di hadapan Allah.
Maka oleh karena sasaran inilah yang
menjadi pusat perhatian utama, maka seorang da’i yang lurus harus
senantiasa berjalan di atas hikmah dalam setiap urusan, perbuatan maupun
perkataannya. Hendaknya dia menempatkan manusia sesuai dengan keadaan
mereka sesuai dengan yang ditentukan Allah bagi mereka. Dia harus
menghadapi manusia dengan metode yang lebih mendorong untuk diterimanya
nasehat dan berhasilnya dakwah.
Dalam hal ini, Ahlus Sunnah wal Jama’ah
para pengikut salafus shaleh mempunyai jalan dan metode serta manhaj
yang kokoh dalam berdakwah kepada penguasa dan rakyat. Cara yang mereka
tempuh berbada pula sesuai dengan perbedaan kedudukannya masing-masing.
Suatu hal yang semestinya ada untuk
keberhasilan suatu dakwah ialah, memahami keadaan manusia itu sendiri,
tugas-tugas atau jabatannya, serta watak dan tabiat mereka, sesuai
dengan kondisi dan kemampuan yang ada pada mereka. Tentunya dakwah yang
digelar seorang da’i harus sesuai dengan situasi dan kondisi para mad’u
tersebut.
Secara rinci,maksudnya ialah, bahwa
Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pengikut salaf mempunyai jalan dan manhaj
yang jelas, mulia kedudukannya; bersumber dari cahaya nubuwwah dan
hidayah, yaitu rasullah.
Sehingga, kewajiban pertama seorang da’i
sebelum hal-hal lainnya, terutama yang berkaitan dengan penguasa ialah
ketundukan mereka dengan menjalankan apa yang Allah perintahkan kepada
mereka dalam memenuhi hak seorang penguasa.
Berkaitan dengan hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan:
“Sesungguhnya Nabi memerintahkan untuk
taat kepada para imam-iamam yang bertauhid, yang dikenal mempunyai
kekuasaan dan kemempuan memerintah dan mengatur manusia.”
Di samping itu, manusia akan senantiasa
dalam kebaikan selama mereka memuliakan para penguasa dan ‘ulama serta
menunaikan hak-hak mereka. Jika mereka betul-betul memuliakan keduanya,
niscaya Allah akan memperbaiki urusan dunia dan agama mereka.
Sebaliknya, jika mereka meremehkan dan melecehkan keduanya, niscaya
runtuhlah urusan agama dan dunia mereka.
Perintah tersebut merupakan hak seorang
waliul amri (penguasa) yang harus ditunaikan oleh segenap lapisan
masyarakat. Apabila hal ini dilanggar dan tidak dipahami, akhirnya
dakwah yang menyimpang jauh dari perintah tersebut akan menjadi fitnah
dan malapetaka. Bahkan dakwah seperti itu justru merupakan inti suatu
kerusakan dan salah satu sebab yang menimbulkan fitnah di tengah-tengah
kehidupan manusia.
Adapun yang paling mengerti tentang
prinsip utama ini adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pengikut salaf.
Mereka telah tegaskan dalam tulisan-tulisan mereka bahwasanya hak
seorang penguasa untuk dinasehati secara rahasia dalam setiap
kemungkaran yang bersumber dari dirinya. Tidak boleh melakukannya di
tengah-tengah orang banyak, di tengah keramaian, karena hal itu
menyebabkan berkobarnya fitnah dan dorongan untuk memberontak.
Ada beberapa nash yang memahamkan kepada
kita tentang manhaj yang lurus ini; bagaimana bermuamalah dengan para
penguasa, mengarahkan mereka kepada kebaikan dunia dan agama mereka.
Nash-nash tersebut mendorong kaum muslimin untuk tetap mendengar dan
menaati penguasa dalam setiap kebaikan. Di antaranya ialah:
- Firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu.” (An-Nisa’ 59)
- Sabda Rasulullah dalam hadits Ibnu ‘Abbas:
“Barangsiapa yang melihat pada
pemimpinnya suatu perkara yang tidak disukainya, maka hendaklah dia
bersabar. Karena sesungguhnya siapa yang memisahkan diri dari jama’ah
sejengkal, lalu dia mati, maka matinya mati jahiliyah. “ (HR.Muslim)
- Sabda Rasulullah dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud:
“Sesungguhnya akan terjadi
sepeninggalanku sikap atsarah dan hal-hal yang kalian ingkari.” Para
sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apa perintahmu kepada siapa saja dari
kami yang mendapati keadaan demikian?” Beliau bersabda: “Kalian tunaikan
hak yang wajib atas kalian dan meminta kepada Allah apa yang menjadi
hak kalian.” (HR. Muslim)
- Sabda Rasulullah dari Abu Hurairah:
“Tetaplah engkau mendengar dan taat,
baik dalam keadaan sulit, ataupun mudah, dalam perkara yang kau sukai
dan kau inginkan ataupun tidak kau sukai serta adanya atsarah
terhadapmu.” (HR.Muslim)
- Sabda Rasulullah dari Hudzaifah Ibnul Yaman:
“Engkau ttetap mendengar dan mentaati
pemimpin (penguasa) meskipun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas.
Tetaplah mendengar dan taat.” (HR.Muslim)
Inilah beberapa nash yang semuanya
menerangkan dengan jelas manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pengikut
salaf dalam menghadapi penguasa ketika muncul dari penguasa itu hal-hal
yang mengharuskan mereka dinasehati. Tidak ada lain kecuali kesabaran
dan nasehat yang di jalankan sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh
Rasulullah, di mana beliau bersabda:
“Barangsiapa yang ingin menasehati
seorang penguasa, maka janganlah dia tampakkan terang-terangan. Tetapi,
ambillah tangan penguasa itu, ajaklah dia berbicara berduaan
(sembunyi-sembunyi). Kalau dia mau menerima nesehatmu, itulah yang
diharapkan. Kalau tidak, maka sungguh dia telah menunaikan hak penguasa
tersebut.” (HR. Ahmad dari ‘Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim bin
Hazim)
Inilah prinsip dan manhaj salaf yang
lurus dalam menghadapi penguasa muslimin, yakni dengan lemah lembut dan
memposisikan mereka sesuai dengan kedudukan mereka ketika memberikan
penjelasan dan nesehat.
Imam Asy-Syaukani menerangkan pula:
“Seyogyanya bagi mereka yang melihat
kesalahan seorang pemimpin dalam sebuah perkara, menasehati seorang
pemimpin tersebut. Bukan membeberkan kejelekan-kejelekannya di hadapan
khalayak ramai.”
Jadi metode dakwah terhadap penguasa
muslimin ialah mendengar dan mentaatinya, menempatkannya sesuai dengan
kedudukannya dan menasehatinya secara senbunyi-senbunyi dengan lamah
lembut sesuai dengan kedudukannya. Sebab, cara yang demikian akan lebih
mudah untuk diterimanya nasehat itu dan lebih tepat untuk menyatukan
hati manusia (rakyat) terhadap penguasanya. Tidak menyebabkan mereka
lari dari penguasanya, apalagi memberontak baik dalam bentuk ucapan
(provokasi dan sejenisnya) maupun tindakan (mulai dari demonstrasi
sampai kudeta berdarah atau pemberontakan bersenjata).
Berkaitan dengan ini pula, sejumlah imam
dakwah ini rahimahumullahu Ta’ala, berbicara ketika muncul sebagian
oarang yang menasehati penguasa dengan cara-cara yang justru menyulut
api fitnah, kata mereka:
“Adapun apa yang kadang-kadang terjadi
dari sebagian penguasa, baik kemaksiatan maupun penyelewengan, yang
belum sampai pada tingkat kekafiran atau keluar dari islam, maka yang
wajib dalam masalah ini ialah menasehati mereka menurut tuntunan
syari’at dengan lemah lembut serta tetap mengikuti apa yang diajarkan
oleh shalafus shaleh. Yaitu tidak menjelek-jelekkan mereka di
majelis-majelis maupun tempat keramaian.”
Persoalan ini adalah prinsip dasar yang
telah ditegaskan oleh ‘ulama Islam di dalam buku-buku mereka. Yakni,
buku-buku ‘aqidah, mereka juga telah menjelaskan penertian yang dimaksud
dalam buku-buku itu. Berbeda dengan orang-orang yang salah dalam
permasalahan ini. Akhirnya jalan yang ditempuhnya menjadi petaka bagi
islam dan kaum muslimin, menimbulkan mudharat terhadap dakwah dan para
da’inya.
Hadits-hadits sebelumnya yang
menerangkan manhaj yang mulia ini dalam menasehati para penguasa, telah
diamalkan oleh para sahabat Rasulullah. Mereka paham bahwa ini merupakan
salah satu prinsip pokok (ushul) yang tidak mungkin Islam dapat tegak
tanpa prinsip ini. Mereka berpendapat bahwa orang keluar dari garis ini,
berarti keluar dari dakwah kaum muslimin dan memilih jalan khawarij.
Perhatikan sebagaimana sikap sahabat
yang mulia Ibnul ‘Umar, dimana beliau datang kepada ‘Abdullah bin Muthi’
pada masa alhurrah yang diberlakukan oleh Yazid Mu’awiyah. Ibnu Muthi’
berkata: “Berikan bantal kepada Abu ‘Abdirrahman.”
Kata Ibnu ‘Umar: “Saya datang bukan
untuk bermajelis denganmu. Saya menemuimu untuk menyampaikan satu hadits
yang aku dengar dari Rasulullah, saya mendengar beliau bersabda:
“Barangsiapa yang melapaskan tangannya
dari ketaatan (kepada penguasa), niscaya dia bertemu Allah pada hari
kiamat tidak mempunyai alasan (hujjah). Dan siapa yang mati dalam
keadaan tidak ada di lehernya ikatan bai’at, maka matinya adalah mati
jahiliyah.” (HR. Muslim)
Sebetulnya, apapun malapetaka yang
menimpa ummat ini, tidak lain karena disia-siakannya prinsip utama ini.
Sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Qayyim:
“Barang siapa yang memperhatikan
fitnah-fitnah yang menimpa kaum muslimin, dia tentu tahu bahwa sebabnya
ialah tersia-sianya prinsip utama ini.”
Bahkan tidak ada satu kelompok yang
menyimpang dari jalan yang lurus ini lalu menempuh jalan Yahudi dan al
ghayy melainkan jalan yang ditempuhnya itu jauh lebih hebat kerusakannya
dibandingkan kerusakan yang ingin mereka lenyapkan.
Bukanlah merupakan jalan kaum salaf,
untuk mengikuti dakwah secara rahasia, pembentukan organisasi-organisasi
hizbiyah (golongan atau kepartaian), namun akhirnya justru menjadi
mesin penghancur berlabel dakwah. Mereka (salaf) terlalu suci dan bersih
untuk mengikuti jalan-jalan yang rusak yang ditempuh oleh sebagian
gerakan dakwah yang mengupayakan pembentukan organisasi hizbiyah di
zaman kita ini.
Bahkan, hati mereka suci dan bersih
ketika menghadapi para penguasa dan masyarakat. Mereka selalu berjalan
di atas prinsip dasar dan jalan salaf yang mulia dan agung. Mengikuti
sunnah Nabi dan atsar salaf yang sangat menginginkan perbaikan dan
istiqamah di atas al haq.
( Dikutip dari buku Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al HAURA)
url: http://www.salafy.or.id/perbedaan-antara-dakwah-terhadap-penguasa-dan-rakyat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar