Banyak
hal dalam keseharian kita yang mesti dikoreksi. Karena ada di antara
kebiasaan yang lazim berlaku di tengah masyarakat kita namun
sesungguhnya menyimpang dari syariat. Berjabat tangan dengan lawan
jenis adalah contohnya. Praktik ini tersuburkan dengan minimnya
keteladanan dari mereka yang selama ini disebut tokoh agama.
Idul
Fithri belum lama berlalu. Kegembiraannya masih tertinggal di tengah
kita. Saat seorang muslim bertemu dengan saudaranya masih terdengar
tahni`ah, ucapan selamat, “taqabballahu minna wa minkum1.”
Tradisi salam-salaman alias berjabat tangan di negeri kita saat hari
raya masih terus berlangsung, walaupun sebenarnya untuk saling
berjabat tangan dan meminta maaf tidak perlu menunggu hari raya2.
Kapan kita memiliki kesalahan maka segera meminta maaf, dan kapan
kita bertemu dengan saudara kita maka kita mengucapkan salam dan
berjabat tangan.
Berjabat
tangan yang dalam bahasa Arab disebut
dengan mushafahah memang perkara yang ma’ruf, sebuah kebaikan.
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan ucapan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ
الْمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ الْمُؤْمِنَ
فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، وَأَخَذَ بِيَدِهِ
فَصَافَحَهُ، تَنَاثَرَتْ خَطَايَاهُمَا
كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرِ
“Sesungguhnya seorang
mukmin apabila bertemu dengan mukmin yang lain, lalu ia mengucapkan
salam dan mengambil tangannya untuk menjabatnya, maka akan berguguran
kesalahan-kesalahan keduanya sebagaimana bergugurannya daun-daun
pepohonan.” (HR. Al-Mundziri dalam At-Targhib 3/270, Al-Haitsami
dalam Al-Majma’ 8/36, lihat Ash-Shahihah no. 526)
Amalan yang pertama kali
dicontohkan oleh ahlul Yaman (penduduk Yaman)3 kepada penduduk
Madinah ini biasa dilakukan di tengah masyarakat kita. Kata shahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Al-Bara` bin
‘Azib radhiyallahu ‘anhu:
مِنْ
تَمَامِ التَّحِيَّةِ أَنْ تُصَافِحَ
أَخَاكَ
“Termasuk kesempurnaan
tahiyyah (ucapan salam) adalah engkau menjabat tangan saudaramu.”
(HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 968, Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad menyatakan: Sanadnya
shahih secara mauquf)
Berjabat
tangan telah jelas kebaikannya. Namun bagaimana kalau laki-laki dan
perempuan yang bukan mahram saling berjabat tangan, apakah suatu
kebaikan pula? Tentu saja tidak!!! Walaupun menurut perasaan
masyarakat kita, tidaklah beradab dan tidak punya tata krama sopan
santun, bila seorang wanita diulurkan tangan oleh seorang lelaki dari
kalangan karib kerabatnya, lalu ia menolak untuk menjabatnya. Dan
mungkin lelaki yang uluran tangannya di-”tampik” itu akan
tersinggung berat. Sebutan yang jelek pun akan disematkan pada si
wanita. Padahal si wanita yang menolak berjabat tangan tersebut
melakukan hal itu karena tahu tentang hukum berjabat tangan dengan
laki-laki yang bukan mahramnya.
Rasul yang mulia Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai qudwah kita, tak pernah mencontohkan
berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya. Bahkan beliau
mengharamkan seorang lelaki menyentuh wanita yang tidak halal
baginya. Beliau pernah bersabda:
لَأَنْ
يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ
مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ
يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Kepala salah seorang
ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada
menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani
dalam Al-Kabir 20/210 dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu,
lihat Ash-Shahihah no. 226)
Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu berkata, “Dalam hadits ini ada ancaman yang keras
bagi lelaki yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Dan
juga merupakan dalil haramnya berjabat tangan dengan para wanita,
karena jabat tangan tanpa diragukan masuk dalam pengertian menyentuh.
Sungguh kebanyakan kaum muslimin di zaman ini ditimpa musibah dengan
kebiasaan berjabat tangan dengan wanita (dianggap sesuatu yang lazim,
bukan suatu kemungkaran, -pent.). Di kalangan mereka ada sebagian
ahlul ilmi, seandainya mereka mengingkari hal itu hanya di dalam hati
saja, niscaya sebagian perkaranya akan menjadi ringan, namun ternyata
mereka menganggap halal berjabat tangan tersebut dengan beragam jalan
dan takwil. Telah sampai berita kepada kami ada seorang tokoh besar
di Al-Azhar berjabat tangan dengan para wanita dan disaksikan oleh
sebagian mereka. Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita
sampaikan pengaduan dengan asingnya ajaran Islam ini di tengah
pemeluknya sendiri. Bahkan sebagian organisasi-organisasi Islam
berpendapat bolehnya jabat tangan tersebut. Mereka berargumen dengan
apa yang tidak pantas dijadikan dalil, dengan berpaling dari hadits
ini4 dan hadits-hadits lain yang secara jelas menunjukkan tidak
disyariatkan jabat tangan dengan kaum wanita non-mahram.”
(Ash-Shahihah, 1/448-449)
Dalam
membaiat para shahabiyyah sekalipun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak menjabat tangan mereka5. ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan:
أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَمْتَحِنُ مَنْ هَاجَرَ
إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ بِهَذِهِ
اْلآيَةِ بِقَوْلِ اللهِ تَعَالَى {ياَ
أيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ
الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ} إِلَى
قَوْلِهِ {غَفُوْرٌ
رَحِيْمٌ} قَالَ عُرْوَةُ:
قَالَتْ عَائِشَةُ: فَمَنْ
أَقَرَّ بِهَذَا الشَّرْطِ مِنَ
الْمُؤْمِنَاتِ، قَالَ لَهَا رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
قَدْ باَيَعْتُكِ؛ كَلاَمًا،
وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ
امْرَأَةٍ قَطُّ فِي الْمُبَايَعَةِ،
مَا يبُاَيِعُهُنَّ إِلاَّ بِقَوْلِهِ:
قَدْ باَيَعْتُكِ عَلَى ذَلِكَ
Sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menguji kaum mukminat yang berhijrah
kepada beliau dengan firman Allah ta’ala: “Wahai Nabi, apabila
datang kepadamu wanita-wanita yang beriman untuk membaiatmu….”
Sampai pada firman-Nya: “Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.”
Urwah berkata, “Aisyah mengatakan: ‘Siapa di antara wanita-wanita
yang beriman itu mau menetapkan syarat yang disebutkan dalam ayat
tersebut’.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
berkata kepadanya, “Sungguh aku telah membaiatmu”, beliau
nyatakan dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” ‘Aisyah
berkata, “Tidak, demi Allah! Tangan beliau tidak pernah sama sekali
menyentuh tangan seorang wanita pun dalam pembaiatan. Tidaklah beliau
membaiat mereka kecuali hanya dengan ucapan, “Sungguh aku telah
membaiatmu atas hal tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 4891 dan Muslim
no. 4811)
Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaiat mereka hanya dengan
mengucapkan “Sungguh aku telah membaiatmu”, tanpa beliau menjabat
tangan wanita tersebut sebagaimana kebiasaan yang berlangsung pada
pembaiatan kaum lelaki dengan menjabat tangan mereka.” (Fathul
Bari, 8/811)
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullahu menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan tidak
bolehnya menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (non mahram) tanpa
keperluan darurat, seperti karena pengobatan dan hal lainnya bila
memang tidak didapatkan dokter wanita yang bisa menanganinya. Karena
keadaan darurat, seorang wanita boleh berobat kepada dokter laki-laki
ajnabi (bukan mahram si wanita). (Al-Minhaj, 13/14)
Umaimah
bintu Ruqaiqah berkata: “Aku bersama rombongan para wanita
mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membaiat
beliau dalam Islam. Kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami
membaiatmu bahwa kami tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun,
tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami,
tidak melakukan perbuatan buhtan yang kami ada-adakan di antara
tangan dan kaki kami, serta kami tidak akan bermaksiat kepadamu dalam
perkara kebaikan.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesuai yang kalian mampu dan sanggupi.” Umaimah
berkata, “Kami berucap, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih sayang kepada
kami daripada sayangnya kami kepada diri-diri kami. Marilah, kami
akan membaiatmu6 wahai Rasulullah!’.” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kemudian berkata:
إِنِّي
لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ، إِنَّمَا
قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي
لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ
“Sesungguhnya
aku tidak mau berjabat tangan dengan kaum wanita. Hanyalah ucapanku
kepada seratus wanita seperti ucapanku kepada seorang wanita.” (HR.
Malik 2/982/2, An-Nasa`i dalam ‘Isyratun Nisa` dari As-Sunan
Al-Kubra 2/93/2, At-Tirmidzi, dll. Lihat Ash-Shahihah no. 529)
Dari
hadits-hadits yang telah disebutkan di atas, jelaslah larangan
berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Karena seorang
lelaki haram hukumnya menyentuh atau bersentuhan dengan wanita yang
tidak halal baginya. Al-Imam Asy-Syinqinthi rahimahullahu berkata,
“Tidaklah diragukan bahwa sentuhan tubuh dengan tubuh lebih kuat
dalam membangkitkan hasrat laki-laki terhadap wanita, dan merupakan
pendorong yang paling kuat kepada fitnah daripada sekedar memandang
dengan mata.7 Dan setiap orang yang adil/mau berlaku jujur akan
mengetahui kebenaran hal itu.” (Adhwa`ul Bayan, 6/603)
Sebagian
orang bila ingin berjabat tangan dengan wanita ajnabiyyah atau
seorang wanita ingin berjabat tangan dengan lelaki ajnabi, ia
meletakkan penghalang di atas tangannya berupa kain, kaos tangan dan
semisalnya. Seolah maksud dari larangan jabat tangan dengan ajnabi
hanyalah bila kulit bertemu dengan kulit, adapun bila ada penghalang
tidaklah terlarang. Anggapan seperti ini jelas batilnya, karena dalil
yang ada mencakupinya dan sebab pelarangan jabat tangan dengan ajnabi
tetap didapatkan meski berjabat tangan memakai penghalang.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin
Baz rahimahullahu berkata, “Tidak boleh berjabat tangan dengan
wanita yang bukan mahram, baik si wanita masih muda ataupun sudah
tua. Dan sama saja baik yang menjabatnya itu anak muda atau kakek
tua, karena adanya bahaya fitnah (ujian/cobaan) yang bisa didapatkan
oleh masing-masingnya.”
Asy-Syaikh
juga berkata, “Tidak ada bedanya baik jabat tangan itu dilakukan
dengan ataupun tanpa penghalang, karena keumuman dalil yang ada. Juga
dalam rangka menutup celah-celah yang mengantarkan kepada fitnah
(ujian/cobaan).”
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullahu mengatakan, “Segala sesuatu yang menyebabkan fitnah
(godaan) di antara laki-laki dan perempuan hukumnya haram,
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا
تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى
الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan
setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah
wanita.”
Tidaklah
diragukan bahwa bersentuhannya kulit laki-laki dengan kulit perempuan
akan menimbulkan fitnah. Kalaupun ada yang
tidak terfitnah maka itu jarang sekali, sementara sesuatu yang jarang
terjadinya tidak ada hukumnya sebagaimana dinyatakan oleh ahlul ilmi.
Sungguh ahlul ilmi telah menulis permasalahan ini dan mereka
menerangkan tidak halalnya laki-laki berjabat tangan dengan wanita
ajnabiyah. Inilah kebenaran dalam masalah ini. Berjabat tangan dengan
non mahram adalah perkara yang terlarang, baik dengan pengalas atau
tanpa pengalas.”
Beliau
juga mengatakan, “Secara umum, tergeraknya syahwat disebabkan
sentuhan kulit dengan kulit lebih kuat daripada sekedar melihat
dengan pandangan mata/tidak menyentuh. Bila seorang lelaki tidak
dibolehkan memandang telapak tangan wanita yang bukan mahramnya, lalu
bagaimana dibolehkan ia menggenggam telapak tangan tersebut?”
(Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, 2/541-543)
Demikian
masalah hukum berjabat tangan antara lelaki dan wanita yang bukan
mahram.
Wallahu ta’ala a’lam
bish-shawab.
1 Ucapan selamat pada hari
Id ini pernah ditanyakan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullahu sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa (24/253). Beliau
menjawab, “Tidak ada asalnya dalam syariat. Telah diriwayatkan dari
sekelompok shahabat bahwa mereka melakukannya. Sebagian imam memberi
rukhshah untuk melakukannya seperti Al-Imam Ahmad rahimahullahu dan
selainnya. Akan tetapi Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata, ‘Aku
tidak memulai mengucapkannya kepada seseorang. Namun bila ada yang
lebih dahulu mengucapkannya kepadaku, aku pun menjawabnya karena
menjawab tahiyyah itu wajib.’ Adapun memulai mengucapkan tahni`ah
bukanlah sunnah yang diperintahkan dan juga tidak dilarang. Siapa
yang melakukannya maka ia punya contoh dan siapa yang meninggalkannya
maka ia punya contoh.”
Yang dimaksudkan tahiyyah
oleh Imam Ahmad rahimahullahu adalah firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala:
وَإِذَا
حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا
بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوْهَا
“Dan
apabila kalian diberi ucapan salam penghormatan maka jawablah dengan
yang lebih baik darinya atau balaslah dengan yang semisalnya.”
(An-Nisa`: 86)
2 Saling mengunjungi saat
hari raya dan berjabat tangan ketika berjumpa di hari raya, demikian
pula saling mengucapkan selamat, bukanlah perkara yang disyariatkan
bagi pria maupun wanita. Namun demikian, hukumnya tidak sampai
bid’ah. Terkecuali bila pelakunya menganggap hal itu sebagai
taqarrub (ibadah yang dapat mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala , barulah sampai pada bid’ah karena hal itu tidak
pernah dilakukan di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Nashihati lin Nisa`, Ummu Abdillah bintu Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i
rahimahullahu, hal. 124)
3 Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
لَماَّ
جاَءَ أَهْلُ الْيَمَنِ، قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
قَدْ أَقْبَلَ أَهْلُ الْيَمَنِ
وَهُمْ أَرَقُّ قُلُوْبًا مِنْكُمْ،
فَهُمْ أَوَّلُ مَنْ جَاءَ بِالْمُصَافَحَةِ
Tatkala datang ahlul Yaman,
berkatalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh telah
datang ahlul Yaman, mereka adalah orang-orang yang paling
halus/lembut hatinya daripada kalian.” (Kata
Anas): “Mereka inilah yang pertama kali datang membawa mushafahah
(adat berjabat tangan).” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul
Mufrad no. 967, lihat Shahih Al-Adabil Mufrad dan Ash-Shahihah no.
527)
4 Hadits
Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan di
atas.
5 Dalam hadits yang
dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad (2/213) dari Abdullah bin ‘Amr
radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
كَانَ
لاَ يُصَافِحُ النِّسَاءَ فِي الْبَيْعَةِ
“Beliau
tidak menjabat tangan para wanita dalam baiat.” (Dihasankan
sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah
no. 530)
6 Dijelaskan
oleh Sufyan bahwa maksud mereka adalah, “Marilah engkau menjabat
tangan kami.” Dalam riwayat Ahmad disebutkan dengan lafadz:
قُلْنَا:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَلاَ
تُصَافِحُنَا؟
“Kami
katakan, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjabat tangan
kami?’.”
7 Sementara
memandang wanita yang bukan mahram dengan sengaja adalah perkara yang
dilarang dalam syariat. Bila demikian, tentunya lebih terlarang lagi
bila lebih dari sekedar memandang.
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
http://asysyariah.com/print.php?id_online=585
Tidak ada komentar:
Posting Komentar