Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Selasa, 17 April 2012

Hukum (Rambut) Berponi


Tanya: Apa pendapat Anda tentang perbuatan sebagian wanita yang memotong bagian depan rambut mereka dengan maksud berhias, yang biasa distilahkan poni?
Jawab: Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu mengatakan: “Fuqaha Al-Hanabilah rahimahumullah menyebutkan dimakruhkan wanita mengurangi
sedikitpun dari rambut kepalanya kecuali dalam tahallul ibadah haji atau umrah. Akan tetapi mereka tidak menyebutkan dalil dalam masalah ini. Sebagian fuqaha Al-Hanabilah bahkan sampai mengharamkan wanita menggunting rambutnya kecuali dalam tahallul haji atau umrah. Akan tetapi saya tidak mengetahui ada dalil bagi mereka dalam pengharaman tersebut. Sehingga yang rajih (pendapat yang kuat) menurut saya adalah bila potongan rambut wanita tersebut sampai menyerupai model rambut laki-laki atau menyerupai wanita-wanita musyrik, maka hal itu tidak dibolehkan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَعَنَ الْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجاَلِ
“Beliau melaknat wanita yang menyerupai laki-laki.”1
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dari kaum tersebut.”2
Adapun bila potongan rambutnya tidak sampai pada batasan tersebut (tidak menyerupai laki-laki atau menyerupai wanita kafir, pent.) maka dibolehkan. Namun bersamaan dengan pendapat saya ini, saya tidak menyukai dan tidak memandang baik bila wanita ataupun selain wanita sibuk mengikuti setiap model baru yang ada. Karena, kalau kita asyik mengikuti setiap model baru dan mengikuti semua yang datang dari luar maka pastilah kita akan memasuki pintu taqlid (membebek) kepada mereka. Hingga bisa jadi taqlid kita kepada mereka sampai dalam kesesatan akhlak, akidah, dan pemikiran yang ada pada mereka.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 2/831)

Tanya: Bolehkah wanita memendekkan bagian depan dari rambutnya yang terkadang sampai di atas alis si muslimah? Jazakumullah khairan.
Jawab: Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu berkata: “Kami tidak memandang adanya larangan memotong rambut bagi wanita, yang dilarang adalah menggundulinya. Engkau (wahai saudari) tidak boleh menggundul rambut kepalamu. Namun kalau engkau memotongnya karena terlalu panjang atau terlalu lebat, kami tidak melihat adanya larangan. Namun hendaknya itu dilakukan dengan cara yang baik yang engkau sukai dan disukai oleh suamimu. Di mana kalian berdua bisa menyepakati bentuk potongan tersebut dengan syarat tidak menyerupai wanita kafir. Karena mungkin bila dibiarkan panjang dan lebat akan sulit membersihkan serta menyisirnya. Bila rambut si wanita lebat lalu ia memotong sebagiannya karena terlalu panjang atau terlalu lebat maka tidak jadi masalah. Atau karena bila dipangkas akan tampak lebih indah sehingga engkau dan suamimu menyukainya, maka kami menganggap hal itu boleh-boleh saja. Adapun mencukurnya sampai habis (gundul) tidak dibolehkan kecuali karena alasan penyakit dan sejenisnya.” (Fatawal Mar`ah, hal. 85)




Memotong Rambut Seperti Model Barat


Tanya: Apa hukumnya memotong rambut dengan model yang diambil dari majalah-majalah Barat atau model potongan yang dikenal di kalangan orang-orang dengan nama tertentu, yang juga diambil dari Barat? Apabila telah tersebar luas model potongan demikian di kalangan wanita muslimah, apakah masih teranggap tasyabbuh?

Jawab: Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan rambut wanita sebagai keindahan dan perhiasan baginya, sehingga haram bagi si wanita mencukurnya kecuali karena darurat. Bahkan dalam tahallul haji dan umrah, si wanita hanya disyariatkan memotong rambutnya seukuran kuku, di mana dalam saat yang bersamaan (dalam dua ibadah ini) lelaki disyariatkan mencukur rambutnya. Hal ini termasuk bukti bahwa wanita dituntut memelihara rambutnya dan tidak memotongnya kecuali karena kebutuhan, bukan semata alasan ingin berhias. Karena –misalnya– si wanita sakit sehingga rambutnya perlu dipotong atau ia tidak mampu menyediakan kebutuhan (biaya) perawatan rambutnya karena kefakirannya. Dalam keadaan seperti ini, boleh bagi si wanita meringankan rambutnya dengan memotongnya, sebagaimana hal ini dilakukan oleh sebagian istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sepeninggal beliau1.
Adapun bila si wanita memotong rambutnya karena tasyabbuh dengan wanita-wanita kafir dan fasik, maka tidak diragukan keharamannya, walaupun model seperti itu telah banyak tersebar di kalangan wanita muslimah, selama asalnya tasyabbuh maka tetap haram. Tersebar bukanlah berarti pembolehan, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dari kaum tersebut.”
Dan juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan termasuk golongan kami, orang yang menyerupai (tasyabbuh) dengan selain kami.”2
Kaidah dalam perkara ini adalah apa yang merupakan kebiasaan orang-orang kafir secara khusus maka tidak boleh kita melakukannya dalam rangka tasyabbuh dengan mereka. Karena tasyabbuh dengan mereka dalam perkara dzahir menunjukkan kecintaan kepada mereka di dalam batin. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Siapa di antara kalian berloyalitas dengan mereka (orang-orang kafir) maka dia termasuk dari mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (Al-Ma`idah: 51)
Berloyalitas kepada mereka adalah mencintai mereka dan termasuk fenomena cinta adalah tasyabbuh dengan mereka.”
(Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/186, 187)


1 Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسلم الْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ, وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Al-Bukhari no. 5885, 6834) –pent.
2 HR. Ahmad 2/50, 92, Abu Dawud, dan selainnya dari Ibnu ‘Umar c. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1269. –pent.
1 Seperti yang disebutkan dalam hadits berikut ini:
Abu Salamah bin Abdirrahman, anak susu dari Ummu Kultsum bintu Abi Bakr, saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anhum, menyatakan, “Aku masuk ke tempat Aisyah x bersama saudara laki-laki sepersusuan Aisyah. Maka saudaranya ini bertanya kepada Aisyah tentang mandi janabah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah pun meminta diambilkan air dalam bejana yang berukuran sekadar satu sha’, lalu ia mandi, sementara antara kami dan Aisyah ada penutup. Aisyah menuangkan air di atas kepalanya sebanyak tiga kali. Kata Abu Salamah:
كَانَ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْخُذْنَ مِنْ رُؤُسِهِنَّ حَتَّى يَكُوْنَ كَالوَفْرَةِ
“Adalah istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil (memendekkan) rambut mereka hingga seperti wafrah.” (HR. Muslim no. 726)
Wafrah adalah rambut yang sampai ke kedua telinga dan tidak melebihinya. Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu menyatakan bahwa yang umum di kalangan wanita-wanita Arab adalah memanjangkan rambut mereka hingga dapat dijalin. Adapun yang dilakukan oleh istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini bisa jadi setelah wafat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka tidak lagi butuh berdandan dan merasa tidak ada kebutuhan memanjangkan rambut mereka, dalam rangka mempermudah perawatan rambut. Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu memastikan bahwa hal itu dilakukan oleh istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau meninggal, bukan di masa hidup beliau. Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, “Dalam hadits ini ada dalil bolehnya wanita mengurangi rambutnya. Wallahu a’lam.” (Al-Minhaj, 3/229)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata, “Boleh bagi wanita mengambil/memotong rambutnya jika tidak bertujuan untuk tasyabbuh dengan wanita-wanita kafir. Namun kalau tujuannya tasyabbuh, tidaklah dibolehkan dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
dan hadits lainnya.” (Jilbab Al-Mar`ah Al-Muslimah fil Kitabi was Sunnah, hal. 148) -pent.
2 HR. At-Tirmidzi no. 2695 dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya. Lihat Ash-Shahihah hadits no. 2194.


Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar