|
ﺑﺴﻢ ﷲ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ ﺍﻟﺤﻤﺪ ﷲ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ اﷲ ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﻣﻦ ﺍﺗﺒﻊ ﻫﺪﺍﻩ ﺇﻟﻰ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺃﻣﺎ ﺑﻌﺪ: Sebenarnya saya tidak punya keinginan sama sekali untuk menanggapi tulisan seseorang yang hanya pandai "bersilat lidah", sebab hal tersebut hanyalah akan membuang-buang waktu tanpa ada faedah ilmiah yang bisa kita ambil. Namun sehubungan karena adanya sebagian ikhwan yang mendesak saya untuk menjelaskan tentang kronologi hasil rencana pertemuan dengan para masyayikh yang akan diadakan sebelumnya. Maka saya berkata -wabillaahit taufiiq-:
Setelah saya mengeluarkan tulisan yang menjelaskan tentang kesediaan saya untuk bertemu dihadapan para masyayikh, ditambah dengan satu persyaratan yang saya ajukan yaitu menghadirkan minimal salah seorang diantara 3 syaikh yang diketahui memiliki pengetahuan yang lebih mendalam tentang ihya atturats dan sepak terjangnya, dengan tujuan agar diharapkan bahwa hasil pertemuan tersebut benar-benar ilmiah dan dibangun diatas waqi' yang sebenarnya. Dan ini ditanggapi oleh al-Akh Firanda dengan kegembiraan yang menunjukan tanda persetujuan. |
Jumat, 24 Juni 2011
KRONOLOGI RENCANA PERTEMUAN BERSAMA PARA MASAYIKH
Beberapa Hadits Terkait Amalan di Bulan Rajab
بسم الله الرحمن الرحيم
Beberapa Hadits Terkait Amalan di Bulan Rajab
Nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang besar ketika kita masih diberi umur untuk hidup di dunia dalam rangka menambah bekal bertemu dengan-Nya. Kita sekarang berada di bulan Rajab yang merupakan salah satu bulan yang mulia dalam kalender Islam. Terkait bulan Rajab ini, telah banyak beredar di masyarakat berbagai hadits yang menjelaskan keutamaan sholat sunnah dan puasa sunnah di bulan Rajab. Namun, sangat disayangkan ternyata berbagai hadits tersebut telah dihukumi para ulama sebagai hadits yang tidak shahih/tidak benar penyandaran berbagai hadits tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, sebagiannya adalah hadits yang tergolong dalam deretan hadits palsu atau maudhu’. Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqolani Asy Syafi’i-seorang ulama besar dari madzhab Syafi’I dan berbagai karya beliau diakui oleh kaum muslimin seperti kitab Bulughul Maram-telah menyusun sebuah buku khusus terkait berbagai hadits tersebut dengan judul Tabyinul ‘Ujab. Berikut kami sebutkan beberapa hadits tersebut disertai penjelasan cacat dalam setiap hadits insyaallah.
Peduli Yasmin | Mengharap Pahala Membantu Sesama: Surat Himbauan Untuk Membantu Keluarga Abu Nu'man
Surat Himbauan Untuk Membantu Keluarga Abu Nu'man
Kamis, 23 Juni 2011
Sabtu, 18 Juni 2011
Jangan Lakukan Itu, Kecuali Al-Fatihah, karena Tidak Sah Shalat Bagi Orang yang Tidak Membaca Al-Fatihah
Makmum Membaca Al-Fatihah di Belakang Imam
Bila Bayi tabung diperbolehkan, Syar'ikah proses pelaksanaanya?
Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Metrotvnews.com, Jakarta: Setiap orang tua pasti sangat mendambakan keturunan. Tapi, tak semua pasangan suami istri bisa memiliki keturunan dengan cara alami. Teknologi kedokteran pun memungkinkan suami istri mewujudkan keinginan itu dengan program bayi tabung(Metro Siang / Umum / Sabtu, 18 Juni 2011 12:29 WIB). Nah yang menjadi pikiran, syar'ikah proses pelaksanaan bayi tabung tersebut, berikut penuturan Syeikh Al-Albani.
Tanya:
Bagaimana menurut pandangan syariah tentang bayi tabung?
Jumat, 17 Juni 2011
Tafsir Bismillah dan Faedahnya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata: “Tafsirnya adalah: Sesungguhnya seorang insan meminta tolong dengan perantara semua Nama Allah. Kami katakan: yang dimaksud adalah setiap nama yang Allah punya. Kami menyimpulkan hal itu dari ungkapan isim (nama) yang berbentuk mufrad (tunggal) dan mudhaf (disandarkan) maka bermakna umum. Seorang yang membaca basmalah bertawassul kepada Allah ta’ala dengan menyebutkan sifat rahmah. Karena sifat rahmah akan membantu insan untuk melakukan amalnya. Dan orang yang membaca basmalah ingin meminta tolong dengan perantara nama-nama Allah untuk memudahkan amal-amalnya.” (Shifatush Shalah, hal. 64).
Kamis, 16 Juni 2011
Hadits-Hadits Lemah dan Palsu Seputar Bulan Rajab
Apakah basmalah termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah ataukah bukan
Jawaban :
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa
basmalah termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah, harus dibaca jahr
(dikeraskan bacaannya) dalam shalat dan berpendapat tidak sah shalat tanpa
membaca basmalah, sebab masih termasuk dalam surat Al-Fatihah.
Sebagian ulama lain berpendapat, basmalah tidak termasuk dalam surat
Al-Fatihah. Namun ayat yang berdiri sendiri dalam Al-Qur'an.
Inilah pendapat yang benar. Pendapat ini berdasarkan nash dan rangkaian
ayat dalam surat ini.
Adapun dasar di dalam nash, telah diriwayatkan dalam sebuah hadits dari
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda : Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Aku membagi shalat (yakni surat Al-Fatihah) menjadi dua bagian,
separuh untuk-Ku dan separuh untuk hamba-Ku. Apabila ia membaca : "Segala
puji bagi Allah". Maka Allah menjawab : "Hamba-Ku telah memuji-Ku".
Apabila ia membaca : "Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang". Maka Allah
menjawab: "Hamba-Ku telah menyanjung-Ku". Apabila ia membaca : "Penguasa
hari pembalasan". Maka Allah menjawab : "Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku".
Apabila ia membaca : " Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada
Engkaulah kami memohon pertolongan". Maka Allah menjawab : "Ini separoh
untuk-Ku dan separoh untuk hamba-Ku". Apabila ia membaca : "Tunjukilah
kami kepada jalan yang lurus". Maka Allah menjawab : "Ini untuk hamba-Ku,
akan Aku kabulkan apa yang ia minta" [3]
Ini semacam penegasan bahwa basmalah bukan termasuk dalam surat
Al-Fatihah. Dalam kitab Ash-Shahih diriwayatkan dari Anas bin Malik
Radhiyalahu 'anhu, ia berkata : "Aku pernah shalat malam bermakmum di
belakang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman
Radhiyallahu 'anhum. Mereka semua membuka shalat dengan membaca :
"Alhamdulillaahi Rabbil 'Aalamin" dan tidak membaca ;
'Bismillaahirrahmaanirrahiim" di awal bacaan maupun di akhirnya. [4]
Maksudnya mereka tidak mengeraskan bacaannya. Membedakan antara basmalah
dengan hamdalah dalam hal dikeraskan dan tidaknya menunjukkan bahwa
basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah.
[3]. Hadits riwayat Muslim dalam kitab Shalat, bab : Kewajiban membaca
Al-Fatihah di setiap raka'at no. (38) (395)
[4]. Hadits riwayat Muslim dalam kitab Shalat, bab : Argumentasi
orang-orang yang berpendapat bacaan basmalah tidak dikeraskan, no. (52) (399).
Selasa, 14 Juni 2011
Hukum Membawa Ayat-ayat al-Qur`an dan Meletakkannya dalam Mobil untuk Membantu Kesuksesan
Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya membawa ayat-ayat al-Qur`an di saku, seperti mushaf kecil dengan tujuan memelihara dari sifat dengki dan 'ain, atau kejahatan apapun dengan memandang bahwa ia adalah ayat-ayat Allah yang mulia? Berdasarkan keyakinan bahwa pemeliharaan al-Qur`an terhadap manusia adalah keyakinan yang benar kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Demikian pula meletakkannya di mobil atau alat yang lain untuk tujuan yang sama.
Demikian pula pertanyaan kedua yang berbunyi: hukum membawa hijab yang ditulis ayat-ayat Allah Subhanahu Wata'ala dengan tujuan memelihara dari 'ain atau dengki atau karena sebab apapun jua seperti bantuan agar berhasil atau sembuh dari sakit atau sihir hingga sebab-sebab lainnya.
Demikian pula pertanyaan yang berbunyi: hukum menggantung ayat-ayat al-Qur`an dengan ruqyah di gelang emas atau lainnya untuk memelihara dari kejahatan.
Jawaban:
Senin, 13 Juni 2011
HUKUM BERWUDU DI WC [TOILET]
Pertanyaan:
Saya menggunakan air kran dalam berwudu, lalu bapak saya berkata, seandainya tetesan-tetesan air itu jatuh ke lantai lalu membasahi pakaian saya, maka shalat dan wudu saya, dianggap tidak sah. Apakah pendapat tersebut benar?
Jawaban:
Alhamdulillah
Jika seseorang berwudu di tempat yang suci, maka tidak mengapa jika airnya jatuh ke lantai dan mengenai badan atau pakaiannya.
Perlu diketahui bahwa asal perkara adalah suci, maka sebuah tempat tidak dihukumi najis kecuali dengan yakin.
Sebagian orang merasa keberatan berwudu di WC yang juga digunakan untuk buang hajat. Dia mengira bahwa air yang menetes di atas lantai kemudian menimpanya, maka dia dianggap terkena najis. Pandangan ini tidak benar dalam banyak kondisi, karena lantai WC suci, kecuali tempat buang hajat. Maka tempat tersebut tidak boleh dihukumi najis kecuali dengan yakin.
Maka dengan demikian, tidak mengapa jika air menetes di lantai kemudian menciprat ke tubuh atau pakaian.
Ulama yang terhimpun dalam Al-Lajna Ad-Da'ima Lil-Ifta ditanya, 'Apa hukum berwudu di WC? Apakah jika seseorang meletakkan penghalang antara tempat najis dan kran air, berarti wudunya sah?
Mereka menjawab, 'Jika diletakkan penghalang antara air yang jatuh dari kran dan tempat najis, sekiranya jika air tersebut jatuh di lantai yang suci, maka tidak ada larangan berwudu di tempat tersebut dan beristinja." (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 5/85)
Mereka juga ditanya, 5/85, "Bolehkan seseorang kencing di WC?
Mereka menjawab, "Ya, boleh, dibolehkan baginya kencing di WC dengan menghindari cipratan air kencing, dan disyariatkan baginya untuk menyiramnya dengan air agar kencing tersebut hilang jika dia ingin berwudu di tempat itu juga."
Mereka juga berkata, 5/238, "Jika mudah baginya berwudu di luar WC, maka lebih sempurna jika dia berwudu di luar WC sambil tetap berusaha membaca basmalah ketika memulainya, jika tidak mudah, dia boleh berwudu di dalam WC dan berusaha menghindari dari najis."
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang sebagian orang yang berwudu di dalam WC yang khusus digunakan untuk buang hajat. Ketika keluar pakaian mereka tampak basah. Sementara di WC tersebut tidak sunyi dari najis, apakah shalat mereka dengan pakaian tersebut sah? Apakah mereka dibolehkan melakukannya (berwudu di WC)?
Beliau menjawab, "Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, saya ingin katakan bahwa syariat alhamdulillah, sempurna dari semua sisi, dan sesuai dengan fitrah manusia yang Allah ciptakan berdasarkan ajaran-Nya. Dan syariat diturunkan dengan memberikan kemudahan, bahkan diturunkan untuk menjauhi manusia dari perasaan was-was dan keraguan yang tidak ada dasarnya. Berdasarkan hal itu, maka seseorang dengan pakaiannya pada dasarnya dianggap suci selama tidak diyakini adanya najis di badan dan pakaiannya. Kaidah dasar ini didasarkan pada sabda Rasulullah shallallah alaihi wa sallam, ketika seseorang mengadu kepadanya seakan-akan dia mendapatkan sesuatu dalam shalatnya, maksudnya dirinya seakan-akan berhadats, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 'Hendaknya dia jangan meninggalkan shalatnya sebelum mendengarkan suara atau mencium bau'. Prinsipnya, sesuatu dihukum berdasarkan hukum dasarnya. Maka pakaian mereka yang dibawa masuk WC dan dia buang hajat di dalamnya sebagaimana disampaikan penanya, jika terkena cipratan air, siapakah yang mengatakan bahwa basah yang ada itu berasal dari basah kencing atau kotoran, atau semacamnya? Jika kita tidak dapat memastikan perkara tersebut, maka hukum dasarnya adalah suci. Benar, boleh jadi dia mengira bahwa besar kemungkinan itu adalah najis, akan tetapi selama kita belum yakin, maka ketetapan dasarnya dia adalah suci. Tidak wajib mencuci pakaian mereka dan mereka boleh shalat dengan pakaian tersebut, tidak mengapa." (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 12/369)
Perlu kami ingatkan juga bahwa seandainya keberadaan najis tersebut dapat dipastikan dan mengenai pakaian seseorang, itu tidak berarti wudunya batal, akan tetapi shalatnya tidak sah jika dia mengetahui keberadaannya namun tidak dia hilangkan. Najis tidak merusak wudu, namun merusak sahnya shalat. Maka jika seseorang meyakini dirinya terkena najis, dia harus mencucinya sebelum shalat, kemudian dia dapat shalat dengan wudu tersebut dan wudunya tidak batal karena hal tersebut. Wallahua'lam.
[Sumber: Soal Jawab Tentang Islam di www.islamqa.com]
Jumat, 10 Juni 2011
Apakah Shalatnya Seorang Wanita di rumah Lebih Utama Ataukah di Masjidil Haram
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Apakah shalatnya seorang wanita di rumah lebih utama ataukah di Masjidil Haram?
Jawab :
Shalat sunah di rumah adalah lebih utama baik bagi kaum pria ataupun bagi kaum wanita, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam : " Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya kecuali shalat-shalat fardhu." Karena itulah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam melaksanakan shalat-shalat sunah di rumahnya, padahal beliau sendiri bersabda: "Shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di tempat-tempat lainnya kecuali Masjidil Haram." Berdasarkan sabda ini maka kami katakan: Jika telah dikumandangkan adzan Zhuhur, sementara saat itu Anda sedang berada di rumah Anda, yang mana Anda berdomisili di Mekkah, dan Anda hendak melakukan shalat Zhuhur di Masjidil Haram, maka yang paling utama Anda lakukan adalah hendaknya Anda melaksanakan shalat Rawatib Zhuhur di rumah Anda kemudian Anda datang ke Masjidil Haram untuk melaksanakan shalat Zhuhur dan sebelumnya Anda melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid. Sebagian ulama berpendapat bahwa berlipat gandanya pahala shalat di ketiga masjid ini adalah khusus pada shalat-shalat fardhu, karena shalat-shalat fardhu inilah yang hendaknya dilaksanakan di masjidmasjid itu, adapun shalat-shalat Sunah maka pahalanya tidak dilipat gandakan. Namun pendapat yang benar adalah bahwa berlipat gandanya pahala adalah bersifat umum, yaitu untuk semua shalat baik shalat fardhu maupun shalat sunat, hanya saja shalat sunat di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi atau Masjid Al-Aqsha tidak berarti lebih baik jika dibanding dengan di rumah, bahkan shalat sunat yang dilakukan di rumah adalah lebih utama. Akan tetapi jika seseorang masuk ke dalam Masjidil Haram lalu ia melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid di Masjidil Haram, maka itu lebih baik seratus ribu kali kebaikan dari pada shalat Tahiyatul Masjid di masjid-masjid lainnya, dan shalat tahiyyatul masjid di Masjid Nabawi lebih baik dari seribu shalat tahiyatul masjid di masjid-masjid lainnya. Begitu juga jika Anda datang dan masuk ke dalam Masjidil Haram lalu Anda melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid, kemudian untuk menanti tiba waktunya shalat fardhu Anda melaksanakan shalat sunah, maka sesungguhnya shalat sunah ini lebih baik dari seratus ribu shalat sunah serupa dari pada di masjid-masjid lainnya. Masih ada pertanyaan lain sehubungan dengan hal tadi, yaitu tentang shalat malam (shalat tarawih pada bulan Ramadhan), apakah bagi wanita lebih utama melaksanakannya di Masjidil Haram atau di rumah? Jawabannya adalah; Untuk shalat-shalat fardhu, maka lebih utama dilaksanakan di rumah, sebab sehubungan dengan shalat fardhu bagi kaum wanita, maka Masjidil Haram seperti masjid-masjid lainnya. Adapun shalat malam Ramadhan, sebagian ahlul ilmi mengatakan: Bahwa yang lebih utama bagi kaum wanita adalah melaksanakan shalat malam di masjid-masjid, berdasarkan dalil bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam mengumpulkan keluarga serta mengimami mereka dalam melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan, dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Umar Radhiallaahu 'anhu dan Ali bin Abu Thalib Radhiallaahu 'anhu, bahwa kedua sahabat Rasulullah ini memerintahkan seorang pria untuk mengimami shalat kaum wanita di masjid dan dalam masalah ini saya belum bisa memastikan karena dua atsar yang diriwayatkan dari Umar dan Utsman itu lemah sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, begitu juga yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam mengumpulkan keluarganya tidak menjelaskan bahw beliau mengumpulkan mereka di masjid untuk shalat berjamaah. Dan saya belum bisa memastikan, manakah yang lebih utama bagi seorang wanita, melaksanakan shalat tarawih di rumahnya atau di Masjidil Haram? Dan yang lebih utama baginya adalah shalat di rumahnya, kecuali jika ada nash yang menyebutkan dengan jelas bahwa shalatnya di Masjidil Haram adalah lebih utama. Akan tetapi jika ia datang ke Masjidil Haram maka diharapkan mendapatkan pahala sebagaimana yang disabdakan Rasulullah: " Shalat di Masjidil Haram sama dengan seratus ribu shalat (di masjid-masjid lain)." Namun jika kehadirannya dapat menimbukan fitnah, maka tidak diragukan lagi bahwa shalat di rumahnya adalah lebih utama.
My Notes
Shalatnya Piket Penjaga ( Satpam )
Seorang tentara ditugaskan untuk menjaga keamanan suatu tempat, saat tiba waktu shalat Ashar ia tidak melaksanakannya, dan baru shalat setelah shalat Maghrib, hal itu dikarenakan tidak ada yang menggantikan posisinya dalam melaksanakan tugas ini. Apakah ia berdosa karena menangguhkannya? Apa pula yang seharusnya dilakukan oleh orang yang menghadapi situasi semacam itu?
Jawab :
Seorang piket penjaga atau lainnya tidak boleh menangguhkan shalat hingga keluar dari waktunya, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban atas orang-orang yang beriman yang telah ditentukan waktunya.” (An-Nisa’: 103).
Juga berdasarkan dalil-dalil lain di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Maka ia harus mengerjakan shalat pada waktunya di samping tetap menjalankan tugas penjagaan, sebagaimana dahulu kaum Muslimin melaksanakannya bersama Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, yaitu dalam shalat khauf, di mana mereka mengerjakan shalat dengan tetap siaga menghadapi musuh. Wallahu waliyut taufiq.
( Majalah ad-Da’wah, edisi 1015, Syaikh Ibnu Baz. )
Sumber
Dasar sahnya Shalat Fardhu Berma’mum Kepada Orang Yang Shalat Sunnat
Pertanyaan :
Apa hukum orang yang mengerjakan shalat fardhu berma’mum kepada orang yang mengerjakan shalat sunnat ?
Jawaban :
Hukumnya sah, karena telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa dalam suatu
HUKUM MENYETIR MOBIL BAGI WANITA; Kumpulan fatwa Syeikh Ustaimin, Syeikh Muqbil, Syeikh bin Bazz
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya mohon penjelasan tentang hukum wanita menyetir mobil, dan bagaimana pendapat Syaikh tentang pendapat yang menyatakan bahwa wanita menyetir mobil itu bahayanya lebih ringan daripada menaikinya hanya bersama supir yang bukan mahramnya?
Jawaban: