di tulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
Di dalam hadits Shahih Muslim, Sahabat Nabi Ibnu Abbas radhiyallahu anhu mengatakan:
جَمَعَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ
وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ
وَلَا مَطَرٍ
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam
menjamak antara Dzhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ di Madinah
bukan karena takut dan juga bukan karena hujan.
Said bin Jubair menanyakan kepada Ibnu Abbas mengapa Nabi melakukan hal itu:
قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ
Aku berkata kepada Ibnu Abbas: Mengapa beliau melakukan hal itu? Ibnu Abbas berkata: Agar tidak memberatkan umatnya (H.R Muslim)
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan:
…dan Nabi shollallahu alaihi wasallam menentukan waktu sholat 5 waktu. Beliau menjadikan masing-masing sholat memiliki waktu tertentu dari awal hingga akhirnya. Akan tetapi jika seseorang mengalami kesempitan, misalkan karena sakit yang menyusahkan atau ia terus menerus kencing, atau wanita yang mustahadhoh, atau seseorang yang ditimpa kantuk yang sangat sulit melawan rasa kantuknya, ia ingin menjamak Isya dengan Maghrib supaya bisa segera tidur, atau yang selain itu sebagaimana disebutkan para Ulama fiqh semoga Allah merahmati mereka-, hal yang demikian tidak mengapa.
…dan Nabi shollallahu alaihi wasallam menentukan waktu sholat 5 waktu. Beliau menjadikan masing-masing sholat memiliki waktu tertentu dari awal hingga akhirnya. Akan tetapi jika seseorang mengalami kesempitan, misalkan karena sakit yang menyusahkan atau ia terus menerus kencing, atau wanita yang mustahadhoh, atau seseorang yang ditimpa kantuk yang sangat sulit melawan rasa kantuknya, ia ingin menjamak Isya dengan Maghrib supaya bisa segera tidur, atau yang selain itu sebagaimana disebutkan para Ulama fiqh semoga Allah merahmati mereka-, hal yang demikian tidak mengapa.
Intinya ada kesulitan dan kesusahan.
Contoh yang lain adalah menjamak sholat untuk mendapatkan jamaah. Jika
sekelompok orang tahu bahwasanya mereka jika sampai kembali ke negeri
mereka akan berpencar dan tidak (bisa) sholat berjamaah, kemudian mereka
menjamak sholat (dengan berjamaah) sebelum mereka berpisah, yang
demikian tidak mengapa. Dalilnya dalam hal ini adalah: sesungguhnya
menjamak sholat saat hujan di suatu negeri tujuannya adalah berkumpulnya
jamaah. Kalau tidak dilakukan jamak, niscaya masing-masing orang akan
pulang ke keluarganya sendiri-sendiri. Saat masuk waktu sholat Isya, ia
akan sholat di rumahnya, karena ia memiliki udzur karena adanya hujan.
Tujuannya adalah agar tidak memberatkan umat. Namun bukan kemudian pintu
dibuka luas, barangsiapa yang mau di bisa menjamak, dan barangsiapa
yang mau dia boleh tidak menjamak. (Tidak demikian). Menjamak (sholat)
hanya terikat dengan keadaan susah dan menyulitkan (Liqoo al-Baab
al-Maftuuh (18/127)).
Ibnu
Qudamah al-Maqdisiy rahimahullah menyatakan: dan hadits Ibnu Abbas kami
arahkan pada keadaan orang yang sakit. Boleh juga untuk orang yang
mengalami kesusahan. Seperti wanita yang menyusui, atau orang berusia
lanjut yang sudah lemah. Atau yang semisal mereka berdua yang memiliki
kesulitan jika tidak menjamak…(al-Mughniy (4/69))
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan:
Ahmad bin Hanbal menyatakan: Boleh menjamak jika memiliki kesibukan. Al-Qodhiy Abu Ya’la mengatakan: (yaitu) kesibukan yang membolehkan untuk meninggalkan sholat Jumat dan sholat jamaah. Syaikh Muwaffaquddin Ibnu Qudamah al-Maqdisiy menjelaskan siapa saja orang-orang tersebut (yang boleh meninggalkan sholat Jumat dan sholat jamaah): yaitu orang sakit atau seseorang yang memiliki kerabat yang dikhawatirkan akan meninggal, atau seseorang menahan dari 2 jalan (kemaluan dan dubur), orang yang dihidangkan makanan sedangkan ia butuh (segera) makan, atau orang yang takut ditangkap penguasa, atau takut dari kejaran orang yang menagih hutang padahal ia tidak punya apa-apa yang akan dibayarkan, musafir jika khawatir ketinggalan rombongan, atau orang yang khawatir terjadi mudharat pada harta, atau orang yang sedang mencari barangnya yang hilang dan hampir mendapatkannya, atau orang yang takut ketinggalan waktu (sholat) karena sangat mengantuk, atau orang yang takut dari cuaca dingin yang sangat. Demikian juga di waktu malam gelap sedangkan tanah berlumpur.
Maka orang-orang yang demikian ini memiliki udzur untuk meninggalkan sholat Jumat dan sholat berjamaah. Demikianlah yang disebutkan Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar al-Hidayah. Orang yang demikian boleh menjamak antar dua sholat berdasarkan ucapan Imam Ahmad bin Hanbal dan al-Qodhiy Abu Ya’la. Demikian juga para pekerja dan petani jika di waktu tertentu ada kesulitan bagi mereka, misalkan jika letak air jauh dalam mengerjakan sholat yang jika mereka pergi ke tempat air tersebut dan berwudhu sebagian pekerjaan yang mereka butuhkan mereka menjadi terbengkalai, mereka boleh sholat di waktu yang berserikat (Dzhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya, pent) kemudian menjamak di antara 2 sholat. Dan yang lebih baik dalam hal itu adalah mengakhirkan waktu Dzhuhur hingga mendekati waktu Ashar dan digabungkan. Ia sholat bersama Ashar. Meskipun bentuk jamak dalam hal itu adalah melakukan sholat di akhir waktu Dzhuhur dan di awal waktu Ashar. Boleh juga jika letak air jauh ia bertayammum dan sholat di waktu tertentu. Namun, jika menjamaknya dengan sholat yang menggunakan air (wudhu) adalah lebih utama (Majmu Fataawa Ibn Taimiyyah (21/458 – penomoran halaman Maktabah Syamilah)
Ahmad bin Hanbal menyatakan: Boleh menjamak jika memiliki kesibukan. Al-Qodhiy Abu Ya’la mengatakan: (yaitu) kesibukan yang membolehkan untuk meninggalkan sholat Jumat dan sholat jamaah. Syaikh Muwaffaquddin Ibnu Qudamah al-Maqdisiy menjelaskan siapa saja orang-orang tersebut (yang boleh meninggalkan sholat Jumat dan sholat jamaah): yaitu orang sakit atau seseorang yang memiliki kerabat yang dikhawatirkan akan meninggal, atau seseorang menahan dari 2 jalan (kemaluan dan dubur), orang yang dihidangkan makanan sedangkan ia butuh (segera) makan, atau orang yang takut ditangkap penguasa, atau takut dari kejaran orang yang menagih hutang padahal ia tidak punya apa-apa yang akan dibayarkan, musafir jika khawatir ketinggalan rombongan, atau orang yang khawatir terjadi mudharat pada harta, atau orang yang sedang mencari barangnya yang hilang dan hampir mendapatkannya, atau orang yang takut ketinggalan waktu (sholat) karena sangat mengantuk, atau orang yang takut dari cuaca dingin yang sangat. Demikian juga di waktu malam gelap sedangkan tanah berlumpur.
Maka orang-orang yang demikian ini memiliki udzur untuk meninggalkan sholat Jumat dan sholat berjamaah. Demikianlah yang disebutkan Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar al-Hidayah. Orang yang demikian boleh menjamak antar dua sholat berdasarkan ucapan Imam Ahmad bin Hanbal dan al-Qodhiy Abu Ya’la. Demikian juga para pekerja dan petani jika di waktu tertentu ada kesulitan bagi mereka, misalkan jika letak air jauh dalam mengerjakan sholat yang jika mereka pergi ke tempat air tersebut dan berwudhu sebagian pekerjaan yang mereka butuhkan mereka menjadi terbengkalai, mereka boleh sholat di waktu yang berserikat (Dzhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya, pent) kemudian menjamak di antara 2 sholat. Dan yang lebih baik dalam hal itu adalah mengakhirkan waktu Dzhuhur hingga mendekati waktu Ashar dan digabungkan. Ia sholat bersama Ashar. Meskipun bentuk jamak dalam hal itu adalah melakukan sholat di akhir waktu Dzhuhur dan di awal waktu Ashar. Boleh juga jika letak air jauh ia bertayammum dan sholat di waktu tertentu. Namun, jika menjamaknya dengan sholat yang menggunakan air (wudhu) adalah lebih utama (Majmu Fataawa Ibn Taimiyyah (21/458 – penomoran halaman Maktabah Syamilah)
sumber: http://salafy.or.id
bagus artikelnya tapi sayangnya hasil salin bukan berasal dari ilmu yang dimiliki oleh penulisnya.
BalasHapus