Sesungguhnya Dzat yang mencipta alam semesta dan yang
mengatur jagat raya telah melebihkan atau mengistimewakan sebagian hari di atas
hari-hari yang lain. Di antaranya adalah hari Jum’at, Allah Subhanahu
wata’ala memerintah umat Islam untuk mengagungkannya dengan beragam
amalan yang disyariatkan. Padahal umat sebelum kita, dari kalangan Yahudi
dan Nasrani, telah diperintah untuk mengagungkannya, namun
mereka
menyelisihinya. Orang Yahudi memilih hari Sabtu dan orang Nasrani memuliakan
hari Minggu (Ahad).
Jum’at adalah salah satu nama hari dalam sepekan.
Dalam bahasa Arab, bentuk penulisannya adalah ,الْجُمْعَةُ terambil dari kata (
الْجَمْعُ ) yang berarti mengumpulkan sesuatu yang terpencar. Adapun menurut
para ahli qiraat, cara membacanya ada tiga: dengan didhammah huruf mimnya
(اْلجُمُعَة), difathahkan (اْلجُمَعَة) atau disukun (اْلجُمْعَة). (Lihat
al-Qamus al-Muhith, 3/14-15 dan Tafsir al-Qurthubi, 18/97)
Adapun tentang alasan dinamakan hari Jum’at, para
ulama berbeda pendapat setelah mereka sepakat bahwa di masa jahiliah manusia menamakannya hari al-‘Arubah.
Dalam Fathul Bari (2/353), al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah
menyebutkan pendapat-pendapat ulama tersebut lalu menguatkan pendapat yang
mengatakan bahwa dinamakan hari Jum’at karena penciptaan Nabi Adam ‘alaihis
salam terjadi pada hari tersebut.
Landasan pendapat ini adalah hadits Salman al-Farisi radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata
kepadanya, “Wahai Salman, apa itu hari Jum’at?” Salman menjawab, “Allah Subhanahu
wata’ala dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Nabi Shalallahu ‘alaihi
wasallam mengulangi pertanyaan tersebut sampai tiga kali dan Salman selalu
menjawab dengan jawaban yang sama. Lantas Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam
mengatakan,
يَا
سَلْمَانُ، يَوْمُ الْجُمُعَةِ بِهِ جُمِعَ أَبُوْكَ -أَوْ أَبُوْكُمْ- أَنَا
أُحَدِّثُكَ عَنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
“Wahai Salman, hari Jum’at terkumpul padanya
penciptaan bapakmu atau bapak kalian. Aku akan bercerita kepadamu tentang hari
Jum’at.”(Shahih Ibnu Khuzaimah no. 1732)
Hari Jum’at memiliki kedudukan yang sangat mulia dalam
syariat Islam dan mempunyai keistimewaan yang tidak ada pada hari-hari yang
lain. Berikut beberapa keistimewaan hari Jum’at.
1. Hari raya umat Islam yang terulang-ulang setiap
pekan
Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda pada suatu Jum’at,
مَعَاشِرَ
الْمُسْلِمِيْنَ، إِنَّ هذَا يَوْمٌ جَعَلَهُ اللهُ لَكُمْ عِيْدًا
“Wahai segenap kaum muslimin, sesungguhnya ini adalah
hari yang dijadikan oleh Allah Subhanahu wata’ala sebagai hari raya bagi
kalian.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jamash-Shaghir dan dinyatakan sahih oleh
asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)
2.
Terjadinya hari kiamat pada hari Jum’at
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
خَيْرُ
يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيْهِ خُلِقَ آدَمُ
وَفِيْهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيْهِ أُخْرِجَ مِنْهَا، وَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ
إِ يَوْمُ الْجُمُعَةِ
“Sebaik-baik hari yang terbit matahari pada waktu itu
adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan, dimasukkan ke dalam surga,
dan dikeluarkan dari surga. Tidak akan terjadi kiamat selain pada hari Jum’at.”
(HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
3.
Orang yang mati pada hari Jum’at ataumalam Jum’at akan dihindarkan dari fitnah
(pertanyaan) kubur
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا مِنْ
مُسْلِمٍ يَمُوْتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِ وَقَاهُ اللهُ
فِتْنَةَ الْقَبْرِ
“Tiada seorang muslim yang mati pada hari Jum’at atau
malamnya kecuali Allah Subhanahu wata’ala akan menghindarkannya dari
fitnah kubur.” (HR. Ahmad dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma.
Dalam Ahkam al-Janaiz, asy-Syaikh al-Albani menyatakannya hasan atau sahih
dengan banyaknya jalan periwayatan)
4.
Diharamkan menyendirikan puasa pada hari Jum’at tanpa dibarengi oleh puasa
sehari sebelum atau setelahnya
Hal ini berlandaskan hadits Juwairiyyah radhiyallahu
‘anha, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam masuk kepadanya hari Jum’at dalam keadaan dia Shallallahu
‘alaihi wasallam sedang berpuasa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bertanya, “Apakah kamu puasa kemarin?” Juwairiyah menjawab, “Tidak.” Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam bertanya lagi apakah kamu ingin puasa esok hari?”
Juwairiyah menjawab,“Tidak.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata,“Berbukalah kamu!” (HR. al-Bukhari no. 1986)
5. Ada saat yang mustajab/dikabulkan bagi orang yang
berdoa
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah radhiyallahu ‘anhu menyebutkan hari Jum’at lalu bersabda,
فِيْهِ
سَاعَةٌ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللهَ
تَعَالَى شَيْئًا إِلَّا أعْطَاهُ إِيَّاهُ
“Pada hari itu ada saat yang tidaklah seorang hamba
muslim bertepatan dengannya dalam keadaan dia berdiri shalat yang ia meminta
sesuatu kepada Allah Subhanahu wata’ala melainkan akan dikabulkan
oleh-Nya.” (HR. al-Bukhari no. 935)
Saat yang mustajab dari hadits ini diperselisihkan
waktunya oleh ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan ada
42 pendapat. Dari pendapat sebanyak itu, yang dikuatkan oleh al-Hafizh ada dua,
yaitu antara duduknya imam di atas mimbar hingga selesai shalat Jum’at, dan
pendapat yang kedua adalah setelah shalat ashar hingga
tenggelamnya matahari. (Fathul Bari 2/416-420)
Setelah menyebutkan bukti-bukti bahwa saat yang
mustajab itu setelah ashar, Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, “Ini
adalah pendapat mayoritas salaf, dan banyak hadits menunjukkan pendapat ini.
Pendapat berikutnya adalah saat shalat Jum’at. Adapun pendapat selebihnya tidak
ada dalilnya.”
Al Imam Ibnu Qayyim rahimahullah menyebutkan,
waktu yang dikhususkan adalah akhir waktu setelah ashar, yaitu waktu tertentu
di hari Jum’at yang tidak maju dan tidak mundur. Adapun waktu shalat Jum’at
maka mengikuti shalat tersebut baik maju pelaksanaannya maupun mundur. Beliau
menyebutkan bahwa berkumpulnya kaum muslimin, shalat mereka, kekhusyukan dan
permohonan mereka kepada Allah Subhanahu wata’ala, memiliki pengaruh
kuat untuk dikabulkannya doa. (Zadul Ma’ad)
Masih banyak keistimewaan hari Jum’at yang tidak bisa
ditampilkan seluruhnya di sini karena keterbatasan ruang. Ibnul Qayyim rahimahullah
telah menyebutkan sekian puluh keistimewaan dalam kitabnya Zadul Ma’ad
jilid pertama. Bahkan, as-Suyuthi rahimahullah menulis kitab khusus
tentang keistimewaan hari Jum’at yang beliau beri judul Nurul Lum’ah fi
Khashaish Yaumil Jumu’ah.
saja, orang yang membacanya perlu jeli dan hati-hati
karena as-Suyuthi tidak hanya memuat hadits/atsar yang kuat tetapi juga yang
lemah, bahkan maudhu’ (palsu). Wallahu a’lam.
(Oleh : Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc.)
Sumber: http://asysyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar