Matahari dan bulan merupakan dua makhluk Allah Subhanahu wa ta’ala yang
sangat akrab dalam pandangan. Peredaran dan silih bergantinya yang sangat
yeratur merupakan ketetapan aturan Penguasa Jagad Semesta ini. Allah Subhanahu
wa ta’alaberfirman (yang artinya) :
”Matahari
dan bulan (beredar) menurut perhitungan.” (Ar-Rahman : 5)
Maka semua yang menakjubkan dan luar biasa pada matahari dan bulan menunjukkan
akan keagungan dan kebesaran serta kesempurnaan Penciptanya. Oleh karena itu,
Allah Subhanahu wa ta’ala membantah fenomena penyembahan
terhadap matahari dan bulan. Yang sangat disayangkan ternyata keyakinan kufur
tersebut banyak dianut oleh ”bangsa-bangsa besar” di dunia sejak berabad-abad
lalu, seperti di sebagian bangsa Cina, Jepang, Yunani, dan masih banyak lagi.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
”Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah
kaliann sujud (menyembah) matahari maupun bulan, tapi bersujudlah kepada Allah
yang menciptakannya, jika memang kalian beribadah hanya kepada-Nya.” (Fushshilat: 37)
Syariat Islam yang diturunkan oleh Penguasa Alam Semesta ini memberikan
bimbingan dan pencerahan terhadap akal-akal manusia yang sempit dan terbatas.
Membuktikan bahwa akal para filosof, rohaniawan, para wikan, paranormal dan
lain-lain adalah akal yang keliru dan sesat. Kebenaran dan hidayah hanya ada
pada syariat yang dibawa oleh para nabi dan rasul’alaihimussalam.
Diantaranya ajaran yang digagas oleh para filosof, rohaniawan dan lain-lain
tentang antariksa, semuanya berbau mistis dan kesyirikan. Termasuk dalam
memahami hakekat sebenarnya tentang gerhana matahari dan gerhana bulan. Dua
fenomena tersebut oleh banyak kalangan dihubung-hubungkan dengan akan
terjadinya peristiwa luar biasa di bumi tempat manusia tinggal. Misalnya saja
selang beberapa hari atau beberapa minggu dari gerhana, di daerah tertentu akan
terjadi bencana alam, wabah penyakit, keributan atau bentrok antar massa dan
sebagainya. Biasanya, untuk mengantisipasinya berbagai ritual (baca:
kesyirikan) digelar. Di samping adanya mitos bahwa gerhana terjadi karena
raksasa menelan matahari atau bulan, dengan berbagai macam versi ceritanya.
Sementara di kubu lain, masyrakat modern yang mengalami kemajuan tekhnologi dan
ilmu antariksa ini, menganggap hal itu sebagai fenomena alam biasa. Karena
melalui berbagai riset ilmiah, mereka bisa mengetahui sebab terjadinya gerhana
tersebut secara pasti.
Dinul Islam yang asas utamanya adalah kemurnian tauhid dan kelurusan aqidah,
menjelaskan hakekat sebenarnya gerhana. Tentu saja penjelasan yang bersumber
dari Pencipta dan Pengatur matahari-bulan dan pergerakannya, bahkan seluruh
alam semesta. Jauh dari kebatilan mitos, takhayul, dan kesyirikan para
penyembah alam, jauh pula dari kelalaian kaum rasionalis. Apabila kita membuka
kitab-kitab para ulama dan fuqaha Islam dari kalangan Ahlus Sunnah akan kita
dapati penjelasan tentang gerhana dalam tinjauan Syariat Islam dengan
pembahasan lengkap dan mencukupi.
Definisi
Gerhana
Gerhana matahari ( Khusufusy Syams ) adalah hilangnya cahaya
matahari sebagian atau total pada waktu siang. Adapun gerhana bulan ( Khusuful
Qamar ) adalah hilangnya cahaya bulan sebagian atau total pada waktu
malam.
Sabda
Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam tentang Gerhana
Dari sahabat al-Mughirah bin Syu’bah, bahwa Nabi Shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda,
{إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ لاَ
يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ, وَلاَ لَحِيَاتِهِ, فَإِذَا رَأَيْتُمُو هُمَا
فَادْ عُوا اللهَ وَصَلُّوا حَتَّى تَنْكَشِفَ}
”Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah dua ayat (tanda) di antara ayat-ayat Allah. Tidaklah
terjadi gerhana matahari dan bulan karena kematian seseorang atau karena hidup
(lahirnya) seseorang. Apabila kalian melihat (gerhana) matahari dan bulan, maka
berdoalah kepada Allah dan sholatlah hingga tersingkap kembali.” (HR. Al-Bukhari no. 1043, dan Muslim no. 915)
Sahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ’anhu mengatakan, Nabi Shallallahu
’alaihi wa sallam bersabda, ”Tanda-tanda ini, yang Allah tampakkan,
bukanlah terjadi karena kematian atau kelahiran seseorang. Namun dengannya
Allah memberikan rasa takut kepada hamba-hamba-Nya. Maka apabila kalian melihat
salah satu darinya, bersegeralah untuk berdzikir, berdoa kepada-Nya dan memohon
ampunan-Nya.” (HR. Al-Bukhori no. 1059)
Hadits baginda Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam di atas
menunjukkan kepada kita bahwa gerhana bukanlah sekedar fenomena alam biasa.
Gerhana merupakan fenomena alam yang memang Allah kehendaki sebagai salah satu
ayat (tanda) kebesaran-Nya. Hadits di atas memberikan pelajaran dan tuntunan kepada
kaum mukminin terkait gerhana sebagai berikut:
1.
Sebab, gerhana adalah Allah
menjadikannya sebagai perimgatan agar hamba-hamba-Nya takut kepada-Nya. Maka
tatkala terjadi gerhana hendaklah umat manusia segera ingat kepada Allah Subhanahu
wa ta’ala dan segera menyadari bahwa AllahSubhanahu wa ta’ala sedang
mengingatkan kelalaian mereka dengan ancaman adzab-Nya. Dari sini, jelaslah
bagi kita kesalahan kebanyakan kebanyakan orang yang justru menjadikan fenomena
gerhana tersebut sebagai hiburan bagi mereka. Ketika ada informasi bahwa
gerhana akan terjadi pada hari tertentu pada jam tertentu, maka mereka bersiap
dengan kamera dan teropong masing-masing, mencari tempat-tempat strategis untuk
menyaksikan peristiwa ”indah” tersebut. Sungguh sangat jauh dari mengingat
Allah Subhanahu wa ta’ala, apalagi menyadari itu sebagai peringatan
dari-Nya. Kesalahan ini akibatmenganggap gerhana sebagai kejadian antariksa
biasa, yang bersumber dari sikap mengandalkan sains, tanpa mau mengundahkan
berita dari Allah Subhanahu wa ta’ala, Pencipta dan Penguasa
seluruh alam dengan segenap galaksi dan langit yang ada didalamnya.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ”Ini bantahan
terhadap ahli astronomi yang mengira bahwa gerhana merupakan peristiwa biasa,
tidak akan maju atau mundur.”
2.
Bantahan terhadap
keyakinan-keyakinan/ mitos-mitos batil, atau legenda-legenda kosong. Rasulullah Shallallahu
’alaihi wa sallam membantah keyakinan yang ada dikalangan musyrikin
arab saat itu dengan sabdanya, ”Bukanlah terjadi karena kematian atau kelahiran
seseorang.” islam memberantas segala keyakinan/ aqidah batil, diantaranya yang
bersumber dari astrologi (ahli nujum) yang meyakini bahwa pergerakan/ peredaran
bintang, planet dan benda-benda langit lainnya memberikan pengaruh/ ada
kaitannya dengan kejadian-kejadian di bumi. Yang dikenal sebagai zodiak, shio,
atau nama yang lainnya sesuai dengan agama asal masing-masing yang digagas oleh
para filosof, rohaniawan atau paranormal. Termasuk kejadian gerhana yang
diyakini sebagai tanda atau sebab (bakal) terjadi peristiwa atau bencana besar
di muka bumi. Ini semua adalah batil. Seorang mikmin yang berpegang pada
kemurnian tauhid harus meninggalkan keyakinan-keyakinan tersebut. Sangat
disayangkan, ada sebagian di antara kaum muslimin yang masih percaya dengan
ramalan-ramalan bintang, termasuk pula mitos/ legenda seputar gerhana, atau
meyakini peristiwa gerhana ada hubungan dengan bencana alam atau lainnya.
Al-Imam al-Khaththabi Rahimahullahberkata, ”Dulu mereka pada masa
jahiliyyah berkeyakinan bahwa gerhana menyebabkan terjadinya perubahan di muka
bumi, berupa kematian, bencana dan lain-lain. Maka Nabi Shallallahu
’alaihi wa sallam mengajarkan bahwa itu adalah keyakinan batil.
Sungguh matahari dan bulan itu adalah dua makhluk yang tunduk kepada Allah Subhanahu
wa ta’ala. Keduanya tidak memiliki kekuatan mempengaruhi sesuatu yang
lainnya, tidak pula memiliki kemampuan membela diri.” ( lihat Fathul
Bari hadits no.1040)
3.
Tuntutan Islam ketika terjadi
gerhana. Baginda Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mengajarkan
kepada kita tuntunan syariat yang mulia ketika terjadi gerhana matahari maupun
gerhana bulan, yaitu ada tujuh hal (sebagaimana dalam hadits-hadits tentang
gerhana):
1.
Shalat gerhana
2.
Berdoa
3.
Beristighfar
4.
Bertakbir
5.
Berdzikir
6.
Bershadaqah
7.
Memerdekakan budak
(Lihat HR. Al-Bukhari no. 1040, 1044, 1059, 2519;
Muslim no. 901, 912, 914)
Ini dilakukan sejak awal terjadinya gerhana, hingga berakhirnya yang
ditandai dengan kembalinya cahaya matahari atau bulan seperti sedia kala. Di
antara doa yang beliau perintahkan adalah berlindung dari adzab kubur. Karena
gerhana mengakibatkan suasana gelap meskipun pada siang hari, dan dalam suasana
tersebut hati manusia pasti dihinggapi rasa takut. Suasana yang demikian
mengingatkan kita akan suasana di alam kubur kelak. (Lihat Fathul
Bari hadits no.2519).
Karena gerhana merupakan peringatan akan adzab, maka sangat tepat dianjurkan
pada kesempatan tersebut untuk memerdekakan budak, sebab amal tersebut bisa
memerdekakan seseorang dari api neraka. (Lihat Fathul Bari hadits
no. 2519).
Gerhana merupakan peristiwa penting dalam Islam. Islam bernar-benar
mengajak hamba untuk menyikapi gerhana yang sedang terjadi sebagai peringatan
dari Rabbul ’Alamin Subhanahu wa ta’ala. Hikmah ini tidak bisa
diketahui dengan ilmu sains, namun hanya bisa diketahui melalui wahyu yang
diturunkan kepada nabi Muhammad Shallallahu ’alaihi wa sallam.
4.
Tidak melakukan shalat gerhana
kecuali bila gerhananya terlihat. Sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wa
sallam di atas, ”Apabila kalian melihat (gerhana) matahari atau bulan,
maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah.” Nabi Shallallahu ’alaihi wa
sallammengaitkan pelaksanaan shalat gerhana dengan ”melihat (ru’yah)”.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan, ”… karena
pelaksanaan shalat (gerhana) dikaitkan dengan ru’yah.” (Lihat Fathul
Bari hadits no. 1041). Artinya, apabila telah
diperkirakan dengan hisab astronomis terjadi gerhana namun terhalangi oleh
langit yang mendung, maka tidak dilakukan shalat gerhana. Atau gerhana terjadi
di wilayah lain/ belahan bumi lainnya, sehingga tidak terlihat. Misalnya
gerhana terjadi di Eropa, tidak terjadi di Indonesia, maka orang Indonesia
tidak disyariatkan untuk melaksanakan shalat gerhana. Atau terjadinya gerhana
matahari setelah tenggelamnya matahari, atau gerhana bulan setelah terbitnya
matahari sehingga tidak bisa teramati, maka tidak ada shalat gerhana pula.
5.
Gerhana bisa diketahui dengan
hisab. Allah Subhanahu wa ta’ala Yang Maha Kuasa telah
menjadikan pergerakan matahari dan bulan berjalan dengan rapi dan teratur,
sehingga bisa diamati dan dihitung oleh manusia. Termasuk gerhana bisa
diketahui dengan hisab astronomis kapan terjadinya, di belahan bumi mana
sajakah terjadinya, serta jenis gerhananya, apakah gerhana total, sebagian,
cincin dan lain-lain. Namun tidak diambil darinya konsekuensi hukum apapun
terkait dengan shalat gerhana atau lainnya. Meskipun gerhana bisa diketahui
kapan waktu terjadinya berdasarkan hisab astronomis yang sangat akurat, namun
apabila ternyata pada hari-H dan jam-J nya gerhana tidak teramati atau tidak terjadi
di wilayah tersebut, maka shalat gerhana tidak bisa dilaksanakan. Hal ini mirip
dengan hilal di awal bulan, khususnya ketika menentukan awal bulan Ramadhan dan
Syawwal. Meskipun diketahui secara pasti berdasarkan hisab astronomi yang
akurat posisi hilal sekian derajat dan dinyatakan memungkinkan untuk diru’yah,
namun apabila fakta di lapangan hilal tidak bisa diamati, maka berarti belum
masuk Ramadhan atau Idul Fitri.
Kemudian,
fakta bahwa gerhana bisa diketahui dengan hisab astronomis, tidak menghilangkan
sebab dan fungsi gerhana yang diberitakan oleh Nabi Shallallahu ’alaihi
wa sallam, yaitu ”Dengannya, Allah memberikan rasa takut kepada
hamba-hamba-Nya.” sekali lagi, gerhana bukan peristiwa biasa seperti halnya
pasang-surutnya ombak di lautan. Namun ada hikmah besar di balik itu. Oleh
karena itu –sebagaimana pada hadits-hadits di atas- sampai-sampai Nabi Shallallahu
’alaihi wa sallam berdiri ketakutan, khawatir itu sebagai tanda
datangnya Kiamat, dan beliau memerintahkan dengan 7 hal.
Bersambung
Insya Allah…
Wallahu
a’lam bish shawab.
Penulis : Ustadz Ahmad Alfian hafizhahullah.
Sumber
: Buletin Jum’at Al-Ilmu edisi 21 (Fikih) tahun 1434 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar