Telah beredar beberapa Broadcast Message yang
memuat tentang keutamaan khusus berpuasa pada hari Tarwiyah.
Pada kesempatan ini, kami perlu mengingatkan akan
kepalsuan hadits yang beredar tersebut.
Hadist itu berbunyi,
صَوْمُ يَوْمِ
التَّرْوِيَةِ كَفَّارَةُ سَنَةٍ، وَصَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ
“Puasa hari Tarwiyah adalah kaffarah (penggugur dosa)
setahun, dan puasa hari Arafah adalah kaffarah dua tahun.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Abul Qâsim
Al-Ashbahâny dalam At-Targhîb wa At-Tarhîb no. 370, Ibnul Jauzy dalam Al-Maudhû’ât
2/565 no.1137, dan Abusy Syaikh Al-Ashbahâny sebagaimana dalam Kanzul ‘Ummâl
dan selainnya, dan dari jalur beliau diriwayatkan oleh Ibnu Qudamah dalam Fadhlu
Yaum At-Tarwiyah wa ‘Arafah no. 2 dan Ad-Dailamy dalam Musnad Al-Firdaus
–sebagaimana dalam Irwâ’ul Ghalîl 4/113- semuanya dari jalur Ali bin Ali
Al-Himyary dari Muhammad bin As-Sâ’ib Al-Kalby dari Abu Shâlih dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallâhu ‘anhu secara marfu’.
Terdapat sejumlah cacat dalam hadits ini:
Pertama, tentang
Muhammad bin As-Sâ’ib Al-Kalby, Ibnul Jauzy berkata, “Sulaiman At-Taimy
berkata, ‘Al-Kalby adalah seorang pendusta.’ Ibnu Hibbân berkata, ‘Kejelasan
dusta pada (Al-Kalby) adalah lebih terang untuk digambarkan.’.” [Al-Maudhû’ât
2/566]
Ibnu Hajar berkata, “Muttaham Bil Kadzib
‘dituduh berdusta’.” Bahkan, dalam biografi Al-Kalby, terdapat sejumlah
pernyataan tegas dari para imam Jarh wat Ta’dil bahwa Al-Kalby adalah
seorang pendusta.
Secara spesifik pada jalur riwayat di atas, Al-Kalby
telah berkata, “Apa-apa yang Saya riwayatkan dari Abu Shalih adalah dusta.
Janganlah kalian meriwayatkan dariku.” [Tahdzîbut Tahdzîb dan selainnya]
Kedua, Abu Shâlih
adalah bernama Bâdzâm maula Ummu Hâni`, dan hadits beliau lemah.
Ketiga, Ali bin Ali
Al-Himyary adalah rawi yang majhûl. Biografinya terdapat dalam Al-Jarh
wa At-Ta’dîl karya Ibnu Abi Hâtim, sedang Ibnu Abi Hâtim tidak menyebut jarh
‘celaan’ atau ta’dîl ‘rekomendasi’ terhadapnya.
Ada beberapa riwayat lain yang semakna dengan hadits
di atas dari beberapa shahabat:
1. Hadits Jâbir
yang diriwayatkan oleh An-Najjar dalam Târîkh-nya sebagaimana dalam Kanzul
‘Ummâl dan selainnya. Dalam sanad tersebut, terdapat seorang rawi pendusta
dan pemalsu hadits sebagaimana keterangan Al-Mu’allimy dalam ta’lîq
beliau terhadap kitab Al-Fawâ’id Al-Majmû’ah.
2. Hadits Aisyah
yang diriwayatkan oleh Ibnu Jauzy dalam Al-Maudhu’at no. 1136. Ibnul
Jauzy menyebutkan bahwa Muhammad Al-Muhrim, yang berada dalam sanad hadits,
adalah manusia yang paling pendusta.
Hukum Hadits
Tersimpul, dari pembahasan di atas, bahwa hadits yang
kita bahas adalah memuat rawi pemalsu hadits dan riwayat-riwayat pendukungnya
juga berada pada kedudukan yang sama. Selain itu, kandungan makna hadits adalah
hal yang tidak pernah diriwayatkan dalam buku-buku hadits yang populer. Oleh
karena itu, sangat tepat bila hadits ini dianggap sebagai hadits palsu oleh
Syaikh Al-Albâny dan selainnya. Wallahu A’lam.
Sebagai penutup, telah dimaklumi bahwa sepuluh hari
pertama Dzulhijjah memiliki banyak keutamaan, yang di antaranya adalah Ibnu
‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ menyampaikan bahwa Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ
الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ
الْعَشْرِ. فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِيْ سَبِيلِ اللَّهِ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَلاَ الْجِهَادُ فِيْ
سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ
ذَلِكَ بِشَىْءٍ
“Tiada suatu hari pun yang amal shalih pada hari-hari
itu lebih Allah cintai daripada sepuluh hari ini. (Para shahabat) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, tidak pula (dilebihi oleh)
jihad di jalan Allah?’ Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab,
‘(Ya), tidak (pula) jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar (berjihad)
dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun dari hal
tersebut.’.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Abu Dâwud, At-Tirmidzy (lafazh
hadits adalah milik beliau), dan Ibnu Mâjah]
Berpuasa pada sembilan hari pertama Dzulhijjah juga
merupakan tuntunan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagaimana
penuturan sebagian istri Nabi radhiyallâhu ‘anhâ,
أَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَتِسْعًا مِنْ ذِى
الْحِجَّةِ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ
وَخَمِيسَيْنِ
“Sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpuasa
pada hari ‘Asyurâ, pada sembilan hari Dzulhijjah, dan pada tiga hari dalam
sebulan: Senin awal dari bulan (berjalan) dan dua Kamis.” [Diriwayatkan
oleh Ahmad, Abu Dâwud, An-Nasâ`iy, dan Al-Baihaqy. Dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albâny]
Tidak diragukan bahwa tanggal 8 Dzulhijjah atau hari
Tarwiyah termasuk ke dalam keutamaan yang disebutkan dalam hadits-hadits
tersebut, tetapi bukan berarti seseorang membuat keutamaan tersendiri tentang
puasa hari Tarwiyah dengan hal yang penyandarannya kepada Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam tidak sah.
Kami menasihatkan, kepada seluruh kaum muslimin, agar
bertakwa kepada Allah dalam menukil atau menyampaikan hadits dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَذَبَ
عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang berdusta tentang diriku dengan
sengaja, hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” [Hadits Mutawatir riwayat Al-Bukhâry, Muslim, dan selainnya dari lebih
seratus shahabat]
Juga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengingatkan,
مَنْ حَدَّثَ
عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ، فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
“Barangsiapa yang bercerita dariku sebuah hadits yang
dia sangka dusta, dia adalah salah seorang di antara para pendusta.” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah Shahîh-nya]
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengingatkan,
كَفَى بِالْمَرْءِ
كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang dikatakan berdusta bila
menceritakan segala hal yang dia dengar.” [Diriwayatkan
oleh Muslim dalam Muqaddimah Shahîh-nya]
Perlu diingat bahwa tidak semua orang yang
menyampaikan hadits atau suatu ilmu layak diterima. Imam Ibnu Sîrîn
mengingatkan,
إِنَّ هَذَا
الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu (hadits) ini adalah agama maka
lihatlah dari mana kalian mengambil agama kalian!” [Diriwayatkan oleh Muslim
dalam Muqaddimah Shahîh-nya]
Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar