Assalamu’alaikum warahmatullah
wabarakatuh. Ustadz apa hukum shalat gerhana? Bagaimana jika di tempat
kami gerhana tidak nampak apakah disyariatkan untuk menunaikan shalat?
Jazakalloh khoir
Jawab: Wa’alaikumussalam
warohmatullah wabarokatuh. Gerhana Matahari dan bulan adalah tanda-tanda
kebesaran Allah dan kekuasaan-Nya yang Mahasempurna.
Di antara hikmah terjadinya gerhana ialah agar manusia memperhatikan kekuasaan Allah, takut kepada-Nya, segera bertaubat dari segala dosa, berdzikir, berlindung kepada Allah dan menunaikan sholat untuk bertaqorrub (mendekatkan diri) kepada-Nya. Bukan bergembira, sibuk mengambil gambar dan lalai dari mengingat Allah seperti yang dilakukan oleh kebanyakan manusia.
Dari Abu Mas’ud Al-Anshori rodhiyallahu ’anhu bahwa Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Di antara hikmah terjadinya gerhana ialah agar manusia memperhatikan kekuasaan Allah, takut kepada-Nya, segera bertaubat dari segala dosa, berdzikir, berlindung kepada Allah dan menunaikan sholat untuk bertaqorrub (mendekatkan diri) kepada-Nya. Bukan bergembira, sibuk mengambil gambar dan lalai dari mengingat Allah seperti yang dilakukan oleh kebanyakan manusia.
Dari Abu Mas’ud Al-Anshori rodhiyallahu ’anhu bahwa Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إن الشمس والقمر آيتان من آيات الله
يخوف الله بهما عباده وإنهما لا ينكسفان لموت أحد من الناس فإذا رأيتم منها
شيئا فصلوا وادعوا الله حتى يكشف ما بكم
”Sesungguhnya Matahari dan Bulan
adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah yang dengan keduanya
Allah menakut-nakuti para hamba-Nya. Terjadinya gerhana Matahari dan
Bulan bukanlah disebabkan karena adanya kematian seseorang. Apabila
kalian melihat terjadinya gerhana maka bersegeralah sholat dan berdoalah
kepada Allah sampai gerhana usai.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Lahiriyah hadits Nabi ini
memerintahkan sholat saat terjadinya gerhana. Sedangkan hukum asal
perintah adalah wajib sampai ada dalil yang memalingkannya kepada hukum
lain.
Akan tetapi, para Ulama berselisih pendapat. Jumhur (mayoritas) Ulama yakni Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan yang lainnya berpendapat hukumnya sunnah (Syarh Shohih Muslim, Fat-hul Bari, Al-Mughni). Sedangkan Abu Hanifah, para Ulama Hanafiyyah, Abu ‘Awanah, Ibnu Khuzaimah dan lainnya berpendapat wajibnya shalat gerhana. Adapun Ibnu Hazm dalam “Al-Muhalla” sama sekali tidak menyinggung hukum sholat gerhana.
Akan tetapi, para Ulama berselisih pendapat. Jumhur (mayoritas) Ulama yakni Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan yang lainnya berpendapat hukumnya sunnah (Syarh Shohih Muslim, Fat-hul Bari, Al-Mughni). Sedangkan Abu Hanifah, para Ulama Hanafiyyah, Abu ‘Awanah, Ibnu Khuzaimah dan lainnya berpendapat wajibnya shalat gerhana. Adapun Ibnu Hazm dalam “Al-Muhalla” sama sekali tidak menyinggung hukum sholat gerhana.
Pendapat yang rojih (kuat) di sisi
kami adalah pendapat yang menyatakan wajibnya sholat gerhana berdasarkan
lahiriyah hadits. Namuk kewajiban di sini bersifat kifayah, yakni bila
telah ditunaikan oleh sekelompok kaum Muslimin maka gugur kewajibannya
atas kaum Muslimin yang lainnya. Pendapat ini yang dipilih oleh Syaikh
Al-‘Utsaimin dalam “Asy-Syarhul Mumti'”.
Adapun yang menunaikannya hanyalah
bagi mereka yang melihatnya secara langsung dengan mata kepala, “Apabila
kalian melihat terjadinya gerhana maka bersegeralah sholat.” (HR.
Al-Bukhori)
Sedangkan sholat gerhana ini boleh
ditegakkan secara berjama’ah maupun perorangan. (Syarh Shohih Muslim -
An-Nawawi), berdasarkan keumuman sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam
di atas.
Adapun pelaksanaan sholat gerhana
ditunaikan sebanyak dua roka’at tidak didahului adzan maupun iqomah
tanpa ada perselisihan pendapat di antara Ulama, yaitu dengan empat kali
ruku’, empat kali sujud dan setelah itu dilanjutkan dengan khutbah.
'Aisyah berkata bahwa gerhana
matahari pernah terjadi di masa Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam.
Bangkitlah beliau dan mengimami manusia. Beliau memanjangkan
berdirinya, kemudian ruku’ dan memperpanjang ruku’-nya. Kemudian beliau
kembali berdiri dan memperpanjangnya akan tetapi temponya lebih singkat
dari berdiri sebelumnya. Lalu beliau ruku’ kembali dan memperpanjang
ruku’-nya namun lebih singkat dari ruku’ sebelumnya. Kemudian beliau
sujud dan memperpanjang sujudnya. Pada roka’at berikutnya beliau lakukan
seperti di roka’at pertama. Usai sholat beliau beralih (untuk khutbah)
dan matahari pun telah nampak. (HR. Muslim)
Empat kali ruku' yaitu dua kali
ruku' pada setiap roka'at. Roka'at pertama setelah membaca Al-Fatihah
dan surat panjang, lalu ruku' bertasbih mensucikan Allah berulang kali
dengan tempo ruku' yang panjang, kemudian bangkit i'tidal terus berdiri
tidak sujud dengan kembali membaca Al-Fatihah dan surah namun temponya
lebih singkat dari sebelumnya. Begitu raka'at selanjutnya melakukan hal
yang sama, wa billahit tawfiq.
Pengumuman Terjadinya Gerhana untuk Persiapan, Namun Lebih Utama Tidak Diumumkan
Syaikh Al-'Allamah Abdul 'Aziz bin Baz rohimahullah berkata:
لو ترك النشر لكان أحسن وأفضل؛ حتى
يفجأ الناس الخسوف، ويكون ذلك أقرب إلى فزعهم وخوفهم واجتهادهم في طاعة
الله سبحانه وتعالى، لكن بعض الحسّابين يرى أن في ذلك حثاً على التهيؤ
والاستعداد وعدم الغفلة؛ لأنه قد يأتي غفلة وهم لا يشعرون ولا ينتبهون،
فإذا نشر في الصحف انتبه الناس لهذا الشيء وأعدوا له عدته في وقته، هذا
مقصود من نشر ذلك في الأغلب
“Jika seandainya penyebaran
informasi waktu terjadinya gerhana ditinggalkan maka tentu lebih baik
dan lebih utama; sehingga manusia menjumpai gerhana secara tiba-tiba.
Hal itu akan lebih menumbuhkan rasa takut mereka, kekhawatiran mereka
dan kesungguhan mereka dalam mengupayakan ketaatan kepada Allah
subhanahu wa ta’ala. Hanya saja sebagian ahli hisab berpendapat dalam
pemberitaan tersebut ada motivasi untuk persiapan agar tidak lalai.
Sebab kelalaian itu terkadang muncul dalam kondisi mereka tidak
menyadarinya dan tidak menaruh perhatian terhadapnya. Apabila
pemberitaan tentang gerhana disebarkan maka manusia akan peduli dan
menyiapkan dirinya dengan sigap. Inilah yang menjadi tujuan penyebaran
informasi gerhana pada umumnya." (binbaz.org.sa/fatawa/4708)
Tidak Mengacu Kepada Pengumuman Ahli Hisab
Syaikh bin Baz melarang bergantung
sepenuhnya pada pemberitaan ahli hisab dalam menentukan terjadinya
gerhana dan sebagai waktu sholat. Beliau berkata:
أما أخبار الحسابيين عن أوقات الكسوف
فلا يعول عليها صرح بذلك جماعة من أهل العلم، منهم شيخ الإسلام ابن تيمية
وتلميذه العلامة ابن القيم رحمة الله عليهما لأنهم يخطئون في بعض الأحيان
في حسابهم، فلا يجوز التعويل عليهم، ولا يشرع لأحد أن يصلي صلاة الكسوف
بناء على قولهم، وإنما تشرع صلاة الكسوف عند وقوعه ومشاهدته
"Adapun pengumuman ahli hisab
mengenai waktu-waktu terjadinya gerhana maka tidak boleh bergantung
kepada mereka. Hal itu telah ditegaskan oleh sekelompok Ulama di
antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid beliau Al-'Allamah
Ibnul Qoyyim rohmatullah ‘alaihima. Karena pengamatan ahli hisab
terkadang tidak tepat pada sebagian kesempatan. Jadi tidak boleh
bergantung sepenuhnya kepada pengumuman mereka. Dan tidak disyari'atkan
bagi seseorang untuk mendirikan sholat gerhana semata-mata mengacu pada
pengamatan mereka. Sholat baru disyari'atkan jika gerhana telah pasti
terjadi dan disaksikan langsung secara kasat mata."
(binbaz.org.sa/fatawa/2499)
Perhitungan Para Ahli Tentang Waktu Terjadinya Gerhana Bukanlah Ilmu Ghoib
Syaikh bin Baz berkata:
ليس التحدث عن وقت الخسوف أو الكسوف
من علم بالغيب، بل هذا يدرك بالحساب، كثير من أصحاب الفلك يعرفون هذا الشيء
بمراقبة سير الشمس والقمر في منازلهما فإذا صارت الشمس في منـزلة معينة أو
القمر قد عرفوا بالحساب أنها تكسف بإذن الله في ذلك الوقت، فهذا يدرك
بالحساب وليس من علم الغيب بل هذا حساب دقيق يعرفه أصحاب الفلك في سير
الشمس والقمر، بل يدركون ذلك وقد يغلطون قد يغلطون في بعض الأحيان وقد
يصيبون
"Pembicaraan tentang waktu gerhana
bulan atau matahari bukanlah tergolong ilmu ghoib. Bahkan pengetahuan
ini dapat dicapai melalui ilmu hisab. Banyak dari kalangan ahli
astronomi mengetahui perkara ini karena mengamati perjalanan matahari
dan bulan pada garis edarnya. Apabila Matahari atau Bulan berada pada
garis edar tertentu, maka mereka akan mengetahui berdasarkan
perhitungannya kapan waktu terjadinya gerhana dengan izin Allah. Hal ini
dapat diketahui dengan ilmu hisab dan ilmu ini tidak termasuk ilmu
ghoib. Bahkan hisab ini adalah perhitungan yang cermat dan diketahui
oleh para ahli astronomi ketika mengamati perjalanan Matahari dan Bulan.
Hanya saja terkadang perhitungan mereka tidak tepat pada suatu
kesempatan dan terkadang tepat pada kesempatan lain."
(binbaz.org.sa/noor/8569)
Fikri Abul Hasan
Sumber: http://manhajul-haq.blogspot.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar