“Ukhti Ana ingin sekali memiliki Istri yang cerdas, yang baik ahklak
dan agamanya seperti Anti, maukah Ukhti berta`aruf dengan Ana?”
Dag
dig dug hati seorang wanita bahkan meronta-ronta gembira saat membuka
inboks atau dinding di akun facebook, ia menemukan kata-kata di atas
atau semisalnya. Akhirnya,
gayung pun bersambut. Sang akhwat pun mulai
kirim pesan atau sekadar bertanya: Sudah makan wahai Akhi? Sudahkah
Antum tidur Akhi? Atau ucapan: mimpi indah ya?! Dan seterusnya. Jika
ditanya, mereka akan menjawab, “Kami sedang ta’aruf, kami ingin saling
mengenal, dan kami masih menjaga batas-batas syariat, karena kami tidak
ber-khulwat dan belum sampai bertemu, hanya sekadar kirim pesan lewat
akun facebook aja!.
Inilah fenomena yang banyak terjadi akhir-akhir ini, bahkan banyak
para jilbaber atau alumni pondok pesantren yang juga ikut-ikutan.
Yang menyisakan pertanyaan adalah, apakah hal seperti ini itu boleh?!
Apakah termasuk cara ta’aruf syar’i ataukah justru termasuk pacaran
yang berkedok ta’aruf?!
Untuk mengulas beberapa permasalahan ini, maka kita harus mengetahui beberapa poin berikut ini.
Hakikat ta’aruf
Ta’aruf yang dimaksud di sini adalah proses saling mengenal antara
dua orang lawan jenis yang ingin menikah. Jika di antara mereka berdua
ada kecocokan maka bisa berlanjut ke jenjang pernikahan namun jika tidak
maka proses pun berhenti dan tidak berlanjut.
Islam tidak melarang ta’aruf, dalam sebuah hadits disebutkan, “Dari
Anas bin Malik bahwa Al-Mughirah bin Syu’bah ingin menikah seorang
wanita, maka Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berkata
kepadanya, “Pergi lalu lihatlah dia, sesungguhnya hal itu menimbulkan
kasih sayang dan kedekatan antara kalian berdua.” (Diriwayatkan oleh
Ibnu Majah no 1938 dan dishahihkan oleh Syekh al-Albani – rahimahullah –
dalam Shahih Ibnu Majah)
Rambu-rambu ta’aruf
Ta’aruf bukanlah pernikahan yang menghalalkan apa yang dihalalkan
bagi pasangan suami istri. Ta’aruf hanyalah proses pra pernikahan, maka
selama akad nikah belum diikrarkan, maka mereka berdua adalah dua orang
yang bukan mahram harus menjaga ada-adab islam.
Namun, belakangan ini, ta’aruf mengalami penyempitan makna, karena
telah diselewengkan kepada makna pacaran yang jelas-jelas diingkari oleh
islam. Islam tidak mensyariatkan pacaran untuk menempuh ke jenjang
pernikahan. Namun islam mensyariatkan ta’aruf sesuai batasan-batasan
syariat. Ta’aruf yang benar adalah dengan langkah sebagai berikut:
1. Pihak lelaki mencari keterangan tentang biografi, karakter, sifat,
atau hal lain pada wanita yang ingin ia pinang melalui seseorang yang
mengenal baik tentangnya demi maslahat pernikahan. Bisa dengan cara
meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan
seseorang, seperti istri teman atau yang lainnya. Demikian pula dengan
pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berkeinginan
meminang dapat menempuh cara yang sama.
Dalam menempuh langkah pertama ini, perlu memerhatikan beberapa perkara antara lain:
- Tidak berkhulwat (berdua-duaan) dalam mencari informasi secara
langsung dari wanita terkait dan sebaliknya. Nabi – shallallahu ‘alaihi
wa sallam – menegaskan, “Dan janganlah seorang lelaki berdua-duaan
dengan seorang wanita kecuali jika sang wanita bersama mahramnya
(Riwayat al-Bukhari no. 3006 dan Muslim 1341)
Kemudian Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – kembali menjelaskan
hikmah dari larangan ini dalam sabdanya, “Tidaklah seorang lelaki
berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali setan adalah orang ketiga di
antara mereka berdua.” (Riwayat Ahmad 1/18, Ibnu Hibban (lihat Shahih
Ibnu Hibban 1/436))
Tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa menjerumuskan seseorang
ke kubangan perzinaan apalagi perbuatan zina itu sendiri dengan
berbagai macam bentuknya.
كُتِبَ عَلىَ ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ
مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا
اْلاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ
الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى
وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Telah ditulis bagi tiap anak Adam bagiannya dari zina, dia pasti
akan melakukan, yaitu kedua mata berzina dengan memandang, kedua telinga
berzina dengan mendengar, lisan berzina dengan berbicara, tangan
berzina dengan memegang, kaki berzina dengan melangkah, sementara hati
berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluanlah yang membenarkannya
atau mendustakannya.” (Riwayat al-Bukhari, lihat Shahih Targhib wa
Tarhib II/398)
- Tidak ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan wanita bukan mahram)
2. Setelah menemukan kecocokan dan sebelum khitbah, bagi lelaki
disunahkan melihat wanita yang ingin ia nikahi. Hal ini karena
bermodalkan informasi saja terkadang tidak cukup, karena kondisi
seseorang atau kecantikan seseorang itu relatif. Bisa saja cantik
menurut kacamata seseorang, namun tidak cantik menurutnya. Sehingga
Syekh Utsaimin – rahimahullah – menegaskan, “Sesungguhnya penglihatan
orang lain tidak mewakili penglihatan sendiri secara langsung. Bisa jadi
seorang wanita cantik menurut seseorang namun tidak cantik menurut
orang yang lain”. (Syarhul Mumti’ XII/20)
Saat seorang lelaki ingin wanita yang akan ia khitbah, maka ia harus
memperhatikan rambu-rambu nazhar yang telah dijelaskan oleh Syekh
Utsamin – rahimahullah – dalam Syarhul Mumti’ XII/22 sebagai berikut :
1. Tidak berkhalwat (berdua-duaan) dengan sang wanita tatkala memandangnya.
Untuk menjauhi khalwat ketika nazhar, maka ia bisa melihat wanita
yang ingin ia pinang ditemani wali si wanita atau jika tidak mampu maka
ia bisa bersembunyi dan melihat wanita tersebut di tempat di mana ia
sering melalui tempat tersebut.
2. Hendaknya memandangnya dengan tanpa syahwat, karena nazhar
(memandang) wanita ajnabiyah karena syahwat diharamkan. Selain itu,
tujuan dari melihat calon istri adalah untuk mengetahui kondisinya bukan
untuk menikmatinya.
3. Hendaknya ia memiliki prasangka kuat bahwa sang wanita akan menerima lamarannya.
4. Hendaknya ia memandang kepada apa yang biasanya nampak dari tubuh sang wanita, seperti muka, telapak tangan, leher, dan kaki.
5. Hendaknya ia benar-benar bertekad untuk melamar sang wanita. Yaitu
hendaknya pandangannya terhadap sang wanita itu merupakan hasil dari
keseriusannya untuk maju menemui wali wanita tersebut untuk melamar
putri mereka. Adapun jika ia hanya ingin berputar-putar melihat-lihat
para wanita satu per satu, maka hal ini tidak diperbolehkan.
6. Hendaknya sang wanita yang dinazharnya tidak bertabarruj, memakai
wangi-wangian, memakai celak, atau yang sarana-sarana kecantikan yang
lainnya.
Ta’aruf via facebook?
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa hukum asal facebook adalah mubah.
Namun, ia bak pisau bermata dua. Artinya, jika tidak digunakan
sebagaimana mestinya, bisa saja pisau tersebut menyembelih si empunya.
Jika seseorang memandang dirinya lemah, tidak mampu menggunakan dalam
kebaikan, maka meninggalkan facebook tentunya lebih utama, apalagi
ketika seseorang membuka facebook, minimal ia akan melihat wanita-wanita
bukan mahram yang pamer aurat.
Lalu bagaimana jika digunakan sebagai sarana ta’aruf? Jika kita mau
mencermati, niscaya kita dapatkan bahwa facebook memiliki beberapa
kerusakan, yaitu:
Rawan tipuan, karena kebenaran biodata, foto, dan data-data lainnya
berkaitan dengan pemilik akun tersebut tidak bisa dijamin kebenarannya.
Siapa sangka pemilik akun berbeda dengan aslinya. Selain itu, kebenaran
dan ketulusan niat mereka dalam ber-ta’aruf juga tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Sungguh banyak sekali, ikhwan-ikhwan yang hanya
uji coba atau iseng belaka atau mungkin hanya ingin mempermainkan si
wanitanya. Bahkan yang lebih parah lagi, banyak juga para lelaki yang
menyamar sebagai wanita dalam akun facebook kemudian mengikuti grup-grup
facebook khusus bagi wanita.
Khulwat, karena tidak jarang antara dua orang lawan jenis yang saling
kirim data, pesan, atau bahkan mungkin memanfaatkan video call yang
disediakan oleh facebook. Tentunya hal ini lebih bahaya daripada
pertemuan langsung, karena khulwat via facebook lebih tersembunyi dan
lebih leluasa untuk menyampaikan apa yang ia kehendaki.
Zina. Sudah kita sebutkan di atas, di antara syarat ta’aruf adalah
tidak melakukan perzinaan dengan segala macam bentuknya. Tadi kita
sebutkan, bahwa kedua mata berzina dengan memandang, padahal facebook
banyak menyuguhkan fasilitas kirim foto dan video. Kedua telinga berzina
dengan mendengar, padahal facebook pun bisa saling mendengarkan suara
tanpa didengar oleh orang lain. Lisan berzina dengan berbicara, padahal
facebook juga memberikan fasiltas untuk saling berbicara. Kalaupun semua
ini tidak ada, maka minimal hati seseorang telah berzina, karena telah
berangan-angan.
Ketiga hal ini mungkin bisa dikatakan tidak mungkin terlepas dari
facebook yang digunakan sebagai sarana ta’aruf. Sehingga, jika tiga hal
ini ada atau syarat-syarat ta’aruf di atas belum terpenuhi maka
menggunakan facebook sebagai sarana ta’aruf tidak boleh. Kecuali jika
seseorang bisa menjamin bisa bersih dari tiga hal ini dan bisa memenuhi
syarat-syarat ta’aruf di atas. Dan hal ini menurut hemat penulis, adalah
sesuatu yang bisa dikatakan jarang terjadi atau bahkan mustahil.
Demikian, semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk istiqamah
dalam menjalankan semua syariat islam yang sempurna ini. Wallahu a’lam.
(***)
Oleh: Abu Rufaid Agus Suseno, Lc
sumber: http://majalahsakinah.com
Sumber: Rubrik Fikih Keluarga, Majalah Sakinah Vol. 11 No. 5
Makkah Fajr - 25th November 2024
-
*Makkah Fajr *
(Surah Ale ‘Imraan: Ayaah 98-115) *Sheikh Juhany*
Download 128kbps Audio
5 jam yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar