Shalat Jum’at hukumnya wajib berdasarkan dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) ulama.
Adapun dalil dari al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ
ءٰمَنُوْآإِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا
اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُواالْبَيْعَ ۗ
“Hai orang-orang beriman, apabila
diseruuntuk menunaikan shalat Jum’at, maka
bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (al-Jumu’ah: 9)
Segi pendalilan dari ayat di atas tentang wajibnya Jum’atan adalah Allah Subhanahu wata’ala
memerintahkan bergegas/bersegera, sedangkan yang dituntut oleh perintah
adalah perkara wajib. Sebab, (tentu) tidaklah sesuatu diharuskan
bergegas selain untuk hal yang wajib. Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wata’ala
juga melarang berjual beli ketika azan Jum’at telah dikumandangkan agar
seseorang tidak tersibukkan dari Jum’atan. Andaikata Jum’atan tidak
wajib, tentu Allah Subhanahu wata’ala tidak melarang jual beli saat Jum’atan. (lihat al-Mughni 3/158, Ibnu Qudamah)
Adapun dalil dari as-Sunnah, adalah
hadits yang secara tegas menunjukkan wajibnya Jum’atan, yaitu hadits
Thariq bin Syihab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى
كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِ أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ، أَوِ
امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ
“Jum’atan adalah hak yang wajib atas
setiap muslim dengan berjamaah, selain atas empat (golongan): budak
sahaya, wanita, anak kecil, atau orang yang sakit.” (HR. Abu Dawud dalam
as-Sunan no. 1067. An-Nawawi rahimahullah menyatakannya sahih dalam al-Majmu’ 4/349, demikian pula al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 3111)
Adapun ijma’ ulama, Ibnul Mundzir rahimahullah
menukil adanya ijma’ tentang wajibnya Jum’atan dalam dua kitab beliau,
yaitu al-Ijma’ dan al-Isyraf, sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi t
dalam al-Majmu’ SyarhulMuhadzab (4/349).
Keutamaan Shalat Jum’at
Anugerah Allah Subhanahu wata’ala
kepada hamba-hamba-Nya sangat banyak dan tidak terhingga. Di antara
anugerah tersebut adalah shalat Jum’at yang dikerjakan oleh hamba.
Di samping mendatangkan pahala, shalat Jum’at juga menjadi pembersih dosa antara Jum’at tersebut dan Jum’at berikutnya, sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى
الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِرَ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ
خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِي مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ
الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى وَفَضْلُ ثَلَاثَةٍ أَيَّامٍ
“Barangsiapa mandi kemudian mendatangi Jum’atan, lalu shalat (sunnah) yang ditakdirkan (dimudahkan) Allah Subhanahu wata’ala baginya,
sertadiam sampai (imam) selesai dari khutbahnya dan shalat bersamanya,
diampuni baginya antara Jum’at itu hingga Jum’at berikutnya, ditambah
tiga hari.” (Shahih Muslim, Kitabul Jum’ah)
Ancaman bagi Orang yang Meninggalkan Jum’atan
Melaksanakan shalat Jum’at adalah syiar
orang-orang saleh, sedangkan meninggalkannya adalah pertanda kefasikan
dan kemunafikan yang mengantarkan pada kebinasaan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ
وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتَمِنَّ اللهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ
ثُمَّ لَيَكُوْنُنَّ مِنَ الْغَافِلِيْنَ
“Hendaknya orang-orang berhenti
meninggalkan Jum’atan, atau (kalau tidak) Allah Subhanahu wata’ala akan
menutup hati-hati mereka, kemudian tentu mereka akan menjadi orang-orang
yang lalai.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, “Kitabul Jumu’ah”, dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma)
Apabila seseorang ditutup hatinya, dia
akan lalai melakukan amalan yang bermanfaat dan lalai meninggalkan hal
yang memudaratkan (membahayakan).
Hadits ini termasuk ancaman yang keras
terhadap orang yang meninggalkan dan meremehkan Jum’atan. Juga
menunjukkan bahwa meninggalkannya adalah faktor utama seseorang akan
diabaikan oleh Allah Subhanahu wata’ala. (lihat Subulus Salam 2/45)
Ancaman tersebut terarah kepada yang meninggalkan Jum’atan tanpa uzur. Al-Imam ath-Thabarani rahimahullah meriwayatkandalam al-Mu’jam al-Kabir dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda (yang artinya), “Barangsiapa meninggalkan 3 Jum’atan tanpa
uzur, dia ditulis sebagai golongan munafikin.” (Shahih at-Targhib no.
728)
Atas Siapa Shalat Jum’at Diwajibkan?
Shalat Jum’at wajib atas golongan berikut :
1. Seorang muslim yang sudah baligh dan berakal
Dengan demikian, orang kafir tidak wajib Jum’atan, bahkan jika mengerjakannya tidak dianggap sah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا مَنَعَهُمْ اَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ اِلَّآ اَنَّهُمْ كَفَرُوْابِااللهِ وَبِرَسُوْلِهِ
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka
untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka
kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.” (at-Taubah: 54)
Apabila Allah Subhanahu wata’ala
tidak menerima infak orang kafir padahal manfaatnya sangat luas, tentu
ibadah yang manfaatnya terbatas (untuk pelaku) lebih tidak terima.
(lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/10)
Adapun anak kecil yang belum baligh tidak
wajib Jum’atan karena belum dibebani syariat. Meskipun demikian, anak
laki-laki yang sudah mumayyiz (biasanya berusia tujuh tahun lebih),
dianjurkan kepada walinya agar memerintahnya menghadiri shalat Jum’at.
Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
مُرُوْا الصَّبِيَّ بِالصَّ ةَالِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ
“Perintahkan anak kecil untuk mengerjakan shalat apabila sudah berumur tujuh tahun.” (HR. Abu Dawud dari Sabrah radhiyallahu ‘anhu. Al-‘Allamah al-Albani memasukkan hadits ini dalam Shahih al-Jami’)
Sementara itu, orang yang tidak berakal
(gila) secara total berarti dia bukan orang yang cakap untuk diarahkan
kepadanya perintah syariat atau larangannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ
ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِم حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى
يَشِبَّ، وَعَنِ الْمَعْتُوْهِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Pena terangkat dari tiga golongan : dari
orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia dewasa,
dan dari orang gila sampai dia (kembali) berakal (waras).” (Shahih Sunan
at-
Tirmidzi no. 1423)
Yang dimaksud dengan “pena terangkat” adalah tidak adanya beban syariat.
2. Laki-laki
Maka dari itu, tidak wajib shalat Jum’at atas perempuan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى
كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ اِ أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ، أَوِ
امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ
“Jum’atan adalah hak yang wajib
ditunaikan oleh setiap muslim secara berjamaah, kecuali empat orang:
budak sahaya, wanita, anak kecil, atau orang yang sakit.” (HR. Abu Dawud
dalam Sunan-nya no. 1067 dan dinyatakan sahih oleh an-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’ dan al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa’ No. 592)
Seseorang yang berkelamin ganda (ambiguousgenitalia,
keraguan alat kelamin, -red.) tidak wajib Jum’atan karena tidak
terwujudnya persyaratan pada dirinya. Orang yang seperti itu tidak
diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan, padahal hukum asalnya
seorang itu terbebas dari
tanggungan/kewajiban sampai yakin
(adanya) persyaratan yang menjadikan ia diwajibkan. Sementara itu, di
sini belum terbukti adanya persyaratan tersebut. (asy-Syarhul Mumti’
5/7)
An-Nawawi rahimahullah berkata,
“Teman-teman kami (ulama mazhab Syafi’i) telah berkata, ‘Tidak wajib
Jum’atan bagi orang (yang berkelamin ganda) karena masih adanya keraguan
tentang (syarat) wajibnya’.” (al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 4/350)
3. Orang yang merdeka, yaitu yang bukan budak sahaya
Dalam masalah ini, ulama berbeda
pendapat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa budak sahaya tidak wajib
Jum’atan berdasarkan hadits yang telah disebutkan pada poin kedua. Hal
ini juga dikarenakan manfaat diri budak sahaya dimiliki oleh tuannya
sehingga ia tidak leluasa. (lihat al-Majmu’ 4/351, an-Nawawi rahimahullah, dan al-Mughni 3/214, Ibnu Qudamah)
Namun, sebagian ulama berpendapat,
apabila tuannya mengizinkannya untuk Jum’atan, dia wajib menghadiri
Jum’atan karena sudah tidak ada uzur lagi baginya. Pendapat ini yang
dirajihkan (dikuatkan) oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin
(asy-SyarhulMumti’ 5/9).
4. Orang yang menetap dan bukan musafir (orang yang sedang bepergian)
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa
musafir tidak wajib Jum’atan. Di antara ulama tersebut adalah al-Imam
Malik, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur.
Di antara hujah (argumen) mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu melakukan safar/bepergian dan beliau tidak shalat Jum’at dalam safarnya. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menunaikan haji wada’ di Padang Arafah (wukuf) pada hari Jum’at, beliau shalat zhuhur
dan ashar dengan menjamak keduanya dan tidak shalat Jum’at. Demikian
pula para al-Khulafa’ ar-Rasyidin. Mereka safar untuk haji dan
selainnya, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang shalat Jum’at saat
bepergian. Demikian pula para sahabat Nabi selain al-Khulafa’
ar-Rasyidin radhiyallahu ‘anhum dan yang setelah mereka.” (al-Mughni 3/216, Ibnu Qudamah)
Di antara dalil yang paling jelas tentang tidak wajibnya Jum’atan atas musafir adalah hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di Padang Arafah di hari Jum’at. Jabir radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Kemudian (muazin) mengumandangkan azan lalu iqamah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat zhuhur. Kemudian (muazin) iqamah, lalu shalat ashar.” (Shahih Muslim, “Kitabul Hajj” no. 1218)
Adapun tentang musafir yang singgah atau
menetap bersama orang-orang mukim beberapa saat, sebagian ulama
berpendapat disyariatkannya Jum’atan atas mereka karena mereka mengikuti
orang-orang yang mukim.
Di antara hujahnya, dahulu para sahabat yang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan tinggal di Madinah beberapa hari, yang tampak, mereka ikut shalat Jum’at bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. (lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/15)
Ulama juga mensyaratkan diwajibkannya
Jum’atan atas seseorang yakni dia tinggal dan menetap di mana pun mereka
menetap dan dari apa pun rumah mereka terbuat. Berbeda halnya dengan
orang-orang badui yang senantiasa berpindah-pindah tempat untuk mencari
lahan yang banyak rumput dan airnya. Orang yang seperti ini tidak wajib
Jum’atan. (Lihat Fatawa Ibnu Taimiyyah 24/166-167)
Karena tinggal menetap di suatu tempat
adalah syarat wajibnya Jum’atan, orang-orang yang bekerja di tengah laut
seperti nakhoda, anak buah kapal (ABK), dan para musafirin yang ada di
atas kapal tidak wajib Jum’atan. Bahkan, sebagian ulama mengatakan tidak
sah jika mereka melakukan Jum’atan, sebagaimana pendapat asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Sebab, menurut petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
Jum’atan itu tidak dilakukan selain di perkotaan atau perdesaan yang
memang tempat menetap. Adapun orang yang tengah berlayar, mereka tidak
menetap dan berpindah-pindah. Jadi, yang wajib atas mereka adalah shalat
zhuhur. (Lihat Fatawa Arkanil Islam karya asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hlm. 391)
5. Orang yang tidak ada uzur/halangan yang mencegahnya untuk menghadiri Jum’atan
Orang yang memiliki uzur, ada keringanan tidak menghadiri shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat zhuhur.
Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menerangkan,
“(Kata) uzur sangat luas penjabarannya. Intinya adalah segala halangan
yang mencegah seseorang menghadiri pelaksanaan Jum’atan. Bisa jadi, hal
itu berupa sesuatu yang mengganggunya, misalnya ada kezaliman yang
dikhawatirkannya, atau bisa menggugurkan suatu kewajiban yang tidak ada
seorang pun yang bisa menggantikannya. Di antara uzur tersebut adalah
(takut dari) penguasa zalim yang akan berbuat kezaliman, hujan deras
yang terus-menerus, sakit yang mencegahnya, dan semisalnya. Termasuk
uzur juga adalah seseorang yang mengurusi jenazah yang tidak ada yang
mengurusinya selain dia, yang apabila dia tinggalkan, jenazah itu akan
tersia-siakan dan rusak. (at-Tamhid 16/243-244)
6. Orang yang sakit
Dalilnya telah berlalu pada pembahasan orang yang tidak wajib Jum’atan.
Yang dimaksud sakit yang diberi
keringanan di sini adalah apabila si sakit menghadiri Jum’atan, ia akan
menemui kesulitan yang nyata, bukan sekadar perkiraan. Maka dari itu,
masuk pula dalam hal ini adalah seseorang yang terkena diare berat. (al-Majmu’, an- Nawawi, 4/352)
Di antara uzur yang membolehkan
meninggalkan Jum’atan dan menggantinya dengan shalat zhuhur adalah
seorang yang diberi tanggung jawab atas sebuah tugas yang berkaitan
dengan keamanan umat dan kemaslahatannya. Dia dituntut untuk
melaksanakan tugas tersebut di waktu
shalat Jum’at, seperti aparat keamanan, petugas pengatur lalu lintas, dan petugas operator telekomunikasi.
Demikian pula dokter piket (dokter jaga)
di rumah sakit atau klinik kesehatan, yang jika ia meninggalkan tugasnya
untuk shalat Jum’at diperkirakan akan berdampak pada lambannya
penanganan terhadap pasien yang membutuhkan pertolongan segera sehingga
bisa mengancam keselamatan pasien. (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 8/189-192)
Khutbah, Syarat Sahnya Jum’atan?
Untuk sahnya shalat Jum’at haruslah didahului oleh khutbah. Hal ini karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan bahwa beliau shalat Jum’at tanpa didahului oleh dua khutbah.
Ibnu Qudamah rahimahullah
mengatakan, “Sesungguhnya khutbah adalah syarat dalam Jum’atan. Tidak
sah Jum’atan tanpa adanya khutbah. Ini adalah pendapat ‘Atha,
an-Nakha’i, Qatadah, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur, dan
Ashabur Ra’yi. Kami tidak mengetahui ada yang menyelisihinya selain
al-Hasan (al-Bashri). Ia berkata, ‘Sah shalat Jum’at semuanya, apakah
imam berkhutbah atau tidak, karena shalat Jum’at adalah shalat hari raya
sehingga tidak disyaratkan adanya khutbah seperti shalat Idul Adha’.”
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Dalil kami adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ
“Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah’.” (al-Jumu’ah: 9)
Zikir (di sini) adalah khutbah. (Dalil yang lain), Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah
meninggalkan khutbah Jum’at dalam keadaan apa pun, padahal beliau bersabda,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat.” (al-Mughni, 3/170-171)
Waktu Shalat Jum’at
Mayoritas ulama berpendapat bahwa waktu
shalat Jum’at sama dengan waktu shalat zhuhur, yaitu dari tergelincirnya
matahari hingga masuknya waktu ashar.
Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Jum’at ketika matahari telah condong (ke barat). (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 904)
Disebutkan juga dalam hadits Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Dahulu kami shalat Jum’at bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika matahari telah tergelincir.” (Shahih Muslim, “Kitab al-Jumu’ah”)
Demikian pula diriwayatkan dari Umar, Ali, an-Nu’man bin Basyir, dan ‘Amr bin Huraits radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka shalat Jum’at setelah tergelincirnya matahari. (Fathul Bari 2/387)
Namun, ada pendapat yang menyatakan bolehnya shalat Jum’at sebelum tergelincirnya matahari, seperti pendapat al-Imam Ahmad rahimahullah dan selainnya. Landasan pendapat ini adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صل الله
عليه وسلم يُصَلِّي الْجُمُعَةَ ثُمَّ نَذْهَبُ إلَى جِمَالِنَا
فَنُرِيْحُهَا حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ
“Adalah Rasulullah shalat Jum’at kemudian
kami pergi menuju unta-unta (pembawa air) kami, lalu kami
mengistirahatkannya ketika tergelincirnya matahari.” (HR. Muslim dalam “Kitabul Jumu’ah”)
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
shalat Jum’at sebelum tergelincirnya matahari, karena para sahabat
mengistirahatkan unta-unta pembawa air mereka setelah Jum’atan di saat
matahari tergelincir. Dengan demikian, tentu pelaksanaan shalat Jum’at
terjadi sebelumnya.
Telah dinukil dari sebagian salaf (yakni sahabat Nabi) tentang pelaksanaan shalat Jum’at sebelum tergelincirnya matahari.
Di antaranya adalah atsar Bilal al-‘Absi bahwa ‘Ammar (bin Yasir) radhiyallahu ‘anhuma shalat
Jum’at mengimami manusia. Para jamaah waktu itu (pendapatnya) menjadi
dua kelompok. Sekelompok mengatakan (bahwa shalatnya) sesudah matahari
tergelincir dan sekelompok yang lain mengatakan sebelum tergelincir.
Demikian pula atsar dari Abu Razin. Dia
berkata, “Dahulu kami shalat Jum’at bersama Ali (bin Abi Thalib).
Terkadang kami telah mendapati adanya bayangan dan terkadang kami belum
mendapatinya.” (Kedua atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan
dinyatakan sahih oleh
al-Albani dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah hlm. 25)
Tentang hadits-hadits yang menyatakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Jum’at setelah
tergelincirnya matahari, pendapat ini
menjawab bahwa hal itu tidak menafikan bolehnya shalat Jum’at
sebelumnya. (Nailul Authar 3/310)
Kesimpulannya, shalat Jum’at
sebelum/menjelang tergelincirnya matahari itu boleh sebagaimana jika
dilakukan setelah tergelincirnya matahari. Pendapat ini pula yang
dikuatkan oleh asy-Syaikh al-Albani (seperti dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah
hlm. 25).
Wallahu a’lam.
Oleh : Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar