Dalam sebuah hadits dari jalur Abu Qatâdah Al-Anshâry radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa hari ‘Arafah maka beliau menjawab,
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
“(Puasa tersebut) menggugurkan dosa tahun yang lalu dan tahun yang tersisa.”
Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa beliau bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ
“Saya mengharap pahala dari Allah bahwa puasa hari ‘Arafah menggugurkan dosa tahun sebelumnya dan tahun setelahnya.”[1]
Hadits di atas menunjukkan keutamaan puasa ‘Arafah yang sangat besar yang, siapa saja yang mengamalkan puasa tersebut, Allah akan menggugurkan dosa-dosanya yang telah berlalu pada tahun itu dan dosa-dosanya yang akan datang hingga akhir tahun. Bahkan, dalam riwayat lain, Allah akan menggugurkan dosa dua tahun: tahun sebelumnya dan tahun setelahnya.
Sungguh indah keutamaan hari ‘Arafah, tetapi, pada tahun ini, terjadi kebingungan tentang pelaksanaan hari ‘Arafah ini karena terjadi perbedaan antara Indonesia dan Arab Saudi dalam penetapan 1 Dzulhijjah sebagaimana terjadi silang pendapat berkaitan dengan pelaksanaan shalat Idul Adhha.
Untuk mengobati kebingungan ini, berikut beberapa penjelasan yang insya Allah bisa menjadi pencerahan untuk semuanya.
Pertama, dalam Islam penentuan masuknya bulan Dzulhijjah, Ramadhan, dan bulan lainnya hanyalah dikenal dengan cara melihat hilal atau menggenapkan bulan menjadi tiga puluh hari pada saat hilal tidak terlihat.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“… Maka, barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa ….” [Al-Baqarah: 185]
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعَدُّوْا ثَلَاثِيْنَ
“Berpuasalah kalian karena melihat (hilal) tersebut, dan berbukalah kalian karena melihat (hilal) tersebut. Lalu, apabila tertutupi dari (pandangan) kalian, sempurnakanlah bulan (Sya’ban) itu menjadi tiga puluh (hari).”[2]
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
«إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا» وَعَقَدَ الْإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ «وَالشَّهْرُ هَكَذَا، وَهَكَذَا، وَهَكَذَا» يَعْنِي تَمَامَ ثَلَاثِينَ
“Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah, kami tidak menulis dan tidak menghitung. Bulan itu begini, begini, dan begini -seraya beliau melipat ibu jarinya pada kali ketiga (yakni dua puluh sembilan hari)-. Bulan itu begini, begini dan begini -yakni tiga puluh hari secara sempurna -.”[3]
Dari dua hadits di atas -dan banyak lagi hadits lainnya- dapat diketahui bahwa, dalam Islam, jumlah hari dalam sebulan hanyalah dua puluh sembilan atau tiga puluh hari. Tidaklah dikenal bahwa bulan Islam berakhir dengan tanggal 28 atau 31.
Dari ayat dan hadits-hadits di atas, kita bisa mengetahui secara pasti bahwa penentuan masuknya bulan dalam Islam hanyalah dengan dua cara:
1. Rukyat hilal, yaitu penampakan hilal setelah matahari terbenam pada tanggal 29.
2. Ikmâl ‘penyempurnaan’, yaitu menyempurnakan bulan menjadi tiga puluh hari di kala hilal tidak terlihat pada tanggal 29 setelah matahari terbenam.
Ibnu Hubairah rahimahullâh berkata, “(Para ulama) bersepakat bahwa puasa Ramadhan menjadi wajib dengan rukyat hilal atau meng-ikmâl Sya’ban menjadi tiga puluh hari ketika tidak ada rukyat, sedang mathla’ (tempat terbit hilal) kosong dari penghalang untuk melihat.”[4]
Demikian pula dinukil kesepakatan oleh Ibnul Mundzir sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar[5].
Kedua, penentuan masuknya bulan dengan ilmu hisab atau ilmu falak adalah hal yang tidak dikenal dalam Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata, “Sesungguhnya kita mengetahui secara aksioma dalam agama Islam bahwa dalam rukyat hilal puasa, haji, iddah, îlâ`, dan selainnya berupa hukum-hukum yang berkaitan dengan hilal, beramal (padanya) dengan menggunakan berita ahli hisab -bahwa hilal dilihat atau belum- adalah tidak boleh. Nash-nash mustafîdhah (masyhur dan sangat banyak) dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut sangatlah banyak. Kaum muslimin telah bersepakat tentang (ketidakbolehan penggunaan berita ahli hisab) tersebut. Sama sekali tidaklah diketahui ada silang pendapat dalam hal tersebut –baik dahulu maupun belakangan-, kecuali sebagian orang-orang belakangan setelah abad ke-3 yang senang dengan ilmu fiqih. (Orang tersebut) menyangka bahwa ahli hisab boleh beramal dengan hisab untuk dirinya sendiri jika hisabnya menunjukkan rukyat. Bila tidak menunjukkan (rukyat), hal tersebut tidak diperbolehkan. Pendapat ini -walaupun terbatas pada keadaan mendung dan terkhusus bagi si ahli hisab itu sendiri- adalah pendapat yang syâdz ‘aneh, ganjil’, telah diselisihi oleh ijma’ (kesepakatan ulama) sebelumnya. Adapun mengikuti (ilmu hisab) tersebut dalam keadaan (cuaca) tidak berawan atau memakai (ilmu hisab) sebagai hukum umum pada segala keadaan, hal tersebut tidaklah diucapkan oleh seorang muslim pun.”[6]
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa kerusakan penggunaan ilmu hisab dalam penentuan masuknya Ramadhan bisa disimpulkan pada empat perkara:
1. Menyalahi ayat dan hadits-hadits yang menjelaskan bahwa masuknya bulan hanyalah dengan dua cara: rukyat hilal dan ikmâl.
2. Membuang jalan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam penentuan masuknya bulan dengan memakai ilmu hisab sebagai pengganti (jalan) tersebut.
3. Menentang jalan dan kesepakatan para shahabat radhiyallahu ‘anhum yang tidak pernah menggunakan ilmu hisab.
4. Menyelisihi kesepakatan ulama yang telah diterangkan oleh Ibnu Taimiyah[7], Ibnu ‘Abdil Barr[8], dan selainnya.
Hendaknya orang-orang yang mengumpulkan empat kerusakan di atas bersiap untuk menuai ancaman Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana dalam firman-Nya,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا.
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul, sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dia kuasai itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, sedang Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisâ`: 115]
Namun, kami perlu mengingatkan bahwa keterangan di atas tidak menunjukkan akan keharaman penggunaan ilmu hisab dalam hal yang diperbolehkan. Kami hanya menegaskan kesalahan orang-orang yang menggunakan ilmu hisab sebagai penentu final masuknya bulan, atau semata berdasar pada ilmu hisab dalam menentukan masuknya bulan.
Ketiga, penentuan masuknya bulan adalah wewenang pemerintah (Ulil Amri).
Imam Ibnu Jamâ’ah Asy-Syâfi’iy rahimahullâh menjelaskan beberapa wewenang pemerintah yang merupakan kewajibannya kepada rakyat. Di antaranya adalah, “Wewenang Ketiga: penegakan simbol-simbol Islam, seperti shalat-shalat wajib, shalat Jum’at, shalat berjamaah, adzan, iqamah, khutbah, dan keimaman. Juga mengawasi urusan puasa, berbuka, hilal, haji ke Baitullah, dan umrah. Juga memperhatikan hari-hari Id ….”[9]
Oleh karena itu, saat pemerintah Indonesia telah menetapkan bahwa 1 Dzulhijjah 1435 H jatuh pada Jumat, 26 September 2014 M, karena menyempurnakan hitungan bulan Dzulqa’dah menjadi 30 hari, putusan tersebut telah benar dan telah berdasarkan petunjuk Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam penentuan masuknya bulan Dzulhijjah di atas. Karena, pada 31 titik tempat pemantauan hilal, tim rukyat hilal tidak melihat hilal[10] sehingga secara otomatis bulan Dzulqa’dah digenapkan menjadi 30 hari.
Kewajiban kita, selama pemerintah tidak memerintah dalam hal yang mungkar, adalah taat kepada mereka dalam hal yang ma’ruf. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, serta taatlah kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian.” [An-Nisâ`: 59]
Dari ‘Ubâdah bin Ash-Shâmit radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا، وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا، وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا، وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحاً عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ.
“Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam memanggil kami, lalu kami membaiat beliau, dan di antara (janji) yang beliau ambil atas kami adalah, ‘Kami berbaiat untuk mendengar dan menaati (pemimpin) dalam keadaan semangat dan terpaksa, serta dalam keadaan mudah dan susah, meski terjadi pementingan hak pribadi terhadap kami, serta kami tidak boleh menggugat perkara itu dari pemiliknya, kecuali bila kalian melihat kekufuran yang sangat nyata, yang kalian memiliki argumen tentang (kekufuran) itu di sisi Allah.’.”[11]
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِسْمَعْ وَأَطِعْ فِيْ عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ، وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ، وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ، وَإِنْ أَكَلُوْا مَالَكَ، وَضَرَبُوْا ظَهْرَكَ إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ مَعْصِيَةً.
“Dengar dan taatlah pada waktu susah dan mudah serta dalam keadaan bersemangat dan terpaksa, meski terjadi pementingan hak pribadi terhadapmu, juga walaupun mereka memakan hartamu dan memukul punggungmu, kecuali jika hal tersebut merupakan suatu maksiat.”[12]
Hadits-hadits yang semakna dengan hadits di atas sangatlah banyak.
Keempat, terjadi silang pendapat di kalangan ulama bahwa, bila hilal telah terlihat pada suatu negeri, apakah rukyat hilal tersebut berlaku juga untuk penduduk negeri yang lain?
Terdapat silang pendapat di kalangan ulama baik terdahulu maupun belakangan- tentang hal tersebut. Walaupun pendapat yang menyatakan rukyat hilal tersebut berlaku untuk seluruh negeri itu lebih kuat, hal tersebut lebih berlaku tatkala seluruh kaum muslimin dipimpin oleh seorang pemimpin atau pada keadaan-keadaan tertentu.
Adapun keberadaan pemerintah kita yang telah menetapkan masuknya Ramadhan berdasarkan rukyat hilal dan telah diikuti oleh kebanyakan manusia, tidak ada alasan bagi rakyat untuk menyelisihi ketetapan tersebut. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa itu adalah hari kalian berpuasa. Berbuka itu adalah hari kalian berbuka. Adh-hâ itu adalah hari kalian ber-udh-hiyah.”[13]
Setelah meriwayatkan hadits di atas, Imam At-Tirmidzy berkata, “Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan perkataannya, ‘Sesungguhnya maknanya adalah bahwa berpuasa dan berbuka itu (dilaksanakan) bersama jamaah dan kebanyakan manusia.’.”
Kelima, berkaitan dengan pelaksanaan puasa pada hari ‘Arafah, hadits-hadits menjelaskan bahwa syariat puasa tersebut mengandung dua kemungkinan:
1. Puasa ‘Arafah adalah karena adanya wuquf di ‘Arafah.
2. Puasa ‘Arafah adalah karena tanggal 9 Dzulhijjah.
Berdasarkan pembahasan-pembahasan yang telah berlalu di atas, tentu kemungkinan kedua adalah lebih jelas karena penentuan hari wuquf di ‘Arafah adalah berdasarkan penentuan awal masuknya bulan Dzulhijjah. Dari adanya penetapan tanggal 1 Dzulhijjah, terlahirlah penentuan tanggal 9 Dzulhijjah yang merupakan hari ‘Arafah.
Ketika diajukan pertanyaan berikut,
Pertanyaan:
Apabila terjadi perbedaan pada hari ‘Arafah, hasil dari terjadinya perbedaan daerah-daerah dalam mathla’ hilal, apakah Kami berpuasa mengikuti rukyat negara yang Kami tempati atau Kami berpuasa mengikuti rukyat Haramain (Arab Saudi, pent.)?
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullâhmenjawab,
“(Hal) ini dibangun di atas silang pendapat ulama, apakah hilal itu satu (saja) di seluruh dunia atau (hilal) berbeda sesuai dengan perbedaan mathla’? Yang benar adalah bahwa hal tersebut berbeda sesuai dengan perbedaan mathla’-mathla’. Misalnya, di Makkah, hilal telah dilihat, sedang hari ini adalah hari ke-9 (Dzulhijjah), sedangkan di negara lain (hilal) terlihat sehari sebelumnya sehingga hari ‘Arafah pada mereka adalah hari ke-10 maka tidak boleh mereka berpuasa pada hari itu karena itu adalah hari ‘Id. Demikian pula, jika ditakdirkan bahwa rukyat terlambat di Makkah sehingga hari ke-9 di Makkah itu adalah hari ke-8 pada mereka, berarti mereka berpuasa ‘Arafah pada hari ke-9 mereka yang bertepatan dengan hari ke-10 di Makkah. Inilah pendapat yang rajih (kuat) karena Nabi shalallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَافْطِرُوا
“Apabila kalian melihat (hilal) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihat (hilal) maka berbukalah.”
Sedang, mereka yang (hilal) tidak terlihat di negeri mereka, tidaklah mereka (dianggap) melihat (hilal) sebagaimana manusia menurut kesepakatan menganggap bahwa terbitnya subuh dan terbenamnya matahari adalah sesuai dengan daerahnya masing-masing. Demikian pula penentuan waktu bulanan sama dengan penentuan waktu harian.”[14]
Juga, dalam sebuah pertanyaan yang diajukan oleh sebagian pegawai kedutaan Arab Saudi di suatu negara, Syaikh berfatwa setelah menyebut uraian pembahasan berkaitan dengan rukyat hilal. Beliau berkata,
“Akan tetapi, jika beberapa negara berada di bawah satu hukum, sedang pemerintahnya memerintah untuk berpuasa atau berbuka, (rakyat) wajib melaksanakan perintahnya. Karena, dalam masalah ini, terjadi silang pendapat, sedangkan hukum hakim/pemerintah mengangkat perselisihan.
Berdasarkan hal ini, Kalian berpuasa dan berbuka sebagaimana penduduk negeri tempat Kalian bernaung berpuasa dan berbuka, baik (ketentuan) tersebut mencocoki maupun menyelisihi (ketentuan yang ditetapkan di) negeri asal Kalian. Demikian pula hari ‘Arafah, ikutilah negeri tempat Kalian bernaung.”[15]
Dari penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh di atas, tersimpul bahwa puasa ‘Arafah adalah mengikuti penentuan tanggal 9 Dzulhijjah yang ditetapkan berdasarkan rukyat hilal di negeri itu. Tentu, di negeri Kita ini, 9 Dzulhijjah 1435 H jatuh pada Sabtu, 4 Oktober 2014 M, berdasarkan ikmal ‘penggenapan bulan’ sebagaimana yang telah dijelaskan.
Juga, tidaklah mengapa seseorang berpuasa pada Jum’at, 3 Oktober 2014, yang bertepatan dengan hari ‘Arafah di Arab Saudi guna mengumpulkan dua kebaikan. Telah sah dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan kesunnahan berpuasa pada 1 hingga 9 Dzulhijjah berdasarkan hadits sebagian istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkata,
أَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَكَانَ يَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَتِسْعًا مِنْ ذِى الْحِجَّةِ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ
“Sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyurâ, pada sembilan hari Dzulhijjah, dan pada tiga hari dalam sebulan: senin awal dari bulan (berjalan) dan dua kamis.” [16]
Selain itu, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah memberi ketentuan umum dalam beramal shalih pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhu bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ. فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِيْ سَبِيلِ اللهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ الْجِهَادُ فِيْ سَبِيلِ اللهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ
“Tiada suatu hari pun yang amalan shalih pada hari-hari itu lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari ini. (Para shahabat) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, tidak pula (dilebihi oleh) jihad di jalan Allah?’ Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘(Ya), tidak (pula) jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun dari hal tersebut.’.”[17]
Al-Lajnah Ad-Dâ`imah ditanya berupa pertanyaan berikut,
“Apakah di sini Kami boleh berpuasa dua hari untuk puasa hari ‘Arafah karena di sini Kami mendengar bahwa di radio (diumumkan) hari ‘Arafah adalah besok yang bertepatan dengan tanggal 8 dari bulan Dzulhijjah di (negeri) Kami?”
Al-Lajnah –dengan tanda tangan Syaikh Ibnu Bâz dan Syaikh Abdullah Ghudayyân- menjawab,
“Hari ‘Arafah adalah hari yang manusia melaksanakan wuquf di ‘Arafah. Puasa (‘Arafah) adalah disyariatkan bagi siapa saja yang tidak berada dalam kondisi berhaji. Jika Engkau ingin berpuasa pada hari (‘Arafah) ini dan Engkau berpuasa juga sehari sebelumnya, (hal tersebut) tidaklah mengapa. Bila Engkau berpuasa pada sembilan hari pertama dari awal Dzulhijjah, (itu) adalah hal yang baik berdasarkan sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
“Tiada suatu hari pun yang amalan shalih pada hari-hari itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari ini. (Para shahabat) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, tidak pula (dilebihi oleh) jihad di jalan Allah?’ Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘(Ya), tidak (pula) jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun dari hal tersebut.’.””[18]
Semoga makalah ini bisa memberi pencerahan dan manfaat bagi kaum muslimin dalam mendulang kebaikan pada Dzulhijjah ini serta mengukuhkan kaum muslimin di atas jalan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Wallahu A’lam.
[1] Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 1162, At-Tirmidzy no. 748, dan Ibnu Mâjah no. 1730.
[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anhumâ. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.
[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anhumâ.
[4] Al-Ifshâh 4/89 dengan perantara makalah Al-Hisâb Al-Falaky fî Dhuhûl Ramadhân wa Khuhûjihi Qaulun Syâdzun Muthrah karya Dr. Abdul Aziz Ar-Rayyis.
[5] Fath Al-Bâry 4/123.
[6] Majmû Al-Fatâwâ 25/132-133.
[7] Sebagaimana keterangan yang telah berlalu.
[8] At-Tamhîd 14/352.
[9] Tahrîr Al-Ahkâm Fî Tadbîr Ahl Al-Islâm hal. 66.
[10] KMA No 158 Tahun 2014 tentang Penetapan Tanggal 1 Zulhijjah 1435 H.
[11] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim.
[12] Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbân dari Ubâdah bin Ash-Shâmit radhiyallâhu ‘anhu.
[13] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu. Dikuatkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shahîhah no. 224 dan dalam Irwâ`ul Ghalîl 4/13.
[14] Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ`il 20/47-48.
[15]Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ`il 19/41.
[16] Diriwayatkan oleh Ahmad 5/271, 6/288, 423, Abu Dâwud no. 2437, An-Nasâ`iy 4/205, 220-221, serta Al-Baihaqy 4/284 dan dalam Syu’abul Îmân 3/355 dari jalan Hunaidah bin Khâlid, dari istri (Hunaidah), dari sebagian istri Nabi, dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Shahîh Sunan Abi Dâwud. Walaupun terdapat sebagian perselisihan dalam periwayatannya, insya Allah, jalan di atas adalah jalan yang terkuat dan bisa dishahihkan. Dalam riwayat Abu Dâwud, diriwayatkan dengan konteks (والخميس), maksudnya adalah tiga hari dalam sebulan, yaitu awal senin, kamis, dan satu hari yang lain. Demikian keterangan Al-Baihaqy setelah membawa riwayatnya seperti riwayat Abu Dâwud.
[17] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 969, Abu Dâwud no. 2438, At-Tirmidzy no. 756 (lafazh hadits adalah milik beliau), dan Ibnu Mâjah no. 1727.
[18]Fatawâ Al-Lajnah Ad-Dâ`imah 10/393.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar