Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Kamis, 05 Desember 2013

Tidak Malu Mencari Nafkah Yang Halal

 بسم الله الرحمن الرحيم
اَلْحَمْدُ ِللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىٰ آلِهِ وَ مَنْ وَالاَهُ، وَبَعْدُ:

Lapangan kerja memang sempit jika pandangan kita tentang definisi bekerja juga sempit. Asal kita mau menanggalkan sikap gengsi, melupakan “gelar” dan segala atribul sosial yang kita miliki, sesungguhnya rezeki Allah terbentang luas di depan kita.

Allah telah menciptakan manusia dan mempersiapkan bagi mereka berbagai hal yang menunjang keberlangsungan kehidupan di dunia ini. Allah memberinya perangkat yang cukup dan menundukkan apa yang ada di bumi ini untuknya. Allah berfirman:
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian” (QS. Al-Baqarah: 29)
Ayat tersebut menunjukkan betapa luasnya kasih sayang Allah terhadap manusia.
Di sisi lain, jalan untuk mendapatkan rezeki yang halal sangatlah banyak. Sesungguhnya ketika potensi yang ada di alam ini kita kelola dengan baik niscaya akan membuahkan beragam hasil. Oleh karena itu sangat bodoh kiranya orang yang mengatakan: “Mencari yang haram saja susah apalagi yang halal.” Kalimat ini tidak lain kecuali bisikan setan agar manusia terjerumus ke dalam kesesatan sejauh-jauhnya. Kenyataannya, pernyataan tadi telah banyak menyesatkan manusia. Mereka tidak peduli lagi dengan rambu-rambu syariat, tidak menghiraukan halal dan haram. Demi memperoleh yang namanya uang, terkadang seseorang rela menjual kehormatannya. Bahkan yang lebih parah, menjual prinsip dan agamanya.
Memang, dewasa ini tidak sedikit orang yang mengeluhkan susahnya mencari pekerjaan karena (katanya) populasi penduduk semakin membengkak dan lahan yang semakin sempit. Namun apapun alasannya, tidak dibenarkan seseorang mencari pekerjaan yang diharamkan oleh agama. Karena sesuatu yang halal lebih banyak daripada yang haram dan lebih mudah didapat serta lebih tenang di dalam jiwa. Yang pasti, Allah telah menakdirkan rezeki hamba-Nya dan memberikan kepada mereka kemampuan untuk berusaha. Sebenarnya banyak sekali macam pekerjaan yang halal manakala seorang mau menekuninya dan tidak terhinggapi penyakit gengsi. Keterbatasan lahan dan tempat usaha justru terkadang memunculkan ide-ide cemerlang.
Sebagai contoh, bermunculannya berbagai jenis tanaman dengan masa tanam yang lebih singkat dan hasil lebih maksimal. Pokok-pokok usaha yang mendatangkan hasil menurut Al-Imam Al-Mawardi ada tiga, yaitu bertani, berdagang, dan penguasaan seseorang terhadap suatu bidang (ketrampilan/skill). (Lihat Fathul Bari 4/304)
Pernyataan Al-Mawardi di atas tentunya bukan pembatasan. Hanya saja, tiga jenis usaha tadi yang paling banyak dijalankan oleh manusia. Para ulama berbeda pendapat tentang jenis usaha yang paling bagus. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa berdagang lebih bagus dan ada lagi yang mengatakan bertani lebih bagus. Tetapi pendapat yang kuat bahwa yang paling utama adalah sesuatu yang didapat dengan keringatnya sendiri, berdasarkan hadits:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah seorang memakan makanan yang lebih baik dari ia memakan hasil tangannya.” (HR. Al-Bukhari) 
  • Keutamaan Mencari Nafkah
Bekerja mencari nafkah untuk mencukupi dirinya, keluarganya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya merupakan kewajiban. Bahkan akan bernilai shadaqah (mendatangkan pahala) manakala meniatkannya sebagai ibadah. Nabi bersabda:
إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً
“Apabila seorang muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dan dia mengharapkan pahala darinya, maka baginya bernilai shadaqah.” (HR. Al-Bukhari, Kitabun Nafaqat no. 5351)
Disebutkan pula dalam riwayat bahwa tidaklah seseorang memberikan suatu nafkah yang dengannya ia mencari wajah Allah , kecuali ia akan diberi pahala atasnya sampaipun satu suapan yang ia berikan kepada istrinya. (Lihat Shahih Al-Bukhari no. 56)
Oleh karena itu, seyogianya ketika seseorang mencari nafkah untuk keluarganya, dia niatkan sebagai ibadah dan mengharapkan pahala. Apabila tidak ada niatan seperti ini maka ia tidak diberi pahala, namun dia telah menggugurkan kewajibannya, sebagaimana yang disebutkan oleh sebagian ulama. (Lihat Syarh Shahih Al-Adab Al-Mufrad, 1/223)
Saudaraku yang dimuliakan Allah , sebaik-baik makanan yang dimakan oleh seseorang adalah yang didapat dengan jerih payahnya sendiri, sebagaimana sabda Nabi :
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari ia memakan dari hasil tangan (keringat)nya sendiri. Sesungguhnya Nabiyullah Dawud makan dari hasil tangannya sendiri.” (HR. Al-Bukhari)
Nabi Dawud adalah seorang nabi yang mulia. Allah telah memberikan kekuasaan dan ilmu, melunakkan besi untuknya, menundukkan untuknya gunung-gunung dan burung-burung untuk ikut bertasbih kepada Allah bersamanya. Sudah seperti itu mulianya kedudukan, tetap beliau bekerja untuk mencukupi dirinya.
Pernah suatu saat sahabat ‘Ali bin Abi Thalib berada dalam kondisi sangat lapar, sementara tidak ada makanan untuk mengganjal perutnya. Ia pun keluar mencari pekerjaan di daerah atas kota Madinah (‘Awaali). Di sebuah kebun di sana, dia melihat ada seseorang yang sedang mengumpulkan tanah. ‘Ali datang dan menawarkan jasa dengan mengatakan: “Apakah kamu mau aku basahi tanah ini, setiap satu timba kamu memberiku satu kurma?” Orang tersebut menyetujuinya. Maka Ali mulai menimba hingga ketika telah selesai beliau mendapat sekian butir kurma. Ali pulang dengan membawa kurma tersebut menghadap Nabi dengan senang hati meski telapak tangannya lecet. Lalu Nabi ikut makan bersama ‘Ali dari kurma tadi. (Nailul Authar, Abwabul Ijaarat 5/351, di dalamnya disebutkan faedah kisah ini)
Sahabat ‘Ali merupakan profil teladan. Betapa tidak? Beliau seorang pemuda yang berasal dari keturunan orang-orang yang mulia (ahlul bait), menantu Rasulullah dan seorang jawara yang tak terkalahkan, serta setumpuk kemuliaan lain ada padanya. Namun ini semua tidak menjadikannya malu untuk berusaha dengan keringatnya. Tidak pula menjadikannya meminta-minta. Bahkan Nabi Muhammad , Nabi Musa dan nabi-nabi lainnya ‘alaihimas salam, mereka dahulu menggembala kambing.
Oleh sebab itu, angka pengangguran yang masih tinggi dewasa ini merupakan fenomena yang sangat menyedihkan. Tragisnya, angka tersebut didominasi oleh para kawula muda. Sungguh, munculnya generasi yang inginnya serba tercukupi kebutuhannya tanpa diimbangi dengan usaha, justru akan memunculkan kejahatan dan krisis sosial. Jika seseorang mau berusaha dengan disertai tawakal kepada Allah , niscaya Allah akan memberinya hasil, sebagaimana sabda Nabi :
لَوْ اَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Kalaulah kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Ia akan memberi rezeki kalian, sebagaimana Ia memberi rezeki burung, yang pergi di pagi hari dalam keadaan perut kosong dan pulang di sore hari dengan kenyang.” (HR. Ahmad dan lain-lain, hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5254)
Saudaraku yang mulia, bekerjalah! Karena langit tidak akan menurunkan hujan emas. Berusahalah, apapun status sosialmu. Tidakkah kamu perhatikan hadits tadi, sebagaimana burung yang lemah dan tidak memiliki pangkat, namun tatkala ia keluar dari sarangnya untuk mencari rezeki maka ia pun mendapatkannya. Sementara seekor singa yang dijuluki raja hutan, bila tidak mau keluar dari sarangnya maka dia tidak mendapatkan apa-apa. Sesungguhnya rezeki tidaklah diperoleh karena kuat atau tingginya kedudukan seseorang, namun usaha yang serius disertai tawakal (berserah diri) kepada Allah .
Adalah Lukman Al-Hakim mengatakan kepada anaknya: “Wahai anakku, bantulah dirimu dengan usaha yang halal. Karena seseorang tidaklah menjadi fakir kecuali ditimpa oleh tiga perkara: kelembekan dalam sisi agamanya, kelemahan dalam akalnya, dan hilang sifat malunya (tidak menjaga diri). Yang lebih parah dari ini semua adalah diremehkannya ia oleh manusia.”
Pernah dikatakan kepada Al-Imam Ahmad : “Apa pendapatmu tentang seseorang yang hanya duduk di rumahnya atau di masjidnya dengan mengatakan: ‘Aku tidak mau bekerja. Nanti akan datang sendiri rezekiku’.” Al-Imam Ahmad mengatakan: “Orang ini tidak tahu ilmu. Tidakkah ia mendengar sabda Nabi (yang artinya): ‘Sesungguhnya Allah jadikan rezekiku di bawah naungan tombakku -yakni dengan jihad-’, dan Nabi mengatakan tatkala menyebutkan burung, ‘Ia pergi di waktu pagi dengan perut kosong dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.’ Adalah para sahabat Nabi berdagang di daratan dan lautan serta mereka bekerja di kebun kurma. Merekalah yang -harus- dicontoh.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 108)
  • Mencari Harta untuk Menjaga Agama
Bekerja mencari uang hendaknya bukan karena zat harta tersebut, namun karena tujuan-tujuan yang mulia. Di antaranya, untuk menjaga agama dan kehormatan. Sesungguhnya kefakiran adalah lahan subur bagi para misionaris untuk memurtadkan umat. Di saat seseorang tidak punya iman yang cukup, bukan mustahil kita dapatkan dia di pagi hari masih muslim, namun di sore harinya dia telah murtad karena ia menjual agamanya demi memperoleh harta. Tidak salah kiranya Sufyan Ats-Tsauri berpesan dengan petuah-petuah berikut:
- Adalah harta pada generasi yang telah lewat tidak disukai. Adapun saat ini, harta adalah perisai seorang mukmin.
- Kalau bukan karena dinar-dinar (uang dari emas) ini, niscaya para raja (penguasa) akan menjadikan kita (para ulama) sebagai sapu tangan mereka.
- Barangsiapa di tangannya ada sesuatu dari harta maka perbaikilah (jagalah dan kembangkan). Karena ini adalah sebuah zaman di mana bila seorang butuh/kondisinya susah maka yang pertama kali dikorbankan adalah agamanya. (Syarh Shahih Al-Adab Al-Mufrad, 1/399-400)
Wasiat Ats-Tsauri menggambarkan betapa harta yang dimiliki seorang muslim bagaikan perisai yang membentengi diri dan agamanya agar tidak dijual karena harta. Kalau petuah ini disampaikan di masa kejayaan Islam dan Muslimin, lalu apa yang akan dikatakan di zaman ini yang manusianya kebanyakan tidak lagi memedulikan agamanya?!
Sesungguhnya ada pelajaran berharga dari kisah seorang wanita di zaman dahulu. Wanita itu terimpit ekonominya. Dia lalu mencari orang kaya untuk berutang darinya. Si kaya mau mengutangkan asal dia mau melayani nafsu bejatnya (berzina). Wanita tadi menolak dan akhirnya tidak mau meminjam. Kemudian hari berganti hari sampai kondisinya sangat kritis hingga ia datang lagi kepada si kaya tadi untuk pinjam uang. Si kaya mengatakan sama seperti dahulu, yakni asalkan dia mau berzina dengannya, ia akan memberikan pinjaman. Akhirnya wanita tadi dengan terpaksa mau menuruti nafsu jahatnya… (Lihat kisah ini dalam kitab Riyadhush Shalihin Bab Ikhlas)
Oleh karena itu, tidak sedikit dari salaf umat ini yang mereka bekerja untuk mencukupi dirinya beserta keluarganya. Demikian juga untuk menjaga kehormatan saudara-saudaranya dari kalangan ulama dan para penuntut ilmu. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Al-Imam Abdullah bin Mubarak . Ia banyak bershadaqah kepada orang-orang shalih agar mereka tidak menghinakan dirinya dengan meminta-minta atau mendapatkan pemberian dari orang yang jelek niatnya.
Akhirnya semoga Allah menjadikan kita orang yang menunaikan pesan Nabi :
اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَلاَ تَعْجَزْ
“Bersemangatlah kamu terhadap yang bermanfaat bagimu dan jangan melemah.”
Semoga pula Allah menjauhkan kita dari apa yang Nabi berlindung kepada Allah darinya seperti dalam doa beliau:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالكَسَلِ
“Wahai Allah aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan.” (HR. Muslim) Wallahu a’lam bish-shawab

*********** Permata Salaf ***********

Urgensi Harta Dan Kesehatan Dalam Membentengi Agama

Sufyan ats-Tsauri berkata, “Harta pada zaman dahulu adalah sesuatu yang dibenci. Adapun pada hari ini, harta adalah perisai seorang mukmin. Kalau saja bukan karena dinar-dinar ini, niscaya para penguasa menjadikan kita sebagai sapu tangan-sapu tangan mereka.”
Beliau juga berkata, “Siapa saja yang memiliki harta benda, hendaklah ia mengembangkannya dengan baik karena ini adalah suatu masa yang apabila seseorang didera oleh kebutuhan, sesuatu yang pertama kali dia korbankan adalah agamanya.”
Al-Munawi berkata, “Sesungguhnya, badan yang sehat merupakan pendukung aktivitas peribadatan. Oleh karena itu, kesehatan adalah harta berlimpah yang tiada taranya. Adapun si sakit adalah orang yang lemah. Sementara itu, umur yang diberikan akan menguatkan. Kesehatan bersama kefakiran lebih baik daripada kekayaan bersama kelemahan. Orang yang lemah itu ibarat mayat.”
Beliau juga mengatakan, “Kekayaan tanpa ketakwaan adalah kebinasaan karena seseorang akan mengumpulkannya bukan dari jalan yang benar dan akan menahan atau memberikannya bukan pada sasaran yang benar.” (Syarah Shahih al-Adabil Mufrad lil Imam al-Bukhari, 1/394–395)
Sumber:
- Majalah Asy Syariah no. 46/IV/1429 H/2008, hal. 40-43. Penulis: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc
- Artikel “Urgensi Harta Dan Kesehatan Dalam Membentengi Agama” dari situs www.asysyariah.com Kategori Majalah AsySyariah Edisi 076

Tidak ada komentar:

Posting Komentar