Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Senin, 02 April 2012

Sebarkan Salam

Abdullah bin ‘Amr ibnil ‘Ash radhiyallahu

‘anhuma, salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberitakan, “Ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Perangai Islam yang manakah yang paling
baik?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَعَلَى مَنْ لَمْ تَعْرِفْ

“Engkau memberi makan (kepada orang yang membutuhkan, pent.) serta
mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan tidak engkau
kenal.” (HR. Al-Bukhari no. 6236 dan Muslim no. 159)

Pada kesempatan lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا، وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ

“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak
dikatakan beriman hingga kalian bisa saling mencintai. Maukah kalian
aku tunjukkan terhadap satu amalan yang bila kalian mengerjakannya
kalian akan saling mencintai? Yaitu sebarkanlah salam di antara
kalian.” (HR. Muslim no. 192)

Dalam dua hadits di atas terdapat hasungan yang besar untuk menyebarkan
salam kepada kaum muslimin seluruhnya, yang dikenal ataupun yang tidak.
Dan salam merupakan syiar kaum muslimin yang membedakan mereka dengan
non muslim. Salam merupakan sebab awal tumbuhnya kedekatan hati dan
kunci yang mengundang rasa cinta. Dengan menyebarkannya berarti
menumbuhkan kedekatan hati di antara kaum muslimin, selain untuk
menampakkan syiar mereka yang berbeda dengan orang-orang selain mereka.
(Al-Minhaj 2/224, 225, Syarhu Riyadhish Shalihin, Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullahu, 3/6)

Bila salam terucap dari seorang lelaki kepada lelaki lain atau antara
sesama wanita, atau lelaki kepada wanita yang merupakan mahramnya dan
sebaliknya wanita mengucapkan salam kepada lelaki dari kalangan
mahramnya, tidaklah menjadi permasalahan. Bahkan mereka dihasung untuk
mengamalkan dua hadits di atas. Yang menjadi tanya adalah: bolehkah
laki-laki mengucapkan salam kepada wanita ajnabiyyah (bukan mahramnya)
dan sebaliknya?

Untuk menjawabnya, kita baca hadits-hadits yang akan disebutkan berikut ini:

Abdullah bin Maslamah menyebutkan riwayat dari Ibnu Abi Hazim, dari
bapaknya, dari Sahl radhiyallahu ‘anhu. Sahl radhiyallahu ‘anhu berkata:

كُنَّا نَفْرَحُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ. قُلْتُ لِسَهْلٍ: وَلِمَ؟ قَالَ:
كَانَتْ لَنَا عَجُوْزٌ تُرْسِلُ إِلَى بُضَاعَةَ -نَخْلِ
بِالْمَدِيْنَةِ– فَتَأْخُذُ مِنْ أُصُوْلِ السِّلْقِ فَتَطْرُحُهُ فِي
قِدْرٍ وَتُكَرْكِرُ حَبَّاتٍ مِنْ شَعِيْرٍ، فَإِذَا صَلَّيْنَا
الْجُمُعَةَ انْصَرَفْنَا وَنُسَلِّمُ عَلَيْهَا، فَتُقَدِّمُهُ
إِلَيْنَا، فَنَفْرَحُ مِنْ أَجْلِهِ، وَمَا كُنَّا نَقِيْلُ وَلاَ
نَتَغَدَّى إِلاَّ بَعْدَ الْجُمُعَةِ

“Kami merasa senang pada hari Jum’at.” Aku (Abu Hazim) bertanya kepada
Sahl, “Kenapa?” Sahl menjawab, “Kami punya (kenalan) seorang wanita
tua, ia mengirim orang ke Budha’ah –sebuah kebun yang ada di Madinah–
lalu ia mengambil pokok pohon silq (semacam sayuran, pent.) dan
dimasukkannya ke dalam bejana (yang berisi air, pent.), dimasak sampai
matang. Kemudian ia mengadon biji-bijian dari gandum. Bila kami selesai
dari shalat Jum’at, kami pergi ke tempat wanita tersebut dan
mengucapkan salam kepadanya. Lalu ia menghidangkan masakan tersebut
kepada kami maka kami bergembira karenanya1. Tidaklah kami tidur siang
dan tidak pula makan siang kecuali setelah Jum’atan.” (HR. Al-Bukhari
no. 6248)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا عَائِشَةَ، هَذَا جِبْرِيْلُ يَقْرَأُ عَلَيْكِ السَّلاَمَ. قَالَتْ:
قُلْتُ: وَعَلَيْهِ السَّلاَمَ وَرَحْمَةُ اللهِ، تَرَى مَا لاَ نَرَى

“Wahai Aisyah! Ini Jibril, ia mengirim salam untukmu2.” Aisyah
menjawab, “Wa ‘alaihis salam wa rahmatullah.3 Engkau (wahai Rasulullah)
dapat melihat apa yang tidak kami lihat.” (HR. Al-Bukhari no. 6249 dan
Muslim no. 6251)

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu memberi judul dua hadits di atas
dengan bab Taslimur Rijal ‘alan Nisa` wan Nisa` ‘alar Rijal, artinya
“Laki-laki mengucapkan salam kepada wanita dan wanita mengucapkan salam
kepada laki-laki.”

Ummu Hani` Fakhitah bintu Abi Thalib radhiyallahu ‘anha, saudara
kandung ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, yang berarti misan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengabarkan: “Aku mendatangi
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Fathu Makkah dalam keadaan
beliau sedang mandi, sementara putri beliau, Fathimah radhiyallahu
‘anha menutupi beliau dengan kain4. Aku mengucapkan salam kepada
beliau5. Beliau pun bertanya:

مَنْ هذِهِ؟ فَقُلْتُ: أَنَا أُمُّ هَانِئٍ بِنْتُ أَبِي طَالِبٍ. فَقاَلَ: مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ

“Siapa yang datang ini?” “Saya Ummu Hani` bintu Abi Thalib,” jawabku.
“Marhaban Ummu Hani`,” sambut beliau. (HR. Al-Bukhari no. 357 dan
Muslim no. 1666)

Asma` bintu Yazid radhiyallahu ‘anha menyampaikan:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ فِي
الْمَسْجِدِ يَوْمًا وَعُصْبَةٌ مِنَ النِّسَاءِ قُعُوْدٌ، فَأَلْوَى
بِيَدِهِ بِالتَّسْلِيْمِ

“Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat di masjid
dan sekumpulan wanita tengah duduk. Beliau pun melambaikan tangan
sebagai pengucapan salam.”6 (HR. At-Tirmidzi no. 2697, dishahihkan
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi)

Abdullah ibnuz Zubair radhiyallahu ‘anhuma berkata mengomentari jual
beli atau pemberian yang diberikan oleh bibinya, Aisyah bintu Abi Bakr
radhiyallahu ‘anhuma7:

“Demi Allah! Aisyah harus berhenti dari apa yang dilakukannya8 atau aku
sungguh akan memboikotnya.” Ketika disampaikan ucapan Ibnuz Zubair ini
kepada Aisyah, ia berkata, “Apa benar Ibnuz Zubair (Abdullah) berkata
demikian?”

“Ya,” jawab mereka.

“Kalau begitu, demi Allah! Aku bernadzar tidak akan mengajak bicara Ibnuz Zubair selama-lamanya,” kata Aisyah dengan kesal.

Ketika sudah berlangsung lama hajrnya (diamnya) Aisyah kepadanya, Ibnuz
Zubair meminta bantuan kepada orang lain untuk menjadi perantara yang
mengishlah antara dia dan bibinya. Namun Aisyah menolaknya, “Tidak demi
Allah! Aku tidak akan menerima seorang pun yang menjadi perantaranya
agar aku kembali mengajaknya bicara dan aku tidak akan melanggar
nadzarku.”

Tatkala panjang lagi keadaan seperti itu bagi Ibnuz Zubair, ia pun
mengajak bicara Al-Miswar bin Makhramah dan Abdurrahman ibnul Aswad bin
Abdi Yaghuts, keduanya dari Bani Zuhrah.9 Ibnuz Zubair berkata kepada
keduanya, “Aku meminta kepada kalian berdua dengan nama Allah agar
kalian berdua memasukkan aku ke tempat Aisyah (hingga dapat bertemu
muka dengannya) karena tidak halal baginya bernadzar memutuskan
hubungan denganku.”

Al-Miswar dan Abdurrahman pun datang ke rumah Aisyah dalam keadaan
mereka menyelubungi tubuh mereka dengan rida`, bersama mereka berdua
ada Ibnuz Zubair. Mereka minta izin masuk ke rumah Aisyah. Keduanya
mengucapkan salam kepada Aisyah, “Assalamu ‘alaiki wa rahmatullahi wa
barakatuh, bolehkah kami masuk?” tanya mereka.

(Setelah menjawab salam mereka) Aisyah berkata mempersilakan mereka (dari balik hijab), “Masuklah kalian.”

“Kami semuanya?” tanya mereka.

“Iya, kalian semua silakan masuk,” sahut Aisyah. Dan Aisyah tidak tahu
kalau di antara keduanya ada Ibnuz Zubair. Ketika mereka sudah masuk ke
kediaman Aisyah, Ibnuz Zubair masuk ke balik hijab untuk bertemu muka
dengan bibinya (sementara Al-Miswar dan Abdurrahman tetap di balik
hijab karena mereka bukanlah mahram Aisyah). Lalu ia merangkul Aisyah
dan mulai meminta dengan bersumpah agar Aisyah mau berbicara lagi
dengannya dan ia menangis. Al-Miswar dan Abdurrahman juga mulai angkat
suara meminta dengan bersumpah agar Aisyah mau mengajak bicara
keponakannya dan menerima maafnya.

Keduanya berkata, “Sebagaimana yang telah Anda ketahui bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hajr seperti yang anda lakukan
ini, karena beliau bersabda, ‘Tidak halal bagi seorang muslim menghajr
saudaranya lebih dari tiga malam’.”

Tatkala mereka terus-menerus mengingatkan Aisyah akan keutamaan
menyambung silaturahim, memaafkan, dan menahan marah serta dosanya bila
memutuskan silaturahim, mulailah Aisyah berbicara kepada keduanya dalam
keadaan menangis. Aisyah berkata, “Aku telah bernadzar. Dan nadzar itu
perkaranya berat.”

Namun terus menerus keduanya memohon kepada Aisyah hingga akhirnya
Aisyah mau berbicara dengan Ibnuz Zubair. Dan untuk menebus nadzarnya,
ia membebaskan 40 orang budak. Bila ia mengingat nadzarnya setelah itu,
ia menangis hingga air matanya membasahi kerudungnya.” (HR. Al-Bukhari
no. 6073, 6074, 6075)

Berikut ini penjelasan para ulama tentang permasalahan yang menjadi pembicaraan kita:

1. Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu, “Mengucapkan salam kepada para
wanita dibolehkan, terkecuali bila wanita itu masih muda karena
dikhawatirkan fitnah bila berbicara dengan mereka dengan adanya bujuk
rayu setan atau pandangan mata yang khianat (lirikan mata yang
diharamkan). Adapun bila wanita itu sudah lanjut usia maka bagus
mengucapkan salam pada mereka karena aman dari fitnah. Ini merupakan
pendapat ‘Atha` dan Qatadah, dan dipegangi oleh Al-Imam Malik serta
sekelompok ulama rahimahumullah.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/195)

2. Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Seorang lelaki ajnabi
boleh mengucapkan salam kepada wanita ajnabiyyah bila jumlah wanita
tersebut lebih dari satu (sekelompok wanita). Namun bila wanita
tersebut hanya seorang diri maka yang boleh mengucapkan salam kepadanya
adalah sesama wanita, suaminya, tuannya (bila si wanita berstatus
budak) dan mahramnya, baik si wanita itu cantik atau tidak cantik.

Adapun lelaki ajnabi diberikan perincian.

- Bila si wanita itu sudah tua tidak mendatangkan selera lelaki
terhadapnya, maka disenangi bagi lelaki ajnabi untuk mengucapkan salam
kepadanya. Demikian pula sebaliknya si wanita disenangi untuk
mengucapkan salam kepada lelaki tersebut. Siapa di antara keduanya yang
mengucapkan salam terlebih dahulu maka yang satunya wajib menjawabnya.

- Apabila wanita itu masih muda atau sudah tua namun masih mengundang
hasrat, maka tidak boleh lelaki ajnabi mengucapkan salam kepadanya, dan
sebaliknya si wanita pun demikian. Siapa di antara keduanya mengucapkan
salam kepada yang lain (baik si lelaki ataukah si wanita) maka ia tidak
berhak mendapatkan jawaban dan dibenci membalas salam tersebut. Yang
demikian ini merupakan mazhab kami dan mazhab jumhur. Rabi’ah berkata,
‘Laki-laki tidak boleh mengucapkan salam kepada wanita (ajnabiyyah) dan
sebaliknya wanita tidak boleh mengucapkan salam kepada laki-laki
(ajnabi).’ Namun ini pendapat yang keliru. Orang-orang Kufah berkata,
‘Tidak boleh laki-laki mengucapkan salam kepada wanita bila tidak ada
mahram si wanita di situ.’ Wallahu a’lam.” (Al-Minhaj, 14/374)

3. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu berkata, “Laki-laki
boleh mengucapkan salam kepada wanita atau sebaliknya10 apabila aman
dari fitnah.” Al-Halimi berkata, “Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam aman dari fitnah karena beliau ma’shum (terjaga dari berbuat
dosa). Maka siapa yang meyakini dirinya dapat selamat dari fitnah,
silakan ia mengucapkan salam (kepada lawan jenisnya, pent.). Bila
tidak, maka diam lebih selamat.” Ibnu Baththal berkata dari
Al-Muhallab, “Salam laki-laki terhadap wanita dan sebaliknya,
dibolehkan apabila aman dari fitnah. Pengikut mazhab Maliki membedakan
antara wanita yang masih muda dengan yang sudah tua dalam rangka
menutup jalan menuju kerusakan11. Adapun Rabi’ah melarang secara
mutlak. Orang-orang Kufah berkata, ‘Tidak disyariatkan kepada wanita
untuk memulai mengucapkan salam kepada laki-laki karena mereka dilarang
mengumandangkan adzan, iqamah, dan mengeraskan bacaan di dalam shalat.
Dikecualikan dalam hal ini bila laki-laki tersebut adalah mahram si
wanita, karena boleh baginya mengucapkan salam kepada mahramnya.”

Al-Hafizh rahimahullahu berkata lagi menukilkan ucapan Al-Mutawalli,
“Bila seorang lelaki mengucapkan salam kepada istrinya atau wanita dari
kalangan mahramnya atau budak perempuannya maka hukumnya sama dengan
seorang lelaki mengucapkan salam kepada lelaki lain. Namun bila si
wanita adalah ajnabiyyah (non mahram) maka perlu ditinjau dahulu. Kalau
si wanita berparas cantik, dikhawatirkan laki-laki akan tergoda
dengannya sehingga tidak disyariatkan memulai mengucapkan salam
kepadanya ataupun menjawab salamnya. Bila salah seorang dari mereka (si
laki-laki atau si wanita) mengucapkan salam terlebih dahulu kepada yang
lain maka makruh menjawabnya. Namun kalau si wanita sudah tua di mana
laki-laki tidak akan terfitnah dengannya maka boleh mengucapkan salam
kepadanya.”

Apabila berkumpul dalam satu majelis sejumlah laki-laki dan sejumlah
wanita, boleh bagi kedua belah pihak mengucapkan salam bila memang aman
dari fitnah. (Fathul Bari, 11/41, 42-43)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu memberikan
keterangan, “Mengucapkan salam kepada wanita yang merupakan mahram
adalah perkara sunnah. Sama saja baik itu istri, saudara perempuan,
bibi, ataupun keponakan perempuan. Adapun wanita ajnabiyyah, tidak
boleh mengucapkan salam kepadanya kecuali bila wanita tersebut sudah
tua dan aman dari fitnah. Bila tidak aman maka tidak boleh mengucapkan
salam kepadanya. Namun bila seseorang mendatangi rumahnya dan
mendapatkan di rumahnya ada wanita yang dikenali lalu ia mengucapkan
salam maka tidak apa-apa asalkan aman dari fitnah. Demikian pula,
wanita boleh mengucapkan salam kepada laki-laki ajnabi dengan syarat
aman dari fitnah.” (Syarh Riyadhis Shalihin, 3/29)

Ketika ditanyakan kepada Asy-Syaikh Abdullah bin Humaid rahimahullahu
tentang hukum mengucapkan salam kepada wanita ajnabiyyah, beliau
rahimahullahu menyatakan tidak apa-apa mengucapkannya dari kejauhan,
tanpa berjabat tangan. Dan si wanita menjawabnya, karena suara wanita
bukanlah aurat. Kecuali bila si lelaki menikmati suaranya (senang
mendengar suara tersebut, merasa lezat karenanya dan menikmatinya),
maka dalam keadaan seperti ini hukumnya haram. Karena si lelaki berarti
terfitnah dengan wanita ajnabiyyah tersebut.” (Dari siaran radio acara
Nurun ‘alad Darb, sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar`ah
Al-Muslimah, 2/965, 966)



Faedah:

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu berkata,
“Bila ada seseorang menukilkan salam dari orang lain untukmu, maka
engkau menjawabnya dengan ucapan, ‘Alaihis salam.’ Namun apakah wajib
bagimu menyampaikan pesan bila ada yang berkata, ‘Sampaikan salamku
kepada si Fulan,’ ataukah tidak wajib?

Ulama memberikan perincian terhadap permasalahan ini.

Jika engkau diharuskan menyampaikannya maka wajib engkau sampaikan salam tersebut, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya.” (An-Nisa`: 58)

Berarti engkau sekarang memikul kewajiban tersebut.

Adapun bila orang itu berpesan kepadamu, ‘Sampaikan salamku kepada si
Fulan,’ lalu ia diam tanpa ada ucapannya yang mengharuskanmu
menyampaikan salamnya tersebut, atau ketika dipesani demikian engkau
berkata, ‘Iya, kalau aku ingat,’ atau ucapan yang semisal ini, maka
tidak wajib bagimu menyampaikannya terkecuali bila engkau ingat.

Namun yang paling bagus, janganlah seseorang membebani orang lain
dengan titipan salam ini, karena terkadang menyusahkan orang yang
diamanahi. Hendaknya ia berkata, ‘Sampaikan salamku kepada orang yang
menanyakanku.’ Ini ungkapan yang bagus. Adapun bila seseorang
dibebankan maka tidaklah bermanfaat, karena terkadang ia malu darimu
hingga mengatakan, ‘Iya, aku akan menyampaikannya,’ kemudian dia lupa
atau berlalu waktu yang panjang atau semisalnya (hingga salam itu tidak
tersampaikan).” (Syarh Riyadhish Shalihin, Ibnu ‘Utsaimin t, 3/19)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.



1 Para shahabat bergembira dengan hidangan tersebut karena dulunya
mereka bukanlah orang-orang yang berpunya, kecuali setelah Allah
Subhanahu wa Ta’ala bukakan rizki untuk mereka dengan
kemenangan-kemenangan dalam peperangan yang dengannya mereka beroleh
ghanimah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَغَانِمَ كَثِيرَةً يَأْخُذُونَهَا

“Dan ghanimah-ghanimah yang banyak yang mereka ambil.” (Al-Fath: 19)

Dengan kemenangan-kemenangan tersebut banyaklah harta, setelah
sebelumnya mayoritas shahabat adalah dari kalangan fuqara. (Syarah
Riyadhis Shalihin, 3/29-30)

2 Malaikat tentunya tidak dikatakan berjenis laki-laki sebagaimana
mereka tidak dikatakan berjenis perempuan. Karena mereka adalah makhluk
yang berbeda dengan manusia, walaupun Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyebutkan mereka dengan lafaz tadzkir (jenis laki-laki). Lalu kenapa
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu memasukkan hadits ini sebagai dalil
tentang laki-laki mengucapkan salam kepada wanita? Jawabannya: Jibril
‘alaihissalam mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
bentuk seorang laki-laki.” (Fathul Bari, 11/42)

3 Hadits ini menunjukkan bolehnya laki-laki ajnabi mengirim salam untuk
wanita ajnabiyyah yang shalihah, apabila tidak dikhawatirkan
menimbulkan mafsadah (fitnah). (Al-Minhaj, 15/207)

4 Hal ini menunjukkan bolehnya seorang laki-laki mandi sementara di
situ ada wanita dari kalangan mahramnya, asalkan auratnya tertutup dari
si wanita. Juga menunjukkan bolehnya anak perempuan menutupi ayahnya
ketika si ayah sedang mandi, baik menutupinya dengan kain atau
selainnya. (Al-Minhaj, 5/239)

5 Ini menjadi dalil bahwa suara wanita bukanlah aurat dan bolehnya
wanita mengucapkan salam kepada laki-laki yang bukan mahramnya
sementara mahram si lelaki ada di tempat tersebut. (Al-Minhaj, 5/238)

6 Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata setelah menyebutkan hadits
ini, “Lafadz ini dibawa kepada pemahaman bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengumpulkan lafadz salam dengan lisan dan isyarat
dengan tangan (mengucapkan salam disertai melambaikan tangan sebagai
isyarat, pent.). Dan yang memperkuat pengertian ini adalah riwayat Abu
Dawud, di sana disebutkan:

فَسَلَّمَ عَلَيْنَا

lalu beliau mengucapkan salam kepada kami.” (Riyadhus Shalihin, hal. 275)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menambahkan, “Karena salam
dengan tangan saja (sekedar memberi isyarat dengan tangan, tanpa
diucapkan lafadznya dengan lisan, pent.) adalah perbuatan yang
terlarang, dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun
menggabungkan keduanya tidak apa-apa, khususnya lagi bila yang disalami
berada pada posisi yang jauh. Ia butuh melihat isyarat tangan hingga ia
tahu bahwa saudaranya telah mengucapkan salam kepadanya, atau yang
disalami adalah seorang yang tuli, tidak bisa mendengar, dan
semisalnya. Dalam keadaan seperti ini, orang yang mengucapkan salam
boleh menggabungkan ucapan salam dengan lisan dan isyarat dengan
tangan.”

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu juga menyatakan, “Tidaklah
diragukan bahwa perkara-perkara yang dijadikan sebagai pengganti salam
merupakan penyelisihan terhadap As-Sunnah. Karena yang diajarkan
As-Sunnah adalah seseorang mengucapkan salam dengan lisannya. Namun
bila suaranya (ucapan salamnya, pent.) tidak terdengar, ia boleh
menyertainya dengan isyarat tangan hingga menjadi perhatian orang yang
posisinya jauh atau orang yang tuli.” (Syarh Riyadhis Shalihin, 3/20-21)

7 Ibu Abdullah adalah Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma, saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.

8 Kebiasaan Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau tidak pernah menahan
sesuatu yang berupa rizki Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya melainkan
disedekahkannya. Sekali waktu beliau menjual barang miliknya lalu
harganya disedekahkan. Maka keponakannya ini mengkritik apa yang
dilakukannya.

9 Bani Zuhrah adalah dari kalangan suku Quraisy, dan merupakan akhwal
(paman dari pihak ibu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

10 Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits di atas.

11 Argumen mereka adalah hadits Sahl radhiyallahu ‘anhu yang sudah kami
bawakan di atas. Di antaranya Sahl berkata, “Kami punya (kenalan)
seorang wanita tua….”

Sementara laki-laki yang mengunjungi si wanita tua ini dan yang dijamunya bukanlah mahramnya.

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah 
http://asysyariah.com/print.php?id_online=606


Tidak ada komentar:

Posting Komentar