Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Selasa, 12 Februari 2013

Salah Menempatkan Sujud Sahwi


Sujud sahwi merupakan salah satu perkara yang harus dipahami oleh orang-orang yang melaksanakan sholat, khususnya imam dan orang-orang yang berada di belakangnya. Sujud sahwi dilakukan saat kita sahwi (lupa) terhadap sesuatu diantara kewajiban dan rukun sholat.

Tentang sujud sahwi ini, banyak orang yang keliru dalam menempatkannya. Sebagian orang ada yang melakukan sujud sahwi setelah sholat. Maksudnya, semua sujud sahwi-nya setelah keluar dan usai salam. Kelompok lain, ada yang melakukan sujud sahwi sebelum salam sehingga tak pernah ia lakukan sujud sahwi setelah salam. Ini tentu keliru, sebab sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menunjukkan bahwa sujud sahwi terkadang sebelum salam dan terkadang usai salam, tergantung dari kondisi lupa seorang imam. Karenanya, perlu anda mengetahui rincian berikut:
- Bila ia lupa dalam sholat tentang jumlah rakaat, namun ia bisa menguatkan salah satunya, maka sempurnakan rakaatnya bila kurang, lalu salam. Usai salam, lakukan sujud sahwi dan salam lagi.
- Begitu pula bila ia lupa, tapi setelah itu ia mampu mengingat dan menguatkan jumlah rakaatnya, namun rakaat sholatnya tak ada yang kurang, maka ia salam, lalu sujud sahwi dan salam lagi.
- Bila ia lupa jumlah rakaat, namun ia ragu tentang jumlahnya dan tak mampu menentukan dengan pasti jumlahnya, maka ia membangun sholatnya di atas bilangan rakaat terendah, misalnya: lupa antara tiga dan empat rakaat, maka ia memilih tiga rakaat, lalu menambah satu rakaat lagi, lalu sujud sahwi sebelum salam.
- Bila ia lupa terhadap satu diantara kewajiban sholat –misalnya, tasyahhud pertama-, maka ia sujud sahwi sebelum salam.
- Bila ia sholat dengan jumlah rakaat yang kurang atau lebih, maka ia sujud sahwi usai salam dari sholat, lalu salam lagi.
- Bila ia meninggalkan salah satu rukun sholat (misalnya, bacaan Surah Al-Fatihah, rukuk, sujud dan lainnya), sedang ia berada di rakaat berikutnya, maka ia anggap batal rakaat yang kehilangan rukunnya, dan hendaknya ia menambah satu rakaat lagi lalu sujud sahwi dan salam.
- Bila rukunnya yang terlupa baru teringat usai sholat, maka tambahlah satu rakaat dan salamlah, lalu sujud sahwi dan salam lagi.
Rincian permasalahan ini berserta dalil-dalilnya, anda bisa rujuk dalam Majmu’ Al-Fataawa (23/24) oleh Syaikul Islam, Al-Qoul Al-Mubin (hal. 144) oleh Masyhur Hasan Alu Salman dan Fiqh As-Sunnah li An-Nisaa’ (hal. 165-167) oleh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim.
Insya Allah, pembahasan sujud sahwi ini beserta dalil-dalilnya akan kami ulas lagi pada kesempatan lain. Karenanya, kami tak bawakan dalil-dalil, tapi makna dan kandungannya saja. Selain itu, karena terbatasnya jumlah halaman buletin mungil ini.
  •  Meninggalkan Sujud Sahwi Saat Lupa Melakukannya
Diantara kekeliruan jama’ah sholat yang biasa kita saksikan, mereka meninggalkan sujud sahwi bila mereka lupa melakukannya, apalagi jika mereka sudah bercakap-cakap, lalu diingatkan, maka imam enggan dan tak mau lagi sujud sahwi. Padahal wajib bagi mereka sujud sahwi!!
Al-Imam Asy-Syafi’iy dan Al-Imam Ahmad dalam salah satu penjelasannya menyatakan bahwa orang yang lupa tetap bersujud, walaupun ia sudah keluar dari masjid dan menjauh darinya.
Ulama Negeri Syam, Al-Imam Abul Abbas Taqiyyuddin Ahmad bin Abdil Halim Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata,
“Inilah pendapat yang terkuat. Karena pembatasan sujud sahwi dengan tempat atau waktu adalah perkara yang tak memiliki dasar dalam syariat. Terlebih lagi bila waktu tidak teringat. Jadi, panjang-pendeknya pemisah tidaklah memiliki batasan yang dikenal menurut kebiasaan manusia untuk dijadikan rujukan; tak ada dalil syar’i yang menunjukkan hal itu. [Lihat Majmu' Al-Fataawa (23/43), cet. Darul Wafaa']
Apa yang beliau nyatakan adalah pendapat yang benar, sebab Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah sholat zhuhur dua rakaat karena lupa, dan terjadi interval cukup lama antara beliau dan para sahabatnya. Dengarkan penuturan Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- saat beliau berkata,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ صَلَّى بِنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى خَشَبَةٍ فِي مُقَدَّمِ الْمَسْجِدِ وَوَضَعَ يَدَهُ (يَدَيْهِ) عَلَيْهَا وَفِي الْقَوْمِ يَوْمَئِذٍ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فَهَابَا أَنْ يُكَلِّمَاهُ وَخَرَجَ سَرَعَانُ النَّاسِ فَقَالُوا قَصُرَتِ الصَّلَاةُ وَفِي الْقَوْمِ رَجُلٌ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُوهُ ذَا الْيَدَيْنِ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللهِ أَنَسِيتَ أَمْ قَصُرَتْ فَقَالَ لَمْ أَنْسَ وَلَمْ تَقْصُرْ قَالُوا بَلْ نَسِيتَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ صَدَقَ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ فَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَكَبَّرَ ثُمَّ وَضَعَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَكَبَّرَ
“Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah sholat Zhuhur bersama kami sebanyak dua rakaat, lalu salam. Kemudian beliau bangkit menuju batang kayu di depan masjid seraya meletakkan tangannya pada kayu itu. Sementara di tengah kaum hari itu, ada Abu Bakar dan Umar. Tapi mereka berdua segan untuk membicarai beliau dan keluarlah (dari masjid) orang-orang bergegas dari kalangan manusia (yakni, orang-orang yang berhajat). Di tengah manusia terdapat seorang lelaki yang dinamai oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dengan “Dzul Yadain”. Lelaki itu berkata, “Wahai Nabiyyullah, apakah anda lupa ataukah memang sholat di-qoshor (dikurangi)”. Beliau menjawab, “Aku tak lupa dan sholat tak di-qoshor!!”. Mereka berkata, “Bahkan anda memang lupa, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda, “Dzul Yadain benar”. Beliau pun bangkit seraya sholat dua rakaat, lalu salam, lalu bertakbir seraya bersujud seperti sujud (sebelumnya)nya atau lebih panjang lagi. Kemudian beliau mengangkat kepalanya sambil bertakbir, lalu beliau melakukan seperti sujudnya tadi atau lebih panjang lagi. Kemudian beliau mengangkat kepalanya sambil bertakbir”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 6051)]
Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa beliau salam setelah usai sujud dua kali dalam sujud sahwinya. Hadits di atas menguatkan pendapat Abul Abbas Taqiyyudin Ahmad bin Abdil Halim Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- bahwa walaupun jarak dan interval antara sholat dan sujud sahwi adalah lama, maka tetap disyariatkan sujud sahwi. Wallahu A’lam bish showab.
  •  Mewajibkan Sujud Sahwi Tanpa Dalil
Sebagian orang ada yang mewajibkan sujud sahwi dalam beberapa kondisi yang tidak ditopang oleh dalil shohih dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Diantara mereka ada yang mewajibkan sujud sahwi di saat imam lupa membaca qunut rawatib, yaitu qunut yang rutin dilakukan oleh sebagian orang. Mereka memandang bahwa qunut shubuh tersebut hukumnya wajib sehingga sujud sahwi pun wajib dikerjakan saat meninggalkan qunut shubuh.
Ini jelas keliru!! Pertama, tak ada dalil yang shohih dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bahwa beliau selalu qunut setiap shubuh.
Adapun hadits Anas -radhiyallahu anhu- yang berbunyi,
مَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- senantiasa melakukan qunut di waktu sholat fajar (shubuh) sampai beliau meninggal dunia”. [HR. Abdur Rozzaq dalam Al-Mushonnaf (3/110), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf (2/312), Ahmad dalam Al-Musnad (3/162), dan lainnya]
Hadits ini dho’if (lemah) diantara rawinya ada yang bernama Isa bin Maahaan yang dikenal dengan “Abu Ja’far Ar-Roziy” dari Anas bin Malik -radhiyallahu anhu-. Hadits ini tidak shohih alias dho’if (lemah), karena Abu Ja’far Ar-Roziy adalah seorang rawi yang jelek hafalannya, kacau dan sering salah dalam meriwayatkan hadits sehingga ia sering meriwayatkan hadits-hadits yang munkar, seperti hadits qunut ini!! Para ahli hadits tak berhujjah dengan hadits-hadits yang ia riwayatkan secara bersendirian. Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (no. 1238).
Jadi, hadits ini tak boleh dijadikan hujjah dalam menetapkan sunnahnya qunut shubuh, apalagi wajibnya. Bahkan sebagian ulama memandang bahwa qunut rutin setiap shubuh sesuatu yang tak disyariatkan.[Lihat Nashbur Rooyah (8/460) oleh Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf Az-Zaila'iy]
Para pembaca yang budiman, termasuk kesalahan, sebagian orang bila mengetahui imamnya membaca surah tambahan setelah Al-Fatihah dalam rakaat ketiga atau keempat, maka ada diantara mereka yang mengharuskan imam sujud sahwi. Orang ini keliru, sedang imamnya benar. Pertama, imam tak lupa. Kedua, imam lakukan demikian karena mengikuti sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Abu Said Al-Khudriy -radhiyallahu anhu- berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقْرَأُ فِى صَلاَةِ الظُّهْرِ فِى الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ قَدْرَ ثَلاَثِينَ آيَةً وَفِى الأُخْرَيَيْنِ قَدْرَ خَمْسَ عَشَرَةَ آيَةً أَوْ قَالَ نِصْفَ ذَلِكَ وَفِى الْعَصْرِ فِى الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ قَدْرَ قِرَاءَةِ خَمْسَ عَشْرَةَ آيَةً وَفِى الأُخْرَيَيْنِ قَدْرَ نِصْفِ ذَلِكَ.
“Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dulu membaca dalam Sholat Zhuhur, pada dua rakaat pertama; pada setiap rakaat itu sekitar 30 ayat dan pada dua rakaat terakhir sekitar 15 ayat atau setengahnya. Di dalam sholat Ashar, pada dua rakaat pertama; setiap rakaatnya sekitar 15 ayat dan pada dua rakaat terakhir sekitar setengahnya”. [HR. Muslim dalam Kitab Ash-Sholah (no. 452)]
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thohawiy -rahimahullah- berkata, “Di dalam hadits terdapat sesuatu yang menunjukkan bahwa dahulu Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- membaca surah tambahan atas Al-Fatihah yang berjumlah tujuh ayat, bukan lebih, pada dua rakaat terakhir Sholat Zhuhur dan Ashar”. [Lihat Syarh Musykil Al-Atsar (12/51), dengan tahqiq Al-Arna'uth, cet. Mu'assasah Ar-Risalah, 1415 H]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa surah tambahan atas Al-Fatihah pada dua rakaat terakhir merupakan sunnah. Pendapat inilah yang dipijaki oleh sejumlah sahabat, diantaranya Abu Bakar Ash-Shiddiq -radhiyallahu anhu- dan pendapat Imam Asy-Syafi’iy, baik dalam sholat Zhuhur atau selainnya. Pendapat ini dipegangi diantara ulama belakangan, seperti Abul Hasanat Al-Luknawiy dalam At-Ta’liq Al-Mumajjad ala Muwaththo’ Muhammad (hal. 102). Beliau berkata, “Sebagian sahabat kami melakukan sesuatu yang aneh dimana mereka mewajibkan sujud sahwi karena membaca surah tambahan pada dua rakaat terakhir. Para pen-syarah Al-Maniyyah, Ibrahim Al-Halabiy, Ibnu Amir Hajj dan lainnya telah membantah keanehan ini dengan sebaik-baiknya. Tak diragukan lagi bahwa orang yang berpendapat aneh seperti itu, belum sampai kepadanya hadits itu. Andai hadits itu sampai kepadanya, maka pasti ia tak akan menyatakan hal itu”. [Lihat Shifah Ash-Sholah (hal. 113)]

2 komentar: