Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Kamis, 08 Desember 2011

Qasarkanlah (Pendekkanlah) Shalatmu Ketika Engkau Musafir


Pengertian Musafir (as-Safar) Secara Umum:
As-Safar berarti penempuhan jarak. As-Safar berarti keluar dari kampung halaman menuju satu tempat yang berjarak jauh sehingga karenanya pelakunya diperbolehkan untuk mengqasarkan (memendekkan) shalatnya.
(Rujuk: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 225)
Pengertian Ringkas shalat Secara Qasar:
Memendekkan/mengurangkan bilangan rakaat shalat bagi shalat fardhu yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Iaitu bagi shalat Zuhur, ‘Asar, dan ‘Isya’.
Mengqasarkan shalat Adalah Sedekah Allah:

Allah (سبحانه وتعالى) berfirman di dalam surah an-Nisa’ ayat 101 (maksudnya):
“Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-Qasar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.”
Dalam hal ini, terdapat suatu riwayat dari Abu Ya’la bin Umayyah, dia menceritakan:
“Aku pernah berkata kepada ‘Umar bin Khaththab: (Allah berfirman:) “maka tidaklah mengapa kamu meng-Qasar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir”. (Namun sekarang) masyarakat sekarang sudah berada dalam keadaan aman. ‘Umar berkata: “Aku juga pernah merasa hairan sebagaimana engkau merasa hairan. Maka aku bertanya kepada Rasulullah  mengenai hal tersebut. Beliau  bersabda: “Ia suatu sedekah yang telah disedekahkan oleh allah kepada kamu. Oleh itu, terimalah sedekah Allah.”
(Hadits Riwayat Muslim, Kitab shalat orang-orang yang musafir, no. 686)
Hadits-Hadits Berkenaan Tuntutan Meng-Qasarkan shalat Di Dalam Perjalanan:
1 – Ibnu ‘Umar ( رضي الله عنه ) berkata:
“Aku pernah menemani Rasulullah  dalam perjalanannya dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat lebih dari dua rakaat (bagi setiap shalat). Demikian juga dengan Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Usman r.anhum.
(Hadits Riwayat Muslim, Kitab shalat orang-orang yang musafir, no. 689)
2 – Dari ‘Aisyah ( رضي الله عنه ), dia menyatakan: “Ketika shalat pertama kali diwajibkan, Allah mewajibkan dua rakaat-dua rakaat, sama ada ketika sedang tidak dalam perjalanan maupun ketika dalam perjalanan. (Selepas hijrah Nabi ) shalat ketika safar ditetapkan/dibiarkan (dua rakaat), dan shalat ketika tidak safar (dalam perjalanan) ditambah (jumlah rakaatnya).
(Hadits Riwayat Muslim, Kitab shalat orang-orang yang musafir, no. 1570)
Imam Ahmad rahimahullah di dalam al-Musnadnya (6/241) menambahkan:
“Kecuali shalat Maghrib dan subuh”.
(Rujuk: Nota kaki no. 71, m/s. 550, Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i)
3 – Dari Ibnu ‘Abbas ( رضي الله عنه ), dia menyatakan:
“Allah telah mewajibkan shalat melalui lisan Nabi Kalian  ketika tidak dalam perjalanan (musafir) adalah empat rakaat dan ketika dalam perjalanan dua rakaat, serta ketika menghadapi rasa takut adalah satu rakaat.” (hadits Riwayat Muslim, Kitab orang-orang yang musafir, no. 687)
Menurut Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, yang menaqalkan daripada Sheikh Abdul Aziz bin Bazz:
“Dasar shalat yang pertamanya adalah dua rakaat, sebagaimana yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala, kemudian setelah hijrah, Allah (سبحانه وتعالى) menambahkannya dua rakaat lagi bagi yang tidak dalam perjalanan menjadi empat rakaat, iaitu pada shalat ‘Isya’, Zuhur, dan ‘Asar. Adapun shalat ketika dalam perjalanan, masih tetap dua rakaat, iaitu bagi shalat ‘Isya’, Zuhur, dan ‘Asar (diqasarkan). Dengan demikian, meng-Qasarkan shalat (di dalam perjalanan) adalah sunnah mu’akkad karena tidak ada larangan untuk mengerjakan shalat secara lengkap, iaitu empat rakaat.
(Rujuk: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 252)
Walau bagaimanapun, perlu dipahami dan diketahui bahwa meng-Qasarkan shalat (memendekkannya menjadi dua rakaat) di dalam perjalanan (musafir) adalah lebih baik dan utama daripada melaksanakannya secara sempurna (tamam). Ini adalah berdasarkan kepada hadits berikut:
Daripada ‘Abdullah bin ‘Umar (رضي الله عنهما) dia menyatakan, Rasulullah  telah bersabda:
“Sesungguhnya Allah suka jika keringanan yang Dia berikan itu dimanfaatkan sebagaimana Dia tidak suka kemaksiatan kepada-Nya dilakukan.”
(Hadits yang dinilai Hasan menurut Sheikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam kitabnya, Irwaa’ul Ghaliil, 3/9, no. 564)
Daripada Ibnu Mas’ud dan ‘Aisyah (رضي الله عنهما) :
“Sesungguhnya Allah sangat menyukai rukhsah (keringanan) dari-Nya dimanfaatkan sebagaimana Dia menyukai pelbagai kewajiban yang dari-Nya dikerjakan.”
(Hadits yang dinilai shahih menurut Sheikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam kitabnya, Irwaa’ul Ghaliil)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan (di dalam Majmuu’ al-Fataawaa, 24/9):
“Bahkan terdapat suatu pendapat dari mazhabnya Abu Hanifah dan Imam Malik, bahwa hukum melaksanakan shalat secara Qasar di dalam perjalanan (musafir) adalah suatu yang wajib.”
(Dirujuk dari nota kaki no. 80, Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 252)
Persoalan Jarak Dalam Musafir:
Dari Abi Sa’id ( رضي الله عنه ), beliau menyatakan:
“Sesungguhnya Rasulullah  apabila bermusafir sejauh satu farsakh, maka beliau mengqasarkan shalatnya.” (hadits Riwayat Sa’id bin Mansur)
Dari Anas ( رضي الله عنه ), bahwasanya beliau menjawab semasa ditanya tentang shalat qasar di antara Basrah dan kufah: “Dahulu Rasulullah  jika berpergian (musafir) sejauh tiga batu (satu farsakh) beliau  shalat dua rakaat (qasar). (Diriwayatkan oleh Muslim, ahmad, dan Abu Daud).
Menurut para ulama fiqh, satu farsakh ialah tiga batu. Ini diambil mengikut jarak perkiraan Parsi.
(Dirujuk dari: Kertas Kerja Ust. Rasul bin Dahri, shalat Qasar & Jama’, m/s. 6)
Menurut sebagian ulama, bahwa yang dinamakan sebagai musafir itu tidaklah dihadkan dengan jarak-jarak yang tertentu. Tetapi, dalam hal ini, adalah merujuk kepada ‘uruf (adat kebiasaan) seseorang itu berada. Jika jarak perjalanan dianggap sebagai musafir (pergi keluar kawasan dari tempat kebiasaan ke tempat yang di luar kebiasaan) oleh sebuah masyarakat, maka dia boleh meng-Qasarkan shalatnya dan berbuka puasa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan:
“Dalil yang lebih tepat dan kuat ialah pendapat ulama yang membolehkan qasar shalat dan berbuka puasa ketika musafir dan tidak ada jarak perjalanan yang khusus. Inilah pendapat yang paling shahih.” (Rujuk Kitab Majmuu’ al-Fataawaa, 24/106)
Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah. Alasannya, Allah dan Rasul tidak pernah menghadkan jarak tertentu dalam bermusafir yang membolehkan shalat diqasarkan dan puasa dibenarkan berbuka.
Imam Abu al-Qasim al-Kharqi rahimahullah telah menyatakan dalam kitab al-Mughni:
“Aku tidak setuju dengan pendapat yang diutarakan oleh kebanyakan ulama fiqh karena pendapat mereka itu tidak ada hujjahnya (dalam menghadkan jarak musafir). Ini karena, terdapat riwayat dari kata-kata para sahabat yang saling menyanggah. Sedangkan, tidak boleh berhujjah menggunakan dalil yang saling berbeda.”
Pendapat yang dirojihkan sebagian ulama yang dimaksud diatas adalah, tidak harus meng-Qasarkan shalat apabila jarak kurang daripada tiga batu. 1 batu adalah 1748 meter. Manakala 3 batu adalah 5541 meter (5.541 kilometer). Oleh itu, seseorang boleh meng-Qasarkan shalat apabila mencapai had ini.
Menurut riwayat Ibn Abi Syaibah rahimahullah dengan sanad shahih dari Ibnu ‘Umar ( رضي الله عنه ). Pendapat ini dipersetujui oleh Ibnu Hazm, katanya:
“Nabi  telah keluar ke perkuburan Baqi’ (dengan jarak kurang dari 3 batu) untuk mengebumikan jenazah dan keluar ke Fadaq untuk membuang hajat. Tetapi beliau  tidak pernah meng-Qasarkan shalatnya.”
(Disalin dari buku Wudhu’ dan shalat Menurut Sunnah dan Mazhab Syafi’ie, oleh Abu Ruwais asy-Syubrawi, Terbitan Karya Bestari Sdn. Bhd.)
Disimpulkan dari beberapa pendapat, bahwa pendapat yang paling rojih adalah tiada had tertentu yang membataskan seseorang untuk dikategorikan sebagai musafir. Ia adalah bergantung kepada ‘uruf/kebiasaan seseorang itu sendiri iaitu dari mana dia berada (kawasan kebiasaan dia berada/menetap) dan ke mana dia keluar (ke tempat yang di luar kebiasaannya) tanpa dihadkan jaraknya.
(Disimpulkan dari perbahasan dalam buku Fiqh Dan Musafir Penerbangan, Hafiz Firdaus Abdullah, Di bawah Tajuk Mengqasar shalat Dalam Penerbangan, Terbitan Perniagaan Jahabersa, m/s. 161-204)
Bila shalat Qasar Segera Boleh Dilakukan:
Dalam hal ini, Ibnu Mundzir rahimahullah berkata (Dipetik dari: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 259):
“Para ulama sepakat bahwa orang yang hendak melakukan perjalanan boleh meng-Qasar shalat jika sudah keluar dari seluruh rumah yang ada di kampung yang ditinggalkannya. (Majmuu’ Fataawaa Ibni Bazz, 12/267)
Tempo (Lamanya) Musafir Yang Dibolehkan shalat Qasar Tetap Dilaksanakan:
Berikut dibawakan fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika menjawab pertanyaan “tentang seseorang yang mengetahui bahwa dia akan bermukim dua bulan, apakah dia boleh mengqasarkan shalat?”
Beliau menjawab:
“Di dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Di antara mereka ada yang mewajibkan untuk mengerjakan shalat secara lengkap, tetapi ada juga di antara mereka yang mewajibkan qasar shalat. Yang benar adalah keduanya boleh berlaku. Barangsiapa yang mau meng-Qasarkan shalatnya tidaklah dilarang, dan yang hendak mengerjakannya secara lengkap pun tidak dilarang. Selain itu, mereka juga berbeda pendapat berkenaan mana yang lebih afdhal di antara keduanya. Barangsiapa yang masih menyimpan keraguan, maka mengerjakan shalat secara sempurna adalah lebih baik sebagai langkah berhati-hati.
Sedangkan orang yang memahami sunnah dan mengetahui Rasulullah  tidak mensyariatkan bagi orang yang di dalam perjalanan untuk mengerjakan shalat melainkan dengan dua rakaat, dan tidak memberikan batasan perjalanan dengan waktu dan tempat, serta tidak juga memberikan batasan masa tinggal dengan waktu tertentu, tidak tiga, empat, dua belas, atau lima belas hari, maka dia boleh meng-Qasar shalatnya, sebagaimana yang dikerjakan oleh kebanyakan ulama salaf.
Seorang tabi’in Masruq Bin Al-Ajda’ pernah bermukim beberapa tahun dengan tetap mengqasarkan shalatnya. Kaum muslimin juga pernah bermukim di Nahawanda selama enam bulan dan mereka (tetap) mengqasar shalat. Mereka meng-Qasarkan shalat dalam keadaan mengetahui bahwa keperluan mereka tidak akan cukup empat hari atau lebih. Sebagaimana Nabi  dan para Sahabat beliau setelah pembebasan Kota Makkah (Fathul Makkah) selama di Makkah lebih kurang dua puluh hari beliau meng-Qasarkan shalat. Mereka juga pernah bermukim di Makkah selama sepuluh hari dan berbuka puasa di siang hari pada bulan Ramadhan.
Setelah membebaskan kota Makkah, Nabi  mengetahui bahwa beliau perlu bermukim di sana lebih dari empat hari. Seandainya pembatasan tersebut tidak mempunyai dasar (niat menetap/mastautin – pen.), berarti seorang musafir masih tetap sebagai musafir yang boleh meng-Qasarkan shalat walaupun dia bermukim di suatu tempat beberapa bulan. Wallahu a’lam.”
(Majmuu’ al-Fataawaa, 14/17-18). (Dinukil dari footnote no. 114, Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 262)
Adakah shalat Sunnah Rawatib Ketika Dalam Musafir?
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Kegigihan dan kesungguhan Rasulullah  dalam memelihara shalat sunnah sebelum Subuh lebih besar daripada shalat sunnah yang lainnya sehingga beliau tidak pernah meninggalkannya. Begitu pula shalat witr, sama ada ketika dalam perjalanan mau pun ketika sedang di rumah… Tidak pernah dinukil bahwa Rasulullah  mengerjakan shalat sunnah rawatib selain shalat sunnah sebelum subuh dan shalat witr dalam perjalanannya.”
(Rujuk: Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad, 1/315)
Berdasarkan fatwa Imam Ibnul Qayyim, ini menunjukkan bahwa dipahami hanya shalat sunnah rawatib subuh dan shalat witr yang dituntut. Dan tiada sandaran bagi kesunnahan melakukan shalat sunnah rawatib bagi shalat-shalat yang lain melainkan sebelum shalat subuh.
Bagaimana Dengan shalat-shalat Sunnah Yang Lainnya?
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
“Para ulama telah sepakat untuk menetapkan sunnah (adanya) terhadap shalat-shalat sunnah mutlak (shalat-shalat sunnah yang memiliki sebab untuk ia dilakukan) dalam perjalanan.”
(Syarhun Nawawi ‘alaa shahih Muslim, 5/205). (Rujuk: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 269)
Shalat sunnah mutlak yang dimaksudkan adalah separti shalat sunnah Thawaf, shalat Tahiyatul Masjid, shalat sunnah wudhu’, shalat Dhuha, dan seumpamanya.
Shalat Di Belakang Imam Yang Mukim Ketika Kita Bermusafir
Ibnu ‘Abbas rahimahullah (ketika bermusafir), dia akan shalat empat rakaat jika shalat bersama imam (yang mukim) dan dua rakaat (Qasar) jika shalat sendirian.
(Hadits Riwayat Muslim, Kitab shalat orang-orang yang musafir, no. 17 (688))
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan:
“Kebanyakan dari mereka menyatakan bahwa jika seorang musafir melakukan takbiratul ihram di belakang orang yang bermukim/bermastautin sebelum salamnya, maka dia harus mengerjakan shalat separti orang mukim, iaitu mengerjakan secara lengkap (empat rakaat)”.
(at-Tamhiid, 16/311-312)
“Mereka yang bermusafir ketika menjadi makmum kepada imam yang mukim harus mengerjakan shalat separti yang dilakukan imamnya (shalat sempurna/empat rakaat).
(Rujuk: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 271)
Pendapat ini adalah didasari kepada hadits:
“Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Oleh karena itu, janganlah kalian menyelisihinya, jika dia bertakbir, bertakbirlah kalian…” (hadits Riayat Muslim, Kitab ash-Solah, no. 414)
Shalat Di Belakang Imam Yang Bermusafir (Imam Yang Meng-Qasarkan shalatnya)
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan:
“Para ulama telah sepakat bahwa jika orang yang bermukim/bermastautin menjadi makmum kepada imam yang bermusafir lalu musafir itu mengucapkan salam (setelah dua rakaat shalatnya secara Qasar – pen.), maka orang yang bermukim harus menyempurnakan shalatnya (kepada empat rakaat).”
(Rujuk: al-Mughni, 3/146. Lihat: Nailul Authaar, asy-Syaukani, 2/403)
Jika seorang musafir mengimami beberapa orang yang bermukim/bermastautin, lalu dia mengerjakan shalat itu secara lengkap/tamam/sempurna, maka shalat mereka itu sempurna dan sah, hanya saja bertentangan dengan yang afdhal (sunnahnya).
(Majmuu’ Fataawaa Ibni Baaz, 12/260). (Dinukil daripada: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 270-271)
Perbedaan Di Antara shalat Qasar Dengan shalat Jama’
Qasar (memendekkan shalat fardhu yang empat rakaat):
Qasar shalat itu tidak memiliki sebab kecuali ketika dalam perjalanan (musafir) sahaja. Maka, rukhsah meng-Qasarkan shalat itu adalah khusus ketika musafir sahaja, iaitu bagi shalat yang empat rakat menjadi dua rakaat.
Jama’ (menggabungkan dua shalat fardhu):
Jama’ shalat itu lebih luas daripada qasar shalat. Oleh karena itu, jama’ memiliki beberapa sebab lain selain perjalanan, sebagai contoh karena sakit, istihadhah, hujan, jalan berlumpur, angin kencang udara dingin, kesukaran yang dihadapi berkaitan masa bagi salah satu waktu shalat, dan seumpamanya.
Menjama’kan shalat ketika musafir adalah dimakruhkan ketika mana tidak memiliki sebab, malah adalah lebih baik tidak menjama’kan shalat ketika dalam bermusafir melainkan benar-benar diperlukan atau memiliki maslahah.
(Rujuk: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 275-276)
Semoga bermanfaat, khususnya bagi ana pribadi dan para pembaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar