Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Sabtu, 18 Juni 2011

Bila Bayi tabung diperbolehkan, Syar'ikah proses pelaksanaanya?


Metrotvnews.com, Jakarta
: Setiap orang tua pasti sangat mendambakan keturunan. Tapi, tak semua pasangan suami istri bisa memiliki keturunan dengan cara alami. Teknologi kedokteran pun memungkinkan suami istri mewujudkan keinginan itu dengan program bayi tabung(Metro Siang / Umum / Sabtu, 18 Juni 2011 12:29 WIB). Nah yang menjadi pikiran, syar'ikah proses pelaksanaan bayi tabung tersebut, berikut penuturan Syeikh Al-Albani.
Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Tanya:
Bagaimana menurut pandangan syariah tentang bayi tabung?

Arif Joko Wuryanto
Jawab:
Alhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bayi tabung merupakan produk kemajuan teknologi kedokteran yang demikian canggih yang ditemukan oleh pakar kedokteran Barat yang notabene mereka adalah kaum kuffar (orang kafir). Bayi tabung adalah proses pembuahan sperma dengan ovum, dipertemukan di luar kandungan pada satu tabung yang dirancang secara khusus. Setelah terjadi pembuahan lalu menjadi zygot, kemudian dimasukkan ke dalam rahim sampai dilahirkan. Jadi prosesnya tanpa melalui jima’ (hubungan suami istri).
Pertanyaan ini telah ditanyakan kepada salah seorang imam abad ini, yaitu Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu. Maka beliau menjawab:
Tidak boleh, karena proses pengambilan mani (sel telur wanita) tersebut berkonsekuensi minimalnya sang dokter (laki-laki) akan melihat aurat wanita lain. Dan melihat aurat wanita lain (bukan istri sendiri) hukumnya adalah haram menurut pandangan syariat, sehingga tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.
Sementara tidak terbayangkan sama sekali keadaan darurat yang mengharuskan seorang lelaki memindahkan maninya ke istrinya dengan cara yang haram ini. Bahkan terkadang berkonsekuensi sang dokter melihat aurat suami wanita tersebut, dan ini pun tidak boleh.
Lebih dari itu, menempuh cara ini merupakan sikap taklid terhadap peradaban orang-orang Barat (kaum kuffar) dalam perkara yang mereka minati atau (sebaliknya) mereka hindari.
Seseorang yang menempuh cara ini untuk mendapatkan keturunan dikarenakan tidak diberi rizki oleh Allah berupa anak dengan cara alami (yang dianjurkan syariat), berarti dia tidak ridha dengan takdir dan ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya.
Jikalau saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan membimbing kaum muslimin untuk mencari rizki berupa usaha dan harta dengan cara yang halal, maka lebih-lebih lagi tentunya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan membimbing mereka untuk menempuh cara yang sesuai dengan syariat (halal) dalam mendapatkan anak.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah hal. 288)
Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=469

Tidak ada komentar:

Posting Komentar