Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Selasa, 28 Juli 2020

Hadits Tentang Keutamaan Puasa Hari Tarwiyah


Telah beredar beberapa Broadcast Message yang memuat tentang keutamaan khusus berpuasa pada hari Tarwiyah.
Pada kesempatan ini, kami perlu mengingatkan akan kepalsuan hadits yang beredar tersebut.
Hadist itu berbunyi,

صَوْمُ يَوْمِ التَّرْوِيَةِ كَفَّارَةُ سَنَةٍ، وَصَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ
“Puasa hari Tarwiyah adalah kaffarah (penggugur dosa) setahun, dan puasa hari Arafah adalah kaffarah dua tahun.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Abul Qâsim Al-Ashbahâny dalam At-Targhîb wa At-Tarhîb no. 370, Ibnul Jauzy dalam Al-Maudhû’ât 2/565 no.1137, dan Abusy Syaikh Al-Ashbahâny sebagaimana dalam Kanzul ‘Ummâl dan selainnya, dan dari jalur beliau diriwayatkan oleh Ibnu Qudamah dalam Fadhlu Yaum At-Tarwiyah wa ‘Arafah no. 2 dan Ad-Dailamy dalam Musnad Al-Firdaus –sebagaimana dalam Irwâ’ul Ghalîl 4/113- semuanya dari jalur Ali bin Ali Al-Himyary dari Muhammad bin As-Sâ’ib Al-Kalby dari Abu Shâlih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhu secara marfu’.
Terdapat sejumlah cacat dalam hadits ini:
Pertama, tentang Muhammad bin As-Sâ’ib Al-Kalby, Ibnul Jauzy berkata, “Sulaiman At-Taimy berkata, ‘Al-Kalby adalah seorang pendusta.’ Ibnu Hibbân berkata, ‘Kejelasan dusta pada (Al-Kalby) adalah lebih terang untuk digambarkan.’.” [Al-Maudhû’ât 2/566]
Ibnu Hajar berkata, “Muttaham Bil Kadzib ‘dituduh berdusta’.” Bahkan, dalam biografi Al-Kalby, terdapat sejumlah pernyataan tegas dari para imam Jarh wat Ta’dil bahwa Al-Kalby adalah seorang pendusta.
Secara spesifik pada jalur riwayat di atas, Al-Kalby telah berkata, “Apa-apa yang Saya riwayatkan dari Abu Shalih adalah dusta. Janganlah kalian meriwayatkan dariku.” [Tahdzîbut Tahdzîb dan selainnya]
Kedua, Abu Shâlih adalah bernama Bâdzâm maula Ummu Hâni`, dan hadits beliau lemah.
Ketiga, Ali bin Ali Al-Himyary adalah rawi yang majhûl. Biografinya terdapat dalam Al-Jarh wa At-Ta’dîl karya Ibnu Abi Hâtim, sedang Ibnu Abi Hâtim tidak menyebut jarh ‘celaan’ atau ta’dîl ‘rekomendasi’ terhadapnya.
Ada beberapa riwayat lain yang semakna dengan hadits di atas dari beberapa shahabat:
1.       Hadits Jâbir yang diriwayatkan oleh An-Najjar dalam Târîkh-nya sebagaimana dalam Kanzul ‘Ummâl dan selainnya. Dalam sanad tersebut, terdapat seorang rawi pendusta dan pemalsu hadits sebagaimana keterangan Al-Mu’allimy dalam ta’lîq beliau terhadap kitab Al-Fawâ’id Al-Majmû’ah.
2.       Hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Ibnu Jauzy dalam Al-Maudhu’at no. 1136. Ibnul Jauzy menyebutkan bahwa Muhammad Al-Muhrim, yang berada dalam sanad hadits, adalah manusia yang paling pendusta.
Hukum Hadits
Tersimpul, dari pembahasan di atas, bahwa hadits yang kita bahas adalah memuat rawi pemalsu hadits dan riwayat-riwayat pendukungnya juga berada pada kedudukan yang sama. Selain itu, kandungan makna hadits adalah hal yang tidak pernah diriwayatkan dalam buku-buku hadits yang populer. Oleh karena itu, sangat tepat bila hadits ini dianggap sebagai hadits palsu oleh Syaikh Al-Albâny dan selainnya. Wallahu A’lam.
Sebagai penutup, telah dimaklumi bahwa sepuluh hari pertama Dzulhijjah memiliki banyak keutamaan, yang di antaranya adalah Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ menyampaikan bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ. فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِيْ سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَلاَ الْجِهَادُ فِيْ سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ
“Tiada suatu hari pun yang amal shalih pada hari-hari itu lebih Allah cintai daripada sepuluh hari ini. (Para shahabat) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, tidak pula (dilebihi oleh) jihad di jalan Allah?’ Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘(Ya), tidak (pula) jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun dari hal tersebut.’.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Abu Dâwud, At-Tirmidzy (lafazh hadits adalah milik beliau), dan Ibnu Mâjah]
Berpuasa pada sembilan hari pertama Dzulhijjah juga merupakan tuntunan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagaimana penuturan sebagian istri Nabi radhiyallâhu ‘anhâ,
أَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَتِسْعًا مِنْ ذِى الْحِجَّةِ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ
“Sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyurâ, pada sembilan hari Dzulhijjah, dan pada tiga hari dalam sebulan: Senin awal dari bulan (berjalan) dan dua Kamis.” [Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dâwud, An-Nasâ`iy, dan Al-Baihaqy. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny]
Tidak diragukan bahwa tanggal 8 Dzulhijjah atau hari Tarwiyah termasuk ke dalam keutamaan yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut, tetapi bukan berarti seseorang membuat keutamaan tersendiri tentang puasa hari Tarwiyah dengan hal yang penyandarannya kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak sah.
Kami menasihatkan, kepada seluruh kaum muslimin, agar bertakwa kepada Allah dalam menukil atau menyampaikan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang berdusta tentang diriku dengan sengaja, hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” [Hadits Mutawatir riwayat Al-Bukhâry, Muslim, dan selainnya dari lebih seratus shahabat]
Juga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ، فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
“Barangsiapa yang bercerita dariku sebuah hadits yang dia sangka dusta, dia adalah salah seorang di antara para pendusta.” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah Shahîh-nya]
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang dikatakan berdusta bila menceritakan segala hal yang dia dengar.” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah Shahîh-nya]
Perlu diingat bahwa tidak semua orang yang menyampaikan hadits atau suatu ilmu layak diterima. Imam Ibnu Sîrîn mengingatkan,
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu (hadits) ini adalah agama maka lihatlah dari mana kalian mengambil agama kalian!” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah Shahîh-nya]
Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar