Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Selasa, 03 Juli 2018

Meninggal Dunia di Lautan


Lautan memiliki urgensi dalam kehidupan manusia, dimana ia menjadi sarana berlayar bagi kapal-kapal yang membawa berbagai macam barang yang dibuthkan manusia. Mereka berlayar di atas lautan berhari-hari bahkan berbulan-bulan lamanya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberikan kemudahan bagi kapal-kapal untuk membelah ombak lautan yang
ganas dengan ujung depannya. Ini adalah salah satu nikmat yang Allâh Azza wa Jalla limpahkan kepada manusia yang wajib disyukuri. Nikmat agung ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala jelaskan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَخَلَقْنَا لَهُمْ مِنْ مِثْلِهِ مَا يَرْكَبُونَ ﴿٤٢﴾ وَإِنْ نَشَأْ نُغْرِقْهُمْ فَلَا صَرِيخَ لَهُمْ وَلَا هُمْ يُنْقَذُونَ
Dan Kami ciptakan untuk mereka yang akan mereka kendarai seperti bahtera itu. Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami tenggelamkan mereka, maka tiadalah bagi mereka penolong dan tidak pula mereka diselamatkan. [Yâsin/36:42-43]
Juga firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَسَخَّرَ لَكُمُ الْفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ ۖ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْأَنْهَارَ
Dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. [Ibrâhîm/14:32]
Serta firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. [an-Nahl/16:14]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengungkapkan hal ini sebagai nikmat dari-Nya dalam firman-Nya :
أَلَمْ تَرَ أَنَّ الْفُلْكَ تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِنِعْمَتِ اللَّهِ لِيُرِيَكُمْ مِنْ آيَاتِهِ
Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allâh, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebahagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. [Luqmân/31:31]
Perjalanan yang jauh ditempuh oleh kapal laut terkadang mengalami kejadian-kejadian yang tidak diinginkan, seperti meninggal dunia di atas perahu atau kapal, padahal terkadang kapal atau perahu tersebut tidak mendapatkan daratan dalam waktu yang lama, lalu bagaimana mengubur jenazah tersebut?
MENGUBUR JENAZAH DI LAUT
Pada asalnya mengubur (ad-dafn) adalah dengan cara memendam mayat ke dalam tanah. Hukum menguburkan jenazah adalah fardu kifâyah (artinya jika telah dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin, maka gugurlah kewajiban dari kaum Muslimin lainnya). Makna mengubur mayat adalah melindungi jasadnya dari celaan fisik dan menutupi aib pribadinya. Hal ini diisyaratkan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ كِفَاتًا ﴿٢٥﴾ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا
Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul, orang-orang hidup dan orang-orang mati? [al-Mursalât/77:25-26]
Oleh karena itu Allâh Azza wa Jalla menunjukkan kepada anak Adam untuk menguburkan saudaranya dengan mengirimkan burung gagak sebagai contoh, seperti dijelaskan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْءَةَ أَخِيهِ ۚ قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَٰذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِي ۖ فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ
Kemudian Allâh menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya berkata Qabil: “Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal. [Al-Mâidah/5:31]
Demikianlah sebaik-baik tempat menguburkan adalah di pemakaman yang telah dikhususkan, agar sesuai sunah dan senantiasa didoakan oleh orang yang melintasinya. Namun, jika meninggal di kapal atau perahu yang sedang berada di tengah lautan, para Ulama sepakat agar diupayakan terlebih dahulu mencari daratan terdekat untuk dikuburkan dengan tanah. Apabila diperkirakan akan mendapatkan daratan sebelum jasad jenazah rusak. Apabila tidak memungkinkan dikubur dengan tanah karena jauh dari daratan, penyelenggaraan jenazahnya adalah:
1. Dimandikan,
2. Dikafani,
3. Dishalatkan, dan
4. Diarungkan ke laut. (Lihat al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab 5/285 dan al-Mughni 3/431).
Batasannya adalah waktu yang dapat mengubah kondisi dan merusak mayat (membusuk).
Para Ulama berargumentasi dengan kisah yang diriwayatkan imam al-Baihaqi t dalam Sunan al-Kubra (4/10) dengan sanad yang shahih (menurut imam an-Nawawi dalam al-Majmû’ 5/286) dari Shahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu yang berkata:
أَنَّ أَبَا طَلْحَةَ رَكِبَ الْبَحْرَ فَمَاتَ فَلَمْ يَجِدُوْا لَهُ جَزِيْرَةً إِلاَّ بَعْدَ سَبْعَةِ أَيَّامٍ فَدَفَنُوْهُ فِيْهَا وَلَمْ يَتَغَيَّرْ
Sesungguhnya Abu Thalhah mengarungi lautan lalu meninggal dunia. Mereka tidak mendapatkan daratan kecuali setelah tujuh hari lalu mereku kuburkan di sana dan belum rusak jasadnya.
Kemudian imam al-Baihaqi rahimahullah berkata:
وَرُوِّيْنَا عَنِ الْحَسَنِ اْلبَصْرِي أَنَّهُ قَالَ يُغْسَلُ وَيُكْفَنُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُطْرَحُ فِيْ الْبَحْرِ
Telah diriwiyatkan kepada kami dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Beliau dimandikan, dikafani dan disholatkan lalu diarungkan ke laut. [Sunan al-Kubra, 4/10].
Adapun cara menguburkan di laut masih diperselisihkan para Ulama dalam dua pendapat:
Pertama: Diarungkan ke laut tanpa diberi pemberat dan dibiarkan dilautan sampai terdampar di pantai sehingga ada yang dapat menemukannya dan menguburkannya. Inilah pendapat Ibnu Mâjisyun, Ashbagh dan Ibnu Habîb dari kalangan Ulama Mâlikiyah dan juga pendapat ulama-ulama syâfi’iyah. Ulama madzhab Syâfi’iyah menambahkan dengan meletakkan jenazah setelah disholatkan kedalam peti agar tidak membengkak dan diarungkan ke laut, dengan harapan adaorang yang akan menguburkannya.
Sedangkan Imam Syâfi’i berpendapat, Apabila penduduk pantai adalah orang-orang kafir maka jenazah dimasukkan kedalam peti dan diberi pemberat agar tenggelam kedasar laut, supaya orang-orang kafir tidak mengambilnya lalu merubah sunnah kaum Muslimin padanya. [Lihat al-Majmû’ 5/285].
Pendapat ini dikritisi dengan pernyataan: Melepas jenazah di laut tanpa pemberat dan peti akan menjadikan jenazah tersebut berubah dan rusak (membusuk) dan bisa jadi terdampar di pantai dalam keadaan sudah membusuk dan telanjang. Mungkin juga akan diambil orang-orang kafir dan musyrik sehingga diberi pemberat lebih utama [Lihat al-Mughni 3/341].
Kedua: Diberi pemberat apabila dikhawatirkan membusuk dan diarungkan ke laut. Inilah pendapat Sahnûn dari Mâlikiyah, dan menjadi pendapat mazdhab Hambaliyah.
Pendapat ini berargumen, dengan diberi pemberat maka tercapai yang dimaksud dari penguburan dan selamat dari dimakan hewan. [Lihat al-Mughni 3/341].
PENDAPAT YANG RAJIH
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang kedua karena jelas dan terwujudnya tujuan penguburan. Juga sesuai dengan penjagaan syariat terhadap kemulian manusia khususnya Muslim yang harusnya ditutupi ketika hidup dan setelah matinya. Wallahu a’lam
KEUTAMAAN MATI TENGGELAM DI LAUTAN
Sudah dimaklumi perjalanan dilautan tidak lepas dari resiko tenggelam dan berapa banyak kejadian perahu atau kapal yang tenggelam bersama para penumpangnya, ada yang ditemukan jasad mereka dan ada yang tidak ditemukan jasadnya.
Islam memandang orang yang mati tenggelam sebagai syahid berdasarkan hadits-hadits diantaranya:
Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Orang mati syahid ada lima; orang yang mati karena sakit tha’un (kolera), orang yang mati karena sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang mati karena terpendam reruntuhan dan orang yang mati syahid di jalan Allâh. [Muttafaqun ‘alaihi]
Hadits Abdullah bin Busr Radhiyallahu anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
القَتِيْلُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ شَهِيْدٌ وَ اْلمَبْطُوْنُ شَهِيْدٌ وَ الْمَطْعُوْنُ شَهِيْدٌ وَ الْغَرِيْقُ شَهِيْدٌ وَ النُّفَسَاءُ شَهِيْدَةٌ
Orang yang terbunuh fii sabîlillah adalah syahid, orang yang mati karena penyakit perut adalah syahid, orang yang mati karena wabah kolera adalah syahid orang yang mati karena tenggelam adalah syahid, dan wanita yang mati karena melahirkan adalah syahid. [HR Thabrani dan dishahihkan al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ no. 4441]
Juga Hadits Jâbir bin ‘Atik Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ وَالَّذِى يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ
Syuhada’ (orang-orang yang mati syahid) yang selain terbunuh di jalan Allâh Azza wa Jalla itu ada tujuh orang, yaitu korban wabah tha’un adalah syahid, mati tenggelam adalah syahid, penderita penyakit lambung (semacam liver) adalah syahid, mati karena penyakit perut adalah syahid, korban kebakaran adalah syahid, yang mati tertimpa reruntuhan adalah syahid, dan seorang wanita yang meninggal karena melahirkan adalah syahid [HR. Abu Dawud no. 3113 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dâwud].
Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang mati tenggelam adalah syahid, sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang seorang yang menaiki perahu untuk berdagang lalu tenggelam apakah dikatakan syahid? Beliau rahimahullah menjawab: Ya, dia mati syahid apabila tidak bermaksiat dalam pelayarannya tersebut. (Lihat Majmû al-Fatâwâ 24/293). Juga imam an-Nawawi memasukkannya kedalam syahid akhirat. Beliau rahimahullah menyatakan: Lafazh Syahadat (mati syahid) yang ada dalam syuhada’ akhirat maksudnya adalah syahid dalam pahala akherat bukan tidak dimandikan dan disholatkan. [Lihat al-Majmû’ 5/264].
Demikian juga para Ulama mazdhab yang empat sepakat menganggap orang yang mati tenggelam sebagai syahid.
Oleh karena itu para Ulama ahli fikih sepakat orang yang tenggelam dimandikan dan dikafani serta dishalatkan. Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata di kitab al-Mughni (3/476): Tidak kami ketahui dalam hal ini perbedaan pendapat.
Kemudian imam Ibnu Qudâmah rahimahullah memberikan alasan dalam pemandian orang yang mati tenggelam dan tidak menyamakannya dengan orang yang mati syahid dalam pertempuran dengan menyatakan: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memandikan orang yang mati syahid dalam pertempuran karena bisa menghilangkan darah yang dianggap baik oleh syariat atau karena sulitnya memandikan mereka karena banyaknya atau karena adanya luka-luka. Ini semua tidak ada disini. [al-Mughni 3/477].
Jelaslah disini orang yang mati tenggelam tetap dimandikan dan disholatkan seperti jenazah pada umumnya.
Semoga bermanfaat.

Oleh:Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar