Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Senin, 24 Juli 2017

Kaitan Isra Mi’raj dengan Pembebasan Masjid Al-Aqsha



Mukadimah
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya : “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. Al-Isra [17]  : 1).
Allah Subahanhu Wa Ta’ala memberikan salah satu mukjizat kepada hamba-Nya, yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan peristiwa Isra dan Mi’raj. Sebuah kejadian luar biasa yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia. Peristiwa nyata yang benar-benar telah terjadi dan kita sebagai umat Islam yang mengimani ayat-ayat Al-Quran.
Isra Mi’raj Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam merupakan salah satu peristiwa penting bagi umat Islam karena pada peristiwa ini Allah memberikan perintah kepada Nabi Muhammd Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan untuk umat Islam berupa kewajiban mendirikan Shalatfardhu lima waktu sehari semalam. Isra Mi’raj terjadi pada periode akhir kenabian di Mekkah sebelum Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hijrah ke Madinah, yaitu setahun sebelum hijrah. Menurut sebagian ulama, terjadi pada malam tanggal 27 Rajab (tahun 621 M.).
Isra’ Mi’raj terjadi ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berada dalam situasi tekanan dan hinaan yang kuat dari kelompok musyrikin Mekkah, terutama dari Abu Jahal, Abu Lahab, dan sekutunya. Sementara ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam baru saja ditinggal wafat isterinya tercinta Khadijah Al-Kubra, pendamping sejati, pembela dan pendukung utama perjuangan dakwahnya. Pada saat beriringan, beliau juga baru saja berduka karena meninggalnya Abu Thalib pamannya, yang selama ini turut menjadi tameng pembelanya. Itulah tahun duka cita atau disebut dengan ‘amul hazn’.
Menurut Ketua Divisi Luar Negeri Al-Quds Institution Yaman Syaikh Dr. Mahmoud Abdul Majid Al-Khatib,  ayat tersebut terkait erat dengan pembebasan Masjid Al-Aqsha Palestina dari penjajahan Zionis Israel. Ini merupakan landasan aqidah bagi para pejuang Al-Aqsha.
Menurutnya, keterkaitan ayat ini dengan pembebasan Al-Aqsha dari sisi akidah Islam disebabkan Al-Aqsha adalah nama yang Allah cantumkan di dalam Al-Quran, kiblat pertama umat Islam, tempat isra’ mi’raj Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam serta negeri para nabi utusan Allah.
“Al-Qur’an sebagai petunjuk yang benar, khususnya di dalam surat Al-Isra ayat pertama jelas menunjukkan betapa Allah memuliakan Masjid Al-Aqsha. Berarti memang Al-Aqsha tidak lepas dari akidah seorang muslim,” ujar Al-Khatib, pria kelahiran Nablus Palestina.
Nabi Melakukan Isra
Peristiwa Isra, yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diperjalankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari Masjidil Haram di Mekkah hingga ke Masjidl Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina. Jarak tempuh  yang dilalui beliau sekitar 1.500 km, tapi hanya ditempuh dalam waktu tidak sampai satu malam.
Secara logika akal biasa, tampaknya tidak mungkin seorang manusia melakukan perjalanan ribuan kilometer, hingga ke langit dan turun kembali, hanya dalam waktu semalam.
Namun, logika aqidah menjadi mungkin, manakala yang memperjalankan adalah Allah, Sang Penguasa langit bumi dan alam semesta, Sang Maha Kuasa.
Secara logika manusia, mana mungkin seekor semut misalnya mampu berjalan dari Bogor ke Jakarta haya dalam setengah hari. Padahal untuk berjalan dari rumah ke lapangan di depan rumah saja perlu berjam-jam. Namun jika sang semut menempel di sebuah mobil, lalu mobil itu berjalan ke Jakarta, dan sore kembali lagi ke Bogor. Maka, perjalanan itu menjadi sangat mungkin.
Demikian halnya manakala Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan Isra dan Mi’raj, menjadi sangat mungkin karena ada yang memperjalankan, yaitu Allah.
Adapun Masjidil Haram tempat start Isra adalah nama yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an, disebut juga dengan Baitullah terletak di Mekkah, negeri yang diberkahi dan menjadi petunjuk semua manusia. Mekkah disebut juga dengan “Ummul Qura” (induk negeri).
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ
Artinya : “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (Q.S. Ali Imran [3] : 96).
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مُصَدِّقُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَلِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَهُمْ عَلَى صَلاَتِهِمْ يُحَافِظُونَ
Artinya : “Dan ini (Al Qur’an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Qur’an), dan mereka selalu memelihara shalatnya.” (Q.S. Al-An’am [6] : 92).
Sedangkan Masjidil Aqsha, tempat singgah Isra sebelum Mi’raj ke langit, adalah nama yang juga diberikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, terletak di Palestina. Dua masjid inilah, yakni Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha merupakan dua bangunan tempat ibadah yang mula-mula Allah Subhanahu Wa Ta’ala letakkan di muka bumi ini.
Bagi para jamaah umrah yang kini juga singgah ke Masjidil Aqsha, setelah dari Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, tentu akan merasakan perbedaan mencolok kondisi ketiganya. Jika di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi jamaah begitu ramai, mencapai jutaan, diterangi lampu-lampu, bangunan indah, penjagaan asykar Muslim.
Sebaliknya, yang terjadi di Masjidil Aqsha begitu memprihatinkan, tak seramai di dua masjid Mekkah dan Madinah tersebut. Bahkan dengan bangunan berlubang-lubag bekas tembakan peluru, lampu-lampu temaram, dan dijaga ketat oleh tentara Zionis Israel.
Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha, dua bangunan inilah bangunan yang mula-mula dibangun di permukaan bumi ini. ini seperti disebutkan di dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ مَسْجِدٍ وُضِعَ فِي الْأَرْضِ أَوَّلُ قَالَ الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ قَالَ ثُمَّ الْمَسْجِدُ الْأَقْصَى قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ يَعْنِي بَيْتَ الْمَقْدِسِ قَالَ قُلْتُ كَمْ بَيْنَهُمَا قَالَ أَرْبَعُونَ سَنَةً
Artinya : “Wahai Rasulullah, masjid apakah yang pertama diletakkan oleh Allah di muka bumi?” Beliau bersabda, “Al-Masjid Al-Haram”. Abu Dzar bertanya lagi, “Kemudian apa?”. Beliau bersabda, “Kemudian Al-Masjid Al-Aqsha”. Berkata Abu Mu’awiyah “Yakni Baitul Maqdis” . Abu Dzar bertanya lagi, “Berapa lama antara keduanya?”. Beliau menjawab, “Empat puluh tahun”. (H.R. Ahmad dari Abu Dzar).
Pondasi Masjidil Aqsha diletakkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala sejak jaman Nabi Adam ‘Alaihis Salam. Dalam kurun waktu sekian lama, bangunan itu rusak dan runtuh dimakan waktu. Areal tanah sekitar Masjidil Aqsha juga termasuk ke dalam kawasan masjid tersebut. Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihis Salam shalat di tanah itu, bagian dari Masjidil Aqsha.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan, Masjidil Aqsha dibangun kembali di atas pondasinya oleh cucu Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam, yakni Nabi Ya`qub bin Ishaq bin Ibrahim. Keturunan berikutnya, Nabi Daud ‘Alaihis Salam membangun ulang masjid itu. Bangunan Masjid Al-Aqsha diperbaharui oleh putera Nabi Dawud ‘Alaihis Salam, yaitu Nabi Sulaiman ‘Alaihis Salam (tahun 960 SM).
Mereka para nabi Allah membangun kembali Masjid Al-Aqsha adalah untuk tempat ibadah mendirikan shalat di dalamnya, bukan mendirikan kuil sinagog seperti yang diklaim Zionis.
Nabi Mi’raj dari Al-Aqsha
Peristiwa Mi’raj, yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dinaikkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari Kubah Ash-Shakhrah, kawasan kompleks Masjidil Aqsha, ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi di langit.
Maka, dikatakan juga oleh ulama bahwa shalat bagi orang-orang beriman adalah bagai Mi’rajnya, naik ke langit, maknanya ibadah khas kepada Allah. Kiasan ulama tasawuf menyebutkan:
الصَّلاَةُ مِعْرَاجُ الْمُؤْمِنِيْنَ
Artinya: “Shalat itu adalah mi’raj bagi orang-orang yang beriman”.
Karenanya, meyakini peristiwa Isra Mi’raj adalah bukti keimanan umat Islam akan kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an, wujud ketakwaan kepada Allah Subahanhu Wa Ta’ala, serta kecintaan kepada utusan-Nya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Dan kini, dengan pekembangan teknologi luar biasa, perjalanan jarak jauh dengan menggunakan pesawat super canggih dapat ditempuh hanya dalam hitungan jam, kadang tidak perlu satu malam. Maka secara ilmu pengetahuan pun, mustahil tidak mempercayai peristiwa perjalanan yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Tentang peristiwa Mi’raj ke Sidratul Muntaha ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan :
أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى () وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى () عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى () عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى () إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى () مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى () لَقَدْ رَأَى مِنْ ءَايَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى ()
Artinya : “Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? (12) Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (13) (yaitu) di Sidratil Muntaha. (14) Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (15) (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (16) Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (17) Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (18). (Q.S. An-Najm [53] : 12-18).
Adapun “Sidratul Muntaha” secara harfiah berarti “tumbuhan sidrah yang tak terlampaui”, suatu perlambang batas yang tak seorang manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang maha mengetahui hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur’an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana Sidratul Muntaha itu. Kita sebagai mukmin tinggal meyakini kebenarannya serta mengimaninya.
Ibnu ‘Abbas menyebutkan, peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan rangkaian ujian keimanan seseorang terhadap kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman di salam surat Al-Isra ayat 60 :
وَإِذْ قُلْنَا لَكَ إِنَّ رَبَّكَ أَحَاطَ بِالنَّاسِ وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُونَةَ فِي الْقُرْءَانِ وَنُخَوِّفُهُمْ فَمَا يَزِيدُهُمْ إِلَّا طُغْيَانًا كَبِيرًا
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: “Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia”. Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al Qur’an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.” (Q.S. Al-Isra [17] : 60).
Pada peristiwa Isra Mi’raj, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengimami para Nabi, seperti disebutkan di dalam hadits.
….. وَقَدْ رَأَيْتُنِي فِي جَمَاعَةٍ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ فَإِذَا مُوسَى قَائِمٌ يُصَلِّي فَإِذَا رَجُلٌ ضَرْبٌ جَعْدٌ كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ شَنُوءَةَ وَإِذَا عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَام قَائِمٌ يُصَلِّي أَقْرَبُ النَّاسِ بِهِ شَبَهًا عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ الثَّقَفِيُّ وَإِذَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام قَائِمٌ يُصَلِّي أَشْبَهُ النَّاسِ بِهِ صَاحِبُكُمْ يَعْنِي نَفْسَهُ فَحَانَتْ الصَّلَاةُ فَأَمَمْتُهُمْ
Artinya : “….. Dan sungguh telah diperlihatkan kepadaku jama’ah  para nabi. Adapun  Musa, dia sedang berdiri shalat. Dia lelaki tinggi kekar seakan-akan dia termasuk suku Sanu’ah. Dan ada pula ‘Isa bin Maryam ‘Alaihis Salam sedang berdiri shalat. Manusia yang paling mirip dengannya adalah ‘Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi. Ada pula Ibrahim ‘Alaihis Salam sedang berdiri shalat. Orang yang paling mirip dengannya adalah sahabat kalian ini, yakni beliau sendiri. Kemudian diserukanlah shalat. Lantas aku mengimami mereka”. (H.R. Muslim).
Kaitan dengan Pembebasan Al-Aqsha
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda di dalam haditsnya:
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَ
Artinya : “Tidak boleh mengkhususkan melakukan perjalanan kecuali menuju tiga Masjid, yaitu Masjid Al-Haram (di Mekkah), dan Masjidku (Masjid An-Nabawi di Madinah), dan Masjid Al-Aqsha (di Palestina)”.  (H.R. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Abu Daud dari Abu Hurairah).
Landasan aqidah ayat dan hadits di atas, juga dalil-dalil qath’i lainnya menunjukkan ketinggian, keutamaan, dan kemuliaan Masjidil Aqsha di dalam Islam.
Hal tersebut menekankan pentingnya kaum Muslimin memperhatikan Masjid Al-Aqsha serta menekankan tanggung jawab umat Islam di seluruh dunia dalam membela dan menjaga masjid tersebut. Umat Islam tidak boleh membiarkan apalagi melalaikannya dikuasai oleh yang bukan haknya, seperti berlangsung saat ini. Masjidil Aqsha adalah hak milik yang sah, milik kita umat Islam (Al-Aqsha Haqquna).
Masjid Al-Aqsha sebagai hak milik kita umat Islam perlu disosialisasikan ke seluruh lapisan masyarakat umat Islam, agar tumbuh semangat bersama, satu niat dan satu tujuan, yakni membebaskan Masjidil Aqsha yang begitu mulia berdasar dalil-dalil qath’i.
Zionis Yahudi Israel dengan sekutu-sekutunya tidak henti-hentinya menodai citra mulia Masjid Al-Aqsha dan menjadikannya sebagai kancah pemerkosaan Hak Asasi Manusia (HAM) yang terburuk sepanjang sejarah peradaban manusia. Seperti menguasai, melakukan pembakaran, pelarangan untuk shalat, pembunuhan, bahkan rencana merobohkan Al-Aqsha lewat jalur terowongan, serta menggantinya dengan sinagog Yahudi.
Terhitung sejak tahun 1967 sampai sekarang, ratusan kali terjadi insiden berdarah yang melibatkan Yahudi Israel yang melecehkan bahkan merusak masjid kiblat pertama umat Islam tersebut.
Adapun secara aqidah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala sudah memberikan janji kemenangan itu. Seperti yang Allah janjikan di dalam firman-Nya, di dalam Surat Al-Isra :
فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ أُولاَهُمَا بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَنَا أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ فَجَاسُوا خِلَالَ الدِّيَارِ وَكَانَ وَعْدًا مَفْعُولًا
Artinya : “Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana”. (Q.S. Al-Isra [17] : 5).
ثُمَّ رَدَدْنَا لَكُمُ الْكَرَّةَ عَلَيْهِمْ وَأَمْدَدْنَاكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ نَفِيرًا
Artinya : “Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar”. (Q.S. Al-Isra [17] : 6).
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الْآخِرَةِ لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا
Artinya : “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai”. (Q.S. Al-Isra [17] : 7).
Isyarat kemenangan itu juga disebutkan di dalam hadits:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ لَعَدُوِّهِمْ قَاهِرِينَ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ إِلاَّ مَا أَصَابَهُمْ مِنْ لَأْوَاءَ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَأَيْنَ هُمْ قَالَ بِبَيْتِ الْمَقْدِسِ وَأَكْنَافِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ
Artinya : “Tidak henti-hentinya thaifah dari umatku yang menampakkan kebenaran terhadap musuh mereka. Mereka mengalahkannya, dan tidak ada yang membahayakan mereka orang-orang yang menentangnya, hingga datang kepada mereka keputusan Allah Azza wa Jalla, dan tetaplah dalam keadaan demikian”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, di manakah mereka?”. Beliau bersabda, “Di Bait Al-Maqdis dan di sisi-sisi Bait Al-Maqdis”. (H.R. Ahmad dari Abi Umamah).
Untaian ayat Al-Quran di atas kiranya menjadi energi pembangkit perjuangan umat Islam membebaskan Masjid Al-Aqsha dari cengkeraman penjajah. Kebangkitan kesatupaduan umat Islam lewat isu sentral Al-Aqsha Haqquna merupakan suara peringatan dan teriakan menggema di angkasa bersandar pada Al-Quran.
Sebuah kekuatan yang oleh Paul Smith, seorang orientalis berkebangsaan Jerman, disebut sebagai “Kekuatan Internasional di Hari Esok”. Sebuah ikatan kokoh yang sanggup menghimpun segenap kaum muslimin dari berbagai macam kebangsaan.
Pandangan Smith, seperti dikutip oleh Syaikh Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya “Al-Ghazali Menjawab 40 Soal Islam Abad 20, Mengapa Islam Ditakuti?” (Mizan Bandung, 1999) dikemukakan, ”Kebangkitan Dunia Islam merupakan suara peringatan bagi Eropa dan merupakan teriakan yang menggema di angkasa berseru kepada Eropa, supaya berhimpun dan saling bersandar menghadapi raksasa yang sudah mulai bangkit”.
Lebih lanjut ia mengatakan, ”Kekuatan Al-Qur’an dalam menghimpun kekuatan seluruh kaum muslimin tidak dapat dianggap enteng! Berbagai peristiwa di masa lalu tidak menggoyahkan kepercayaan mereka kepada Al-Qur’an. Semangat Islam masih menguasai pikiran dan perasaan para pemimpinnya, dan keadaannya akan terus demikian selama bangsa-bangsa Islam masih tetap menggantungkan nasibnya kepada ajaran-ajaran Islam. Saya yakin, bahwa ikatan Islam sanggup menghimpun segenap kaum muslimin dari berbagai kaum muslimin dari berbagai macam kebangsaan.”
Dan liwa pembebasan Al-Aqsha “Allahu Akbar” itu sudah dikibarkan oleh utusan Jama’ah Muslimin (Hizbullah) dari Indonesia saat melakukan ziarah ke masjid tersebut, beberapa tahun lalu. Serta diperkuat secara simbolik diserahkan kepada Syaikh Dr Yusuf Al-Qaradhawi, saat berkunjung ke Jalur Gaza Palestina.
Bebas dengan atau Tanpa Kita
Allah Maha Kuat, Maha Perkasa, lagi Maha Kuasa, sesungguhnya yang mengalahkan Zionis Israel dan sekutunya hanyalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kita hamba-hamba-Nya hanyalah menjalankan amanah-Nya, melaksanakan perintah-Nya, berjihad di jalan-Nya. Adapun kemenangan adalah hak mutlak Allah. Ketahuilah, bahwa yang mampu mengalahkan Zionis Israel bukanlah pada kekuatan senjata, materi, dan fisik. Tetapi terletak pada aqidah yang kokoh kepada Allah. Kita bersandar dan bergantung hanya kepada Allah, “Allaahus shomad”.
Amanah Pembebasan Al-Aqsha ini adalah suatu yang haq, benar adanya, berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Kalau haq, jawaban kita adalah “Sami’na wa atho’na”. Kalaupun masih ada di antara kita yang belum siap berangkat jihad Membebaskan Al-Aqsha, ‘matahari’ tidak akan berhenti hanya karena seseorang. Tetapi akan terus berjalan seiring perjalanan waktu.
“Al-Aqsha tetap akan dibebaskan oleh kaum Muslimin Mukminin, dengan atau tanpa kita,” ujar Dr Adhyaksa Dault, suatu ketika dalam Tabligh Akbar di Masjid At-Taqwa Kompleks Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor beberaoa tahun lalu.
Solidaritas Al-Aqsha akan terus berjalan seiring perjalanan waktu sampai Masjid Al-Aqsha kembali ke pangkuan muslimin. Pembebasan Al-Aqsha ini tentu saja melibatkan seluruh kaum muslimin muslimat, besar kecil, tua muda, dan seluruh komponen lapisan masyarakat hingga Masjid Al-Aqsha serta kawasan Palestina dan sekitarnya bisa dibebaskan dari Zionis Israel, kembali ke pangkuan muslimin. “isy kariman aw mut syahidan”.
Di dalam hadits dinubuwwahkan kemenangan itu :
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ الْمُسْلِمُونَ الْيَهُودَ فَيَقْتُلُهُمْ الْمُسْلِمُونَ حَتَّى يَخْتَبِئَ الْيَهُودِيُّ مِنْ وَرَاءِ الْحَجَرِ وَالشَّجَرِ فَيَقُولُ الْحَجَرُ أَوْ الشَّجَرُ يَا مُسْلِمُ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا يَهُودِيٌّ خَلْفِي فَتَعَالَ فَاقْتُلْهُ إِلَّا الْغَرْقَدَ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرِ
Artinya : “ Tidak akan terjadi kiamat sehingga kaum Muslimin berperang dengan Yahudi, maka kaum Muslimin berhasil membunuh mereka sehingga Yahudi bersembunyi di balik pohon dan batu. Lalu batu atau pohon itu berkata : Wahai Muslim.. Wahai hamba Allah! Ini Yahudi sembunyi di belakangku, maka segera bunuh dia, kecuali gharqad karena ia adalah dari pohon Yahudi. (H.R. Muslim).
Semoga kita menjadi bagian dari jihad pembebasan Al-Aqsha itu. Ruh semangat Isra Mi’raj semoga dapat memperjalankan jiwa dan raga kita untuk bergerak membebaskan Al-Aqsha. Amin Ya Robbal ‘Alamin. Allahu Akbar! Al-Aqsha haqquna!! (P4/P2).

Oleh : Ali Farkhan Tsani 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar