Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Jumat, 04 November 2016

Bagaimana sikap kita dg ungkapan tokoh ormas yang membela pelecehan orang kafir terhadap al-Quran?

Surat al-Maidah ayat 51                                                                                                Bagaimana tafsir surat al-Maidah ayat 51. Dan bagaimana sikap kita dg ungkapan tokoh ormas yang membela pelecehan orang kafir terhadap al-Quran?

Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Sebelum membahas tafsir surat al-Maidah ayat 51, saya tertarik untuk menyebutkan dua
catatan terkait peristiwa ini,
Pertama, kejadian ini merupakan imbal balik atas konspirasi yang digencarkan si gubernur kafir
Seketika ayat ini menjadi sangat tenar di masyarakat, setelah si gubernur kafir itu berusaha ingin menggugatnya dari al-Quran. Masyarakat sering menyebutnya, serasa baru saja diturunkan. Melihat keadaan ini saya teringat peristiwa wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebelum kedatangan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, Umar berkhutbah dengan lantang, menegaskan bahwa  Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mati. Tapi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi panggilan Rab-nya seperti yang terjadi pada Musa ‘alaihis salam.
Ketika Abu Bakr datang, beliau langsung mendatangi jenazah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memastikan kondisinya. Setelah beliau melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Muhammad telah meninggal, beliau langsung keluar rumah duka menuju  masjid, menyuruh Umar untuk duduk, dan beliau menyampaikan pesan,
أما بعد، من كان منكم يعبد محمدا صلى الله عليه وسلم فإن محمدا قد مات، ومن كان منكم يعبد الله، فإن الله حي لا يموت
Amma ba’du, siapa yang menyembah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketahuilah bahwa Muhammad telah meninggal. Dan siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup, dan tidak mati.
Kemudian Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu mengutip firman Allah,
وَما مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ، قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ، أَفَإِنْ ماتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلى أَعْقابِكُمْ، وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئاً، وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah ada sebelumnya beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu akan murtad? Barangsiapa yang murtad, ia tidak dapat merugikan Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS. Ali Imran: 144)
Kata Ibnu Abbas, mengomentari pernyataan di atas,
والله لكأن الناس لم يعلموا أن الله أنزل هذه الآية حتى تلاها أبو بكر، فتلقاها منه الناس كلهم، فما أسمع بشرا من الناس إلا يتلوها
Demi Allah, seolah-olah masyarakat belum pernah tahu bahwa Allah telah menurunkan ayat ini, sampai dibaca oleh Abu Bakr. Lalu disebut-sebut semua orang. Setiap saya bertemu orang, pasti dia membaca ayat ini. (ar-Rahiq al-Makhtum, hlm. 432).
Sebelum gubernur kafir itu menyebutnya, masyarakat gak pernah sadar dan gak pernah ada perhatian tentang ayat ini. Banyak masyarakat juga gak pernah perhatian, bahwa ayat ini merupakan dalil larangan memilih pemimpin dari yahudi dan nasrani. Sungguh ini efek samping dari konspirasi yang sedang digencarkan si gubernur kafir itu. Namun Allah menghendaki lain, konspirasi balas konspirasi,
وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
Mereka melakukan konspirasi, dan Allah juga membalas konspirasi mereka. Dan Allah sebaik-baik dalam membalas konspirasi. (QS. Ali Imran: 54)
Kedua, bahwa orang kafir sekalipun, mereka bisa memahami pesan yang ada dalam al-Qur’an. Meskipun mereka ndableg, dan tidak mau menerimanya. Mereka kufur kepada seluruh isi al-Quran. Ini dalil bahwa sebenarnya hujjah (bukti kebenaran) telah sampai kepada mereka. Hanya saja mereka tidak memiliki  hidayah taufiq, sehingga mereka tidak mau mengamalkannya.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari jalur Thariq bin Syihab, bahwa pernah ada orang Yahudi yang datang menemui Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, lalu mengatakan,
يا عمر، إنكم تقرءون آية في كتابكم، لو علينا معشر اليهود نزلت لاتخذنا ذلك اليوم عيدا
Wahai Umar, kalian membaca satu ayat di kitab kalian, andaikan ayat ini turun kepada kami kaum Yahudi, tentu akan kami jadikan hari turunnya ayat itu sebagai hari raya.
Umar bertanya: “Ayat apa itu?”
Jawab Yahudi: “Firman Allah,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
“Pada hari dimana Aku sempurnakan agama kalian untuk kalian, dan aku penuhi nikmat-Ku (nikmat hidayah) untuk kalian…” (QS. Al-Maidah: 3)
Selanjutnya, khalifah Umar berkomentar,
والله إني لأعلم اليوم الذي نزلت على رسول الله صلى الله عليه وسلم، والساعة التي نزلت فيها على رسول الله صلى الله عليه وسلم، نزلت عَشية عَرَفَة في يوم جمعة
“Demi Allah, saya tahu hari dimana ayat ini turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, waktu dimana ayat ini turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ayat ini turun di siang hari Arafah, pada hari Jumat.” (HR. Ahmad 188).
Ini menunjukkan bahwa orang sesat seukuran yahudi sekalipun, mereka tetap membaca al-Quran, sehingga hujjah telah sampai ke mereka.

Tafsir QS. al-Maidah ayat 51

Saya tidak perlu berpannjang lebar. Hanya ingin mencamtumkan riwayat dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu.  Dari Sammak bin Harb, dari Iyadh,
أن عمر أمر أبا موسى الأشعري أن يرفع إليه ما أخذ وما أعطى في أديم واحد، وكان له كاتب نصراني، فرفع إليه ذلك، فعجب عمر رضي الله عنه وقال: إن هذا لحفيظ، هل أنت قارئ لنا كتابًا في المسجد جاء من الشام؟ فقال: إنه لا يستطيع أن يدخل المسجد فقال عمر: أجُنُبٌ هو؟ قال: لا بل نصراني. قال: فانتهرني وضرب فخذي، ثم قال: أخرجوه” ثم قرأ: { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ
Umar memerintahkan Abu Musa al-Asy’ari untuk melaporkan semua yang diterima dan yang diserahkan dalam satu catatan. Abu Musa memiliki juru tulis beragama nasrani. Kemudian catatan itu diserahkan. Dan Umar radhiyallahu ‘anhu terheran, beliau mengatakan, “Ini sangat rinci.” Lalu beliau meminta,
“Apakah nanti di masjid, kamu bisa membacakan untuk kami, surat yang datang dari Syam?”
Abu Musa mengatakan, “Dia tidak boleh masuk masjid?”
Tanya Umar, “Mengapa? Apakah dia junub?”
“Bukan, dia nasrani.” Jawab Abu Musa.
Umar langsung membentakku dan memukul pahaku, dan mengatakan, “Keluarkan dia.”
kemudian beliau membaca firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim..” (QS. Al-Maidah: 51)
Riwayat ini disebutkan oleh Ibnu katsir dalam tafsirnya (3/132).
Umar melarang, jangan sampai orang kafir menjadi pejabat yang memiliki posisi di pemerintahan. Sekalipun dia hanya seorang akuntan negara.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar