Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Selasa, 30 September 2014

Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad Tentang ISIS

Bismillahirrahmanirrahim.
Segala puji hanya untuk Allah semata. Semoga Allah selalu memberi shalawat dan salam kepada orang yang tidak ada nabi setelahnya, (yaitu) Nabi kita, Muhammad. Juga kepada keluarga dan para shahabat beliau.
Amma ba’du,

Telah lahir di Iraq beberapa tahun lalu, sebuah kelompok yang menamakan dirinya sebagai Negara Islam Iraq dan Syam. Penyebutannya (dalam bahasa Arab, pent.) dikenal dengan empat huruf yang merupakan huruf awal dari negara sangkaan ini sehingga disebut Dâ’isy (داعش)[1]. Sebagaimana yang disebutkan oleh sebagian orang yang mengikuti kemunculan dan peristiwa-peristiwa (ISIS) bahwa telah silih berganti dalam kepemimpinannya sejumlah (orang) yang disebut pada setiap dari mereka sebagai Abu Fulan Al-Fulany atau Abu Fulan Ibnu Fulan, kunyah[2] disertai nisbah kepada negeri atau kabilah sebagaimana keadaan orang-orang majhûl ‘yang tidak dikenal’ bertirai dengan kunyah-kunyah atau nisbah-nisbah setelah kurun waktu berlalu perang antara sistem (pemerintah) dan orang-orang yang memeranginya, sejumlah anggota dari kelompok (ISIS) ini masuk bukan untuk memerangi sistem (pemerintahan), melainkan mereka memerangi Ahlus Sunnah yang melawan sistem dan mereka membunuh (Ahlus Sunnah).
Telah masyhur bahwa cara mereka (ISIS) membunuh siapa saja yang mereka kehendaki terbunuhnya dengan menggunakan pisau-pisau yang merupakan hal terjelek dan terngeri dalam membunuh anak manusia.
Pada awal Ramadhan ini[3], mereka mengubah nama kelompok mereka menjadi Khilafah Islamiyah. Khalifah mereka, yang disebut dengan Abu Bakr Al-Baghdâdy, telah berkhutbah di Jâmi (Masjid Raya) Al-Mûshil. Di antara ucapannya di dalam khutbahnya, “Saya telah dijadikan pemimpin terhadap kalian, sedang Saya bukanlah yang terbaik dari kalian.”
Sungguh dia telah benar bahwa dia bukan yang terbaik dari mereka. Karena, membunuh orang-orang yang mereka bunuh dengan menggunakan pisau-pisau, jika terjadi dengan perintahnya atau dengan pengetahuan dan persetujuannya, maka dia adalah yang terjelek dari mereka.
Berdasarkan sabda (Rasulullah) shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى، كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Siapa saja yang menyeru kepada petunjuk, bagi dia pahala seperti pahala-pahala orang yang mengikutinya. Hal tersebut tidak mengurangi pahala-pahala mereka sama sekali. Juga, siapa saja yang menyeru kepada kesesatan, bagi dia dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya. Hal itu tidak mengurangi dosa-dosa mereka sama sekali.” [Diriwayatkan oleh Muslim (6804)]
Kalimat yang khalifah (ISIS) ucapkan pada khutbahnya telah diucapkan oleh awal khalifah dalam Islam setelah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, (yaitu) Abu Bakr -Semoga Allah meridhainya dan membuatnya ridha-. Beliau adalah orang terbaik pada umat (Islam) ini yang merupakan sebaik-baik umat. (Abu Bakr) mengucapkan (kalimat) itu untuk merendah diri, padahal beliau dan para shahabat tahu bahwa beliau adalah yang terbaik di antara mereka berdasarkan dalil-dalil dari sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan akan hal tersebut.
Oleh karena itu, di antara hal terbaik untuk kelompok (ISIS) ini adalah memeriksa dirinya dan kembali kepada petunjuk sebelum negara mereka menjadi tiupan angin sebagaimana keadaan siapa saja yang semisal dengannya yang telah berlalu dalam berbagai masa yang berbeda.
Termasuk hal yang disayangkan bahwa fitnah khilafah sangkaan yang baru lahir beberapa hari ini mendapat penerimaan dari sebagian remaja belia di negeri Haramain. Mereka menampakkan kegembiraan dan kesenangan mereka kepada kelompok tersebut seperti orang yang sangat kehausan bergembira dengan fatamorgana. Pada mereka ada yang menyangka (bahwa ada syariat) membaiat khalifah yang majhul ini! Padahal, bagaimana mungkin diharapkan kebaikan dari orang-orang yang terkena bala pengafiran dan pembunuhan dengan cara pembunuhan yang paling jelek dan mengerikan.
Kewajiban para pemuda itu adalah menahan diri-diri mereka agar tidak tergiring di belakang teriakan setiap penyeru. Juga, hendaknya mereka rujuk akan setiap tindakan kepada (petunjuk) yang datang dari Allah ‘Azza wa Jalla dan dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam karena, dalam hal tersebut, terdapat jaminan, penjagaan, dan keselamatan di dunia dan akhirat. Juga hendaknya mereka kembali kepada ulama, para penasihat untuk mereka dan untuk kaum muslimin.
Salah satu contoh keselamatan orang yang telah berfikir pada suatu kesesatan dengan sebab kembali kepada ulama adalah (keterangan) yang diriwayatkan oleh Muslim (191) dari Yazîd bin Faqir. (Yazîd) bertutur,
كُنْتُ قَدْ شَغَفَنِي رَأْيٌ مِنْ رَأْيِ الْخَوَارِجِ، فَخَرَجْنَا فِي عِصَابَةٍ ذَوِي عَدَدٍ نُرِيدُ أَنْ نَحُجَّ، ثُمَّ نَخْرُجَ عَلَى النَّاسِ، قَالَ: فَمَرَرْنَا عَلَى الْمَدِينَةِ، فَإِذَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ، جَالِسٌ إِلَى سَارِيَةٍ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَإِذَا هُوَ قَدْ ذَكَرَ الْجَهَنَّمِيِّينَ، قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: يَا صَاحِبَ رَسُولِ اللهِ، مَا هَذَا الَّذِي تُحَدِّثُونَ؟ وَاللهُ يَقُولُ: {إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ} وَ {كُلَّمَا أَرَادُوا أَنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا أُعِيدُوا فِيهَا} ، فَمَا هَذَا الَّذِي تَقُولُونَ؟ قَالَ: فَقَالَ: «أَتَقْرَأُ الْقُرْآنَ؟» قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: «فَهَلْ سَمِعْتَ بِمَقَامِ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ – يَعْنِي الَّذِي يَبْعَثُهُ اللهُ فِيهِ -؟» قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: «فَإِنَّهُ مَقَامُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَحْمُودُ الَّذِي يُخْرِجُ اللهُ بِهِ مَنْ يُخْرِجُ»، قَالَ: ثُمَّ نَعَتَ وَضْعَ الصِّرَاطِ، وَمَرَّ النَّاسِ عَلَيْهِ، – قَالَ: وَأَخَافُ أَنْ لَا أَكُونَ أَحْفَظُ ذَاكَ – قَالَ: غَيْرَ أَنَّهُ قَدْ زَعَمَ أَنَّ قَوْمًا يَخْرُجُونَ مِنَ النَّارِ بَعْدَ أَنْ يَكُونُوا فِيهَا، قَالَ: – يَعْنِي – فَيَخْرُجُونَ كَأَنَّهُمْ عِيدَانُ السَّمَاسِمِ، قَالَ: «فَيَدْخُلُونَ نَهَرًا مِنْ أَنْهَارِ الْجَنَّةِ، فَيَغْتَسِلُونَ فِيهِ، فَيَخْرُجُونَ كَأَنَّهُمُ الْقَرَاطِيسُ»، فَرَجَعْنَا قُلْنَا: وَيْحَكُمْ أَتُرَوْنَ الشَّيْخَ يَكْذِبُ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَرَجَعْنَا فَلَا وَاللهِ مَا خَرَجَ مِنَّا غَيْرُ رَجُلٍ وَاحِدٍ، أَوْ كَمَا قَالَ: أَبُو نُعَيْمٍ
“Saya pernah tertarik pada suatu pemikiran Khawarij. Kami keluar dalam sebuah kelompok memiliki jumlah (banyak) untuk berhaji kemudian keluar kepada manusia[4]. Kami melalui Madinah. Ternyata Jâbir bin Abdillah duduk kepada sebuah tiang menyampaikan hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk kaum (yang hadir). Beliau ternyata menyebut jahannamiyyin[5].
Saya berkata kepada (Jâbir), ‘Wahai sahabat Rasulullah, apa yang Engkau ceritakan ini? Padahal Allah berfirman, ‘Sesungguhnya siapa saja yang Engkau masukkan ke dalam neraka, sungguh Engkau telah menghinakannya,’ [Âli ‘Imrân: 192] dan, ‘Setiap kali mereka hendak keluar dari (neraka) itu, mereka dikembalikan ke dalam (neraka) tersebut.’ [As-Sajadah: 20] Lalu apa yang kalian ucapkan ini?
(Jâbir) berkata, ‘Apakah Engkau membaca Al-Qur`an?’
Saya berkata, ‘Iya.’
(Jâbir) berkata, ‘Apakah Engkau telah mendengar tentang maqam Muhammad ‘alaihis salâm, yakni yang beliau diutus padanya?’
Saya menjawab, ‘Iya.’
(Jâbir) berkata, ‘Sesungguhnya itu adalah maqam Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang terpuji, yang dengan (maqam) itu Allah akan mengeluarkan siapa saja yang akan dikeluarkan.’
Kemudian (Jâbir) menyifatkan tentang peletakan Ash-Shirât dan perjalanan manusia di atasnya. (Perawi) berkata ‘Saya khawatir tidak menghafal hal tersebut.’ (Perawi) berkata, ‘Tetapi (Jâbir) menyangka bahwa sekelompok kaum telah keluar dari neraka setelah berada di dalam (neraka).’ Dia berkata, ‘Yakni mereka dikeluarkan bagaikan kayu hitam yang telah kering.’ Dia berkata, ‘Kemudian mereka dimasukkan ke dalam sebuah sungai di antara sungai-sungai surga, lalu mereka mandi di (sungai) itu, kemudian mereka keluar seperti kertas-kertas (yang sangat putih).’
Maka kami pun rujuk dengan berkata, ‘Apakah kalian menyangka bahwa Syaikh (Jâbir) itu  berdusta terhadap Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam!!!’
Kami pun kembali (dari haji) dan, demi Allah, tidak ada di antara kami yang melakukan khurûj, kecuali seorang lelaki.” Atau seperti yang diceritakan oleh Abu Nu’aim.”
Abu Nu’aim adalah Al-Fadhl bin Dukain, salah seorang perawi sanad.
(Hadits ini) menunjukkan bahwa kelompok ini ditimpa bala dengan merasa kagum kepada pendapat Khawarij yang mengafirkan pelaku dosa besar dan menganggap (pelaku dosa besar) kekal di dalam neraka. Mereka, dengan pertemuan dan penjelasan Jâbir radhiyallâhu ‘anhu, mengikuti arahan (Jabir) dan meninggalkan kebatilan yang mereka pahami serta berpaling dari khurûj ‘kudeta’ yang mereka bersemangat untuknya setelah haji. Ini adalah salah satu manfaat terbesar yang dipetik oleh seorang muslim dengan kembali kepada para ulama.
Selain itu, di antara hal yang menunjukkan bahaya ekstrem dalam beragama dan berpaling dari kebenaran serta menjauhi (tuntunan) yang Ahlus Sunnah Wal Jamaah berada di atas (tuntunan) tersebut adalah sabda (Rasulullah) shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Hudzaifah radhiyallâhu ‘anhu,
إن أخوف ما أخاف عليكم رجل قرأ القرآن، حتّى إذا رُئيتْ بهجتُه عليه، وكان رِدْءاً للإسلام؛ انسلخ منه ونبذه وراء ظهره، وسعى على جاره بالسيف، ورماه بالشرك. قلت: يا نبيَّ الله! أيُّهما أولى بالشرك، الرامي أو المرمي؟ قال: بل الرامي
“Sesungguhnya, yang paling Saya khawatirkan atas kalian adalah seorang lelaki yang membaca Al-Qur`an hingga, saat terlihat keelokan (Al-Qur`an) padanya dan dia telah menjadi pelindung Islam, dia berpaling dari (Al-Qur`an) dan membuang (Al-Qur`an) di belakang punggungnya, serta bergerak kepada tetangganya dengan pedang dan menuduh (tetangga)nya dengan kesyirikan.” Saya (Hudzaifah) bertanya, “Wahai Nabi Allah, siapakah yang lebih pantas dengan kesyirikan itu? Si penuduh atau yang dituduh?” Beliau menjawab, “Bahkan yang dituduh.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dalam At-Târikh, Abu Ya’lâ, Ibnu Hibbân, dan Al-Bazzâr. Lihatlah Ash-Shahîhah (3201).
Usia belia adalah masa (rentang) pemahaman jelek. Hal tersebut ditunjukkan oleh riwayat Al-Bukhâry dalam Shahîh beliau (4495) dengan sanadnya kepada Hisyâm bin ‘Urwah, dari ayahnya bahwa beliau berkata,
قُلْتُ لِعَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ حَدِيثُ السِّنِّ: أَرَأَيْتِ قَوْلَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: {إِنَّ الصَّفَا وَالمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ البَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا}. فَمَا أُرَى عَلَى أَحَدٍ شَيْئًا أَنْ لاَ يَطَّوَّفَ بِهِمَا؟ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: ” كَلَّا، لَوْ كَانَتْ كَمَا تَقُولُ، كَانَتْ: فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ لاَ يَطَّوَّفَ بِهِمَا، إِنَّمَا أُنْزِلَتْ هَذِهِ الآيَةُ فِي الأَنْصَارِ، كَانُوا يُهِلُّونَ لِمَنَاةَ، وَكَانَتْ مَنَاةُ حَذْوَ قُدَيْدٍ، وَكَانُوا يَتَحَرَّجُونَ أَنْ يَطُوفُوا بَيْنَ الصَّفَا وَالمَرْوَةِ، فَلَمَّا جَاءَ الإِسْلاَمُ سَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {إِنَّ الصَّفَا وَالمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ البَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا} “
“Saya bertanya kepada Aisyah, istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, sedang saya berusia muda pada waktu itu, ‘Bagaimana pendapatmu tentang firman Allah, ‘Sesungguhnya Shafâ dan Marwa adalah sebagian dari syiar Allah. Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.’ [Al-Baqarah: 158]? Saya berpandangan bahwa tidak ada (masalah) apapun bagi orang yang tidak melaksanakan sa’i antara keduanya.’
Aisyah menjawab, ‘Sama sekali tidak (seperti itu). Andaikata seperti yang Engkau ucapkan berarti tidak ada dosa bagi siapa saja yang tidak mengerjakan sa’i antara keduanya!!! Padahal ayat ini turun kepada orang-orang Al-Anshâr yang memulai ihlâl (ihram) dari (berhala) Manah, sedang Manah sejajar dengan Qudaid. Mereka beranggapan bahwa berdosa jika mengerjakan sa’i antara Shafâ dan Marwa. Tatkala Islam datang, mereka bertanya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut maka Allah menurunkan (firman-Nya), ‘Sesungguhnya Shafâ dan Marwa adalah sebagian dari syiar Allah. Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.’ [Al-Baqarah: 158]”
‘Urwah bin Az-Zubair adalah salah seorang tabi’in yang terbaik. Beliau adalah salah satu dari tujuh ahli fiqih Madinah pada masa para tabi’in. Beliau telah memberi pendahuluan akan kesalahannya dalam memahami karena kondisi umurnya yang masih muda saat bertanya tentang itu. Ini adalah (dalil) yang sangat jelas bahwa usia belia adalah masa (rentang) pemahaman yang jelek. Juga (menunjukkan) bahwa kembali kepada ulama mengandung kebaikan dan keselamatan.
Dalam Shahîh Al-Bukhâry (7152) dari Jundub bin Abdillah, beliau berkata,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُنْتِنُ مِنَ الإِنْسَانِ بَطْنُهُ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَأْكُلَ إِلَّا طَيِّبًا فَلْيَفْعَلْ، وَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يُحَالَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجَنَّةِ بِمِلْءِ كَفِّهِ مِنْ دَمٍ أَهْرَاقَهُ فَلْيَفْعَلْ
“Sesungguhnya awal (bagian) yang busuk dari manusia adalah perutnya. Barangsiapa yang mampu tidak makan, kecuali (makanan) yang baik, hendaknya dia lakukan. Barangsiapa yang mampu tidak dihalangi antara dirinya dan surga lantaran setelapak tangan darah yang dia tumpahkan, hendaknya dia lakukan.”
Al-Hâfizh dalam Al-Fath (13/130) berkata, “Telah terjadi juga dalam riwayat Ath-Thabarâny dari jalur Ismail bin Muslim dari Al-Hasan dari Jundub. Lafazhnya adalah, “Kalian mengetahui bahwa Saya mendengar Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah sekali-kali salah seorang dari kalian dipisahkan dari surga yang telah dia lihat oleh setelapak tangan darah seorang muslim yang ditumpahkan tanpa hal yang menghalalkan.’ (Hadits) ini, walaupun datang dalam riwayat yang menegaskan marfu’nya, tetap berada pada hukum (hadits) marfu’ karena ini adalah hal yang tidak diucapkan oleh suatu pendapat. (Hadits ini) adalah ancaman keras terhadap pembunuh muslim tanpa hak.”
Hadits-hadits dan atsar-atsar ini adalah sebagian (riwayat) yang telah Saya bawakan pada risalah Bi Ayyi Aqlin Wa Dîn Yakûnut Tafjîr Wat Tadmîr Jihâdan?! Waihakum Afîqû Yâ Syabâb ‘Akal dan Agama Apa yang Menjadikan Peledakan dan Penghancuran sebagai Jihad: Betapa Kasihan Kalian. Wahai Para Pemuda, Sadarlah’. Pada (risalah) itu ada berbagai ayat dan hadits-hadits beserta atsar-atsar yang banyak tentang pengharaman terhadap seseorang untuk membunuh dirinya dan membunuh orang lain tanpa hak. Risalah ini telah tercetak sendiri pada tahun 1424 H dan dicetak pada tahun 1428 H bersama risalah lain dengan judul Badzlun Nushhi Wat Tadzkîr Libaqâyâ Al-Maftûnîn Bit Takfîr Wat Tafjir ‘Mencurahkan Nasihat dan Peringatan terhadap Orang-Orang yang Masih Terfitnah dengan Pengafiran dan Peledakan’ dalam rangkaian kumpulan buku-buku dan risalah-risalah (6/225-279).
Para pemuda yang terseret di belakang seruan kelompok (ISIS) ini hendaknya mengintrospeksi diri dan kembali kepada jalan petunjuk. Hendaknya jangan ada dari mereka yang berpikir untuk bergabung dengan (kelompok ini) sehingga mengeluarkan mereka dari kehidupan dengan memakai sabut-sabut peledak atau menyembelih dengan pisau-pisau yang merupakan ciri khusus kelompok ini.
Hendaknya mereka berkomitmen untuk mendengar dan taat kepada negara Saudi yang mereka, ayah-ayah, dan kakek-kakek mereka hidup dalam wilayah (negara) dengan keamanan dan perlindungan.
(Arab Saudi) -dengan sebenarnya- adalah negara yang paling lurus dan baik di alam ini, walaupun ada kekurangan yang pokok penyebabnya adalah fitnah orang-orang yang mengikuti (kaum) Barat di negeri ini yang menjilat di belakang (kaum) Barat, ikut-ikutan pada segala hal yang membahayakan.
Saya bermohon kepada Allah agar memperbaiki keadaan kaum muslimin di semua tempat dan memberi hidayah untuk para pemuda –baik anak laki-laki maupun anak perempuan- kepada segala kebaikan. Juga (Saya bermohon agar Allah) menjaga negeri Haramain –baik pemerintah maupun rakyat- dari segala kejelekan  dan memberi taufiq kepadanya terhadap segala kejelekan dan menjaganya dari kejelekan orang-orang jelek dan makar orang-orang fajir. Sungguh (Allah) Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan (doa). Shalawat dan salam dari Allah semoga selalu (tercurah) kepada Nabi kita, Muhammad, serta keluarga dan sahabat beliau.


[1] Dikenal dengan sebutan ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria). Nama ini pula yang dikenal di Indonesia, pent.
[2] Gelar panggilan yang didahului dengan kata Abu atau Ummu, pent.
[3] 1435 H, pent.
[4] Maksudnya adalah bahwa mereka berangkat dalam rombongan besar untuk berhaji kemudian keluar kepada manusia menampakkan madzhab Khawarij serta menyeru dan menganjurkan manusia untuk mengikuti madzhab tersebut. Demikian keterangan Imam Nawawy dalam Syarah Muslim, pent.
[5] Orang-orang yang berada di dalam neraka kemudian dikeluarkan menuju surga, pen

sumber: http://dzulqarnain.net/fatwa-syaikh-abdul-muhsin-al-abbad-tentang-isis.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar