Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Minggu, 15 September 2013

Wasiat Luqman Kepada Anaknya (III)

Wasiat Ketiga
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
(Artinya: “Dan seandainya mereka (kedua orangtua)  memaksamu untuk menyekutukan-Ku yang kamu tidak memiliki ilmu akannya, maka jangan ta’ati keduanya namun perlakukan mereka di dunia secara ma’ruf. Dan ikutilah jalan mereka yang kembali
kepada-Ku. Kemudian kepada-Ku lah kalian semua akan kembali, maka kelak akan Aku jelaskan kepada kalian apa-apa yang selama ini kalian kerjakan..” ) (Luqman: 15)
Setelah sebelumnya, pada wasiat kedua, ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa mengabarkan Wasiat Luqman kepada anaknya -berupa perintah berbuat baik kepada kedua orangtua-, maka pada ayat ini (selanjutnya) ALLAH secara langsung mengingatkan kepada segenap manusia agar tidak menuruti kedua orangtua mereka seandainya diperintahkan untuk menyekutukan ALLAH. Namun demikian, tetaplah diperintahkan untuk bergaul dan memperlakukan kedua orangtuanya -di dalam urusan yang tidak menyangkut agama- secara baik.
Ibnu Katsir -rahimahullah-  menjelaskan tentang ayat tersebut di atas, “Maksudnya adalah jika keduanya benar-benar menginginkan engkau untuk mengikuti agama mereka, maka janganlah engkau penuhi. Namun hal itu tidak menghalangimu untuk berbuat baik kepada mereka di dunia. Dan ikutilah jalan orang-orang beriman.”
Dikaitkan ayat sebelumnya (“Dan Kami wasiatkan (perintahkan) kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya…”) dengan ayat di atas  (“Dan seandainya mereka (kedua orangtua)  memaksamu untuk menyekutukan-Ku …”) memberikan pelajaran kepada kedua belah pihak, anak dan orangtua sekaligus.
Kepada Anak
ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa telah mewajibkan setiap manusia (anak) untuk ta’at dan berbakti kepada kedua orangtuanya. Namun manakala orangtuanya mengajak atau memerintahkan kepada perbuatan ma’shiyat, apakah itu berupa syirik, bid’ah, atau bentuk-bentuk pelanggaran syari’at lainnya,  maka anaknya wajib menolak.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda:
السمع والطاعة على المرء المسلم فيما أحب وكره ما لم يؤمر بمعصية
فإن أمر بمعصية فلا سمع عليه ولا طاعة (زواه الترمذي)
(Setiap pribadi muslim wajib mendengar dan ta’at  kepada perintah yang bukan ma’shiyat, baik senang maupun terpaksa. Dan jika diperintahkan untuk ma’shiyat, maka tidak boleh didengar dan dita’ati.)
Melalui ayat ini kita diingatkan, bahwa keta’atan kepada makhluq, termasuk kepada orangtua, tidaklah semutlak keta’atan kepada ALLAH dan kepada Rasul-Nya. Keta’atan kepada manusia hanya berlaku selagi yang diperintahkannya bukan berupa ma’shiyat. Kita (anak) diingatkan, bahwa haq ALLAH -sebagai satu-satunya Zat yang layak dibadahi, yang pantas untuk diberikan keta’aatan tanpa batas- tidak bisa diganggu gugat oleh manusia. orangtua sendiri sekalipun.
ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa tidak menginginkan diri-Nya ditandingi dalam hal dicintai dan seorang mu’min dituntut untuk mencintai ALLAH lebih dari selain-Nya.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ …
(Artinya: “Dan ada di antara manusia yang meciptakan tandingan bagi ALLAH. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai ALLAH. Adapun orang beriman itu sangatlah cinta kepada ALLAH…) (Al Baqarah: 165)
Dan tidak mungkin terjadi seseorang yang telah beriman kepada ALLAH dan kepada Hari Akhir kemudian mereka akan mencintai musuh-musuh ALLAH, meski itu orangtuanya sendiri.
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
(Artinya: “Tak akan kamu dapati kaum yang telah beriman kepada ALLAH dan Hari Akhir mereka berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi ALLAH dan Rasul-Nya, meskipun itu orangtua mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, atau keluarga mereka…”) (Al Mujaadilah: 22)
Bahkan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pun menegaskan:
لا يجد أحد حلاوة الإيمان حتى يحب المرء لا يحبه إلا لله،
وحتى أن يقذف في النار أحب إليه من أن يرجع إلى الكفر بعد إذ أنقذه الله،
وحتى يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما.
(Tidaklah seseorang mendapatkan manisnya iman sampai ia mencintai saudaranya karena ALLAH, sampai dijebloskan ke dalam neraka lebih ia sukai dari pada harus kembali kepada kekufuran, dan sampai ALLAH dan Rasul-Nya lebih ia cintai ketimbang yang lain.) (HR: Al Bukhari dari Anas bin Malik)
Seluruh nash (Al Qur’an dan Al Hadits) di atas mengingatkan kita (anak) agar :
  1. Cinta kita kepada orangtua semata–mata dilandasi karena cinta dan keta’atan kita kepada ALLAH.
  2. Cinta kita kepada orangtua tidak boleh mengalahkan cinta kita kepada ALLAH.
  3. Orang yang memusuhi ALLAH  dan Rasul-Nya tidak berhak mendapatkan cinta kasih, meski itu orangtua kita sendiri.
Kemudian ayat ini dilanjutkan dengan peringatan ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa : “…namun perlakukan mereka di dunia secara ma’ruf.” Ya, ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa tidak menghendaki larangan-Nya terhadap anak untuk ta’at kepada orangtuanya -di dalam ma’shiyat- menjadi sebab putusnya sama sekali hubungan duniawiyah di antara mereka.
Jika sebelumnya kita (anak) diingatkan untuk tidak kebablasan di dalam berbakti dan ta’at kepada orangtua, maka selanjutnya ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa pun mengingatkan untuk tidak kebablasan di dalam menyikapi orangtua yang mengajak berbuat ma’shiyat. Jika sebelumnya kita dilarang mencintai orang-orang yang memusuhi ALLAH dan Rasul-Nya, maka selanjutnya kita diingatkan, bahwa larangan mencintai ini tidak berarti juga larangan untuk berbuat baik kepada mereka. Karena berbuat baik kepada mereka (kedua orangtua) tidak mengharuskan adanya cinta dan kasih sayang. Dan seseorang yang berbuat baik kepada musuh-musuh ALLAH -terlebih itu orangtuanya sendiri- tidaklah berarti dianggap ia cinta kepada mereka. Maka begitu pula sebaliknya, membenci musuh-musuh ALLAH tidak otomatis harus bersikap jahat (tidak baik) kepada mereka. Menolak dan membenci ajakan kedua orangtua untuk berbuat syirik -apalagi yang lebih ringan dari itu- tidak berarti hilangnya kewajiban untuk berbuat baik dan adil kepada mereka. .Demikianlah maksud dari firman ALLAH , “…namun perlakukan mereka di dunia secara ma’ruf.”
Sikap semacam ini (senantiasa berbuat baik) lah yang ditempuh oleh Sa’ad bin Abi Waqqash -radhiallahu anhu- menghadapi ibunya yang memaksa beliau untuk kembali kepada kemusyrikan. Sikap ini pulalah yang Rasulullah -Shallallahu alaihi sallam- perintahkan kepada Asma bintu Abi Bakar -radhiallahu anha- untuk tetap melayani orang tuanya dan berbuat baik kepada mereka.
Maka hendaknya setelah ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa memberi kita hidayah Islam, juga hidayah untuk mengenal Sunnah (baca: Amalan Islam yang sesuai dengan contoh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-) kemudian kita dapati orangtua kita tidak menerima bahkan menolak apa yang kita sampaikan kepada mereka, tidaklah semua itu menjadi alasan untuk tidak berbuat baik serta adil terhadap mereka. Tidaklah semua itu mencegah kita untuk tetap harus bersikap sopan dan santun kepada mereka.
Kepada Orangtua
ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa mengingatkan kita (para orang tua), bahwasanya keta’atan anak kepada kita (orangtua) itu tidaklah semutlak keta’atan yang harus mereka berikan kepada ALLAH dan Rasul-Nya. Kita (orangtua) juga perlu berlapang dada manakala anak kita tidak mau menjalankan perintah kita, yang boleh jadi karena mereka telah mengetahui -berdasarkan ilmu yang telah dipelajarinya- bahwa perintah orangtuanya tersebut merupakan hal yang bertentangan dengan syari’at.
Itu artinya, orangtua dilarang memerintahkan anak untuk melakukan hal-hal yang dilarang di dalam agama Islam, membelikan rokok misalnya. Dan keengganan anak terhadap perintah semacam ini  -dari orangtuanya-  bukanlah kedurhakaan.
Ayat yang dhohirnya  menggambarkan perkara hubungan seorang anak -yang beriman-  dengan seorang tua -yang kafir atau musyrik- , yakni larangan seorang anak untuk mengikuti ajakan orangtuanya berbuat syirik kepada ALLAH, sebetulnya juga memberikan pelajaran bagi kita (orang tua) untuk tidak memaksakan kehendak -berdasarkan perasaan atau adat istiadat- kepada anak di dalam perkara yang anak telah mengetahui ilmunya menurut ajaran Islam.  Dan kita (orangtua) tidak boleh serta merta menuduh anak tidak mau berbakti, kurang ajar atau durhaka disebabkan mereka -dengan dilandasi dalil-dalil syar’i- menolak perintah kita. Bakti mereka yang kita tuntut -di dalam kondisi semacam ini- hanyalah yang bersifat duniawiyah.
Kemudian , sebagai penutup ayat, ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa memerintahkan untuk mengikuti jalan orang-orang yang kembali kepada-Nya kemudian kelak akan IA jelaskan dan balas seluruh amal yang kita lakukan selama di dunia.
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
(Artinya: “Dan ikutilah jalan mereka yang kembali kepada-Ku. Kemudian kepada-Ku lah kalian semua akan kembali, maka kelak akan Aku jelaskan kepada kalian apa-apa yang selama ini kalian kerjakan.)
Dan yang dimaksud ” mereka yang kembali kepada-Ku..” adalah orang-orang beriman. Dan orang beriman ketika itu tidak lain adalah Sahabat -radhiallahu anhum-. Mereka adalah orang-orang yang pertama menerima Islam dan menghadapi tantangan dari keluarga serta orang tua mereka. Para Sahabat -radhiallahu anhum-. bukan hanya pelopor di dalam menerima aqidah Islam dan di dalam mentauhidkan ALLAH dengan segala konsekuensinya. Lebih dari itu mereka adalah teladan di dalam akhlaq bermu’amalah, baik terhadap sesama orang beriman maupun yang selainnya, termasuk kepada karib kerabatnya. Mereka adalah generasi yang paling mengerti bagaimana harus mencintai dan membenci karena ALLAH.
Kecintaan mereka kepada orang lain -karena ALLAH- tidak menyebabkan kecintaannya kepada ALLAH dikalahkan atau dikorbankan. Begitu pula, kebencian mereka kepada orang lain -karena ALLAH- tidak membuat mereka berlaku dzalim. Mereka paling mengerti tentang perintah dan larangan ALLAH, dan paling paham maksud ayat-ayat di bawah ini :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
(Artinya: “Dan di antara manusia ada yang membuat tandingan-tandingan bagi ALLAH yang mereka cintai sebagaimana mereka mencintai ALLAH. Sedangkan orang-orang beriman sangatlah cinta kepada ALLAH.”) (Al Baqarah: 165)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
(Artinya: “Wahai orang-orang beriman, hendaknya kalian menjadi orang-orang yang menegakkan kebenaran karena ALLAH, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian berlaku tidak adil. Berlakulah adil, karena hal itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada ALLAH. Sesungguhnya ALLAH Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”) (Al Maa’idah:  8)

Karena keteladaan merekalah ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa memerintahkan kita untuk mengikuti dan mencontoh mereka. Dan kita semua akan mendapatkan balasan yang sesuai dengan amalan kita selama hidup di dunia. Wallahu A’lam.

oleh: Abu Khaulah Zainal Abidin
url: http://rumahbelajaribnuabbas.wordpress.com/jendela-orang-tua/wasiat-luqman-kepada-anaknya-ke-tiga/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar