Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Senin, 18 Maret 2013

Ketentuan-ketentuan Mudharabah

Islam mengatur mudharabah dengan ketentuan-ketentuan baku yang tidak boleh dilanggar agar sistem mudharabah tersebut syar’i. Jauh dari praktik ribawi, bersih dari noda pertaruhan dan judi.
Secara garis besar, ketentuan-ketentuan tersebut bermuara pada lima hal:

1. Modal (رَأْسُ الْمَالِ)
2. Kerja (الْعَمَلُ)
3. Keuntungan/Laba (الرِبْحُ)
4. Pemodal (صَاحِبُ الْمَالِ) dan pengelola (الْعَامِلُ/ الْمُضَارِبُ) yang biasa disingkat dengan (الْعَاقِدَانِ) yakni kedua belah pihak yang melakukan kontrak kerjasama usaha.
5. Akad/ijab qabul (الصِّيْغَةُ)

Modal (رَأْسُ الْمَالِ)
 Para ahli fiqh menyebutkan beberapa ketentuan terkait dengan masalah modal, walau sebagian besarnya masih dalam perbincangan di antara mereka. Di antaranya adalah:
1. Modal harus berupa alat bayar (نَقْدٌ) dalam hal ini adalah mata uang, baik dinar, dirham, ataupun yang lain.
Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Al-Mughni (6/418) menjelaskan: “Tidak ada khilaf (di kalangan ulama) tentang kebolehan menjadikan dirham dan dinar sebagai modal. Karena berfungsi sebagai mata uang dan alat bayar. Semenjak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang, orang-orang melakukan syirkah dengan modal tersebut tanpa ada pengingkaran.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juga menukilkan ijma’ ulama dalam Ar-Raudhah. Lihat Takmilah Al-Majmu’ (15/103) karya Al-Muthi’i.
Dalam hal menjadikan sebuah barang (عُرُوضٌ) sebagai modal, ada perselisihan di kalangan ahli fiqh. Bagi sebagian ahli fiqh yang memperbolehkannya, modal yang dianggap adalah nilai barang tersebut di saat akad, sedangkan laba rugi ditentukan sesuai persyaratan yang disepakati kedua belah pihak. Ketika akad mudharabah selesai (فَسَخٌ), kedua belah pihak mengembalikan modal awal dalam bentuk nilai barang tersebut saat akad. Ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Thawus, Auza’i, Hammad bin Abi Sulaiman, dan satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal. (Al-Mughni, 6/419)
Pendapat ini dirajihkan Asy-Syaikh Utsaimin rahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti’ (4/256).

2. Modal harus diketahui secara pasti jumlah nominalnya (مَعْلُومُ الْقَدَرِ) dan telah diberikan (مُعَيَّنٌ).
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan: “Termasuk persyaratan mudharabah adalah modal harus diketahui jumlah nominalnya, dan tidak diperbolehkan bila majhul (tidak diketahui) nominalnya atau juzaf (sesuatu yang dikira-kira tanpa ada timbangan atau takaran)….” (Al-Mughni, 6/422 dan 6/500).
Ini adalah madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad rahimahumallah. Dampak negatif yang ditimbulkan karena ketidakjelasan nominal sebuah modal adalah:
a) Ketika akad mudharabah selesai, berapa modal yang harus dikembalikan?
b) Hal tersebut rawan perselisihan dan memicu persengketaan.
c) Akan muncul banyak ketimpangan dan permasalahan saat usaha dijalankan.

Masalah 1: Si A punya uang dengan nominal tertentu dipinjam si B. Apakah boleh si A menjadikannya sebagai modal mudharabah dengan si C?
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjawab dalam Raudhah-nya. “Kalau seandainya dia punya piutang pada seseorang lalu berkata kepada pihak ketiga: ‘Aku lakukan akad qiradh denganmu. Modalnya adalah piutangku pada si fulan. Ambil dan kelolalah untuk sebuah usaha’ atau dia berkata  ‘Aku adakan akad qiradh denganmu. Ambil piutangku dan pakai sebagai modal usaha’ atau dia berkata ‘Ambil piutangku, jika sudah kamu pegang maka itu sebagai modal qiradh antara kita.’
Ini semua tidak sah. Bila sang amil (pengelola) sudah mengambilnya dan mengelola sebuah usaha, maka dia (si A) tidak berhak mendapatkan laba yang dipersyaratkan. Semua harta milik pemodal (shahibul maal), sedangkan sang amil hanya mendapatkan upah sebagai pegawai.
Begitu pula jika dia berkata kepada pihak yang berutang, ‘Aku adakan akad qiradh denganmu. Modalku adalah harta yang kamu pinjam.’ Ini semua tidak sah.” (Takmilah Al-Majmu’ 15/103, Al-Mughni 6/498)
Ketentuan sahnya akad mudharabah dengan kondisi di atas adalah dia harus mengambil terlebih dahulu harta tersebut (قَبْضٌ). Setelah ada di tangan, baru dia jadikan sebagai modal dalam akad mudharabah/qiradh.

Masalah 2: Bila si A punya uang yang dititipkan kepada si B, bolehkah dia jadikan modal mudharabah dengan si C?
Jawabnya:
Ada khilaf, yang rajih adalah diperbolehkan kecuali bila uang tersebut hilang. Maka tidak diperbolehkan sebab kasusnya akan sama dengan uang piutang dan ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan Ahmad rahimahumallah (Al-Mughni 6/500-501).

3. Tidak dipersyaratkan modal mudharabah diserahkan sepenuhnya kepada amil (mudharib/pengelola).
Sebab menurut pendapat yang lebih rajih, sang pemodal juga diperbolehkan ikut terjun dalam usaha mudharabah dan laba dibagi sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Ini adalah pendapat Hambali yang dirajihkan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (6/435).
Bahkan, bila sang pemodal mensyaratkan salah seorang pegawainya ikut serta dalam mengelola usaha, juga diperbolehkan dan ini adalah pendapat mayoritas sahabat radhiallahu ‘anhum.

4. Dalam akad syirkah secara umum, tidak dipersyaratkan kesamaan jenis mata uang dalam modal.
Masalah ini terjadi bila kedua belah pihak menjadi pemodal dan yang menjadi pengelola adalah salah satu atau keduanya, seperti pada syirkah ‘anan.
Maka diperbolehkan misalnya salah satunya mengeluarkan modal dalam bentuk rupiah, sementara yang lain dalam bentuk dolar.
Namun Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah memberikan catatan, apabila kurs (nilai tukar) kedua mata uang tersebut baku tidak berubah-ubah. Jika sering terjadi perubahan (fluktuatif) maka modal harus dari mata uang sejenis. (Asy-Syarhul Mumti’, 4/255, 264)

5. Apakah diperbolehkan mencampur modal dengan yang lainnya?
Masalah ini ada beberapa gambaran dengan hukum yang beragam:
a) Percampuran modal dua orang yang berserikat baik yang mengelola salah satu atau keduanya. Masalah ini terjadi pada syirkah ‘anan.
Pendapat yang rajih adalah tidak dipersyaratkan percampuran dua modal menjadi satu dalam usaha. Bahkan boleh masing-masing mengelola modalnya dalam sebuah usaha. Laba masing-masing usaha dibagi dua antara mereka.
Untuk lebih jelasnya, para ulama membagi “percampuran” menjadi dua:
• Percampuran total (اخْتِلَاطٌ تَامٌّ)
Yaitu mencampur dua modal menjadi satu untuk usaha yang dikelola secara bersama oleh kedua belah pihak. Jenis ini dipraktikkan di kalangan madzhab Syafi’i.
• Percampuran tempat (اخْتِلَاطُ الْمَكَانِ)
Maksudnya kedua modal disatukan di sebuah lokasi namun masing-masingnya dikelola dalam usaha yang berbeda.
Misal: sebuah supermarket, di sisi kanan untuk modal A dengan usaha A dikelola sendiri oleh pemilik modal. Sedangkan di sisi kiri untuk modal B dengan usaha B juga dikelola oleh pemodalnya sendiri.
Jenis ini dipakai oleh madzhab Maliki.
Pendapat yang shahih kedua percampuran di atas diperbolehkan. Ini adalah pendapat Al-Imam Ahmad rahimahullah dan dirajihkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalah Asy-Syarhul Mumti’ (4/264).
b) Percampuran modal mudharabah dengan harta sang amil (pengelola).
Pada prinsipnya, sang amil hanya mengelola modal mudharabah dengan shahibul maal (pemodal) dengan kesepakatan antara keduanya:
“Tidak diperbolehkan mencampur harta mudharabah dengan harta dia sendiri. Jika dilakukan dan tidak bisa diidentifikasi maka dia harus mengganti. Sebab, harta (mudharabah) adalah amanah. Kedudukannya sama dengan harta titipan (wadi’ah).” Demikian penjelasan Ibnu Qudamah t (Al-Mughni 6/464).
Adapun bila sang amil mengelola modal mudharabah untuk suatu usaha, di saat yang sama dia lupa mengelola hartanya sendiri, maka tidak boleh ada percampuran antara dua harta. Laba mudharabah bersendiri dibagi sesuai kesepakatan, sedangkan laba usaha sendiri untuk diri pribadi. (Al-Mughni 6/467)
Keadaan di atas dikecualikan bila ada izin dari shahibul maal baik izin umum, menurut sebuah pendapat, maupun izin khusus, menurut pendapat yang lain.
c) Percampuran dua modal dari shahibul maal. Ada dua keadaan:
- Shahibul maal (pemodal) dalam waktu bersamaan menyerahkan dua modal sekaligus kepada ‘amil.
Hal ini diperbolehkan bila sang pemodal mempersyaratkan percampuran modal. Bila ada syarat tersebut, maka sang ‘amil boleh mencampur kedua modal, baik besar modal keduanya sama atau berbeda, persentase bagi hasilnya sama maupun ada perbedaan.
• Shahibul maal menyerahkan dua modal pada waktu yang berbeda. Percampuran modal diperbolehkan dengan dua ketentuan:
• Shahibul maal menyerahkan modal ke-2 sebelum ‘amil mengelola modal pertama
- Adanya syarat percampuran modal
(Ar-Riba fil Mu’amalah Al- Mashrafiyyah 2/1089, Dr. Abdullah As-Sa’idi. Lihat Al-Mughni 6/480)
d) Percampuran modal dari dua shahibul maal (pemodal) atau lebih.
Masalah ini ada kaitannya dengan salah satu pembahasan (amal/kerja) yang akan dibahas pada poin-poin berikutnya.
Wallahu a’lam.

Kerja  (الْعَمَلُ)
Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan sang amil dalam mengelola harta/modal mudharabah.

1. Tidak diperbolehkan bagi sang amil baik dia pemodal atau pengelola, membeli dan atau menjual segala sesuatu yang diharamkan dalam syariat.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t menyatakan: “Tidak diperbolehkan bagi sang amil membeli khamr atau babi, baik keduanya (pemodal dan pengelola) muslim atau salah satunya muslim yang lainnya dzimmi1. Bila dia lakukan maka wajib ganti rugi. Ini juga pendapatnya Asy-Syafi’i….” (Al-Mughni 6/464-465)
Alasannya sangat jelas, seorang muslim tidak diperkenankan melakukan praktik jual beli barang haram. Begitu pula dzimmi, dia dilarang membelikan sesuatu yang tidak boleh dimiliki oleh seorang muslim.

2. Taqyiidul mudharabah (تَقْيِيدُ الْمُضَارَبَةِ)
Maksudnya adalah sang pemodal mempersyaratkan pada akad mudharabah, modal dikelola sang amil pada jenis usaha tertentu.
Misal: dijalankan pada usaha yang bergerak di bidang makanan, properti, atau yang lainnya.
Atau pada pasar tertentu, misal modal hanya dikelola di pasar Surabaya atau daerah lain secara khusus.
Atau pada pihak-pihak tertentu. Misal: sang amil hanya boleh melakukan jual beli dari saudagar A.

Masalahnya adalah, apakah diperbolehkan secara hukum syar’i?
Jawabnya adalah:

Mudharabah dibagi dua:

a) Mudharabah Muthlaqah (مُضَارَبَةٌ مُطْلَقَةٌ)
Yaitu mudharabah yang bersifat tak terbatas (unrestricted), sang pemilik dana memberikan otoritas dan hak sepenuhnya kepada mudharib (pengelola) untuk memutar uangnya.

b) Mudharabah Muqayyadah (مَضَارَبَةٌ مُقَيَّدَةٌ)
Yaitu mudharabah yang bersifat terbatas (restricted) sebagaimana digambarkan di awal.

Ada khilaf di kalangan para fuqaha:
• Madzhab Malikiyah dan Syafi’i tidak membolehkannya, dengan alasan membatasi ruang gerak sang ‘amil, khususnya bila barang yang dipersyaratkan sulit ketersediaannya (di pasaran).
• Madzhab Hambali dan Hanafi membolehkannya karena tidak bertentangan dengan prinsip mudharabah. Juga tidak meniadakan keuntungan secara total walaupun mungkin menguranginya. Pendapat ini lebih mendekati (kebenaran), dirajihkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Al-Mughni (6/491). Lihat Ar-Riba (2/1032-1036).

3. Tauqiitul Mudharabah (تَوْقِيتُ الْمُضَارَبَةِ)
Maksudnya adalah shahibul maal (pemodal) menentukan tempo tertentu dalam akad mudharabah, di mana sang ‘amil tidak lagi diperbolehkan mengelola modal setelah jatuh tempo dan mudharabah dianggap selesai.
Misal: Pemilik dana melakukan akad mudharabah dengan pengelola selama satu tahun atau satu bulan.
Jumhur ulama berpendapat, mudharabah tidak boleh ditentukan waktunya.

Namun pendapat yang rajih adalah diperbolehkan adanya akad mudharabah dengan tempo tertentu sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Alasannya adalah:

• Tidak mengandung unsur riba
• Tidak mengandung unsur gharar (pertaruhan)
• Tidak meniadakan konsekuensi akad
• Tidak meniadakan keuntungan usaha secara total walaupun mungkin terjadi kekurangan.

Ini adalah pendapat madzhab Hanafi, satu riwayat dalam madzhab Hambali, dirajihkan Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Al-Mughni (6/492) dan Dr. Abdullah As-Sa’idi dalam Ar-Riba (2/1036-1045).

Alhasil, mudharabah dilihat dari sisi temponya dibagi menjadi dua:

• Mudharabah Mu’ajjalah (مُضَارَبَةٌ مُعَجَّلَةٌ)

Yaitu mudharabah dengan batasan tempo tertentu sesuai kesepakatan. Mudharabah ini selesai dengan jatuhnya tempo.

• Mudharabah Ghairu Mu’ajjalah (مُضَارَبَةٌ غَيْرُ مُعَجَّلَةٍ)

Yaitu mudharabah tanpa ada batasan tempo tertentu dan dianggap selesai (fasakh/ فَسَخٌ) dengan beberapa sebab:

- Kedua belah pihak atau salah satunya membubarkan akad mudharabah.
- Kematian salah satu atau keduanya.
- Keduanya atau salah satunya mengalami kegilaan (gangguan jiwa).
- Terjadi hajar (هَجَرٌ), penyitaan harta karena keduanya atau salah satunya diklaim sebagai safiih (سَفِيهٌ) yakni pihak yang tidak layak mengelola harta. (Al-Mughni 6/485)

4. Mudharabatul Mudharib (مَضَارَبَةُ الْمُضَارِبِ)
Maknanya adalah mudharib (amil) menyerahkan modal mudharabah dari shahibul maal kepada amil lain dengan akad mudharabah. Dengan kata lain, sang amil melakukan akad mudharabah dengan amil lain dengan modal shahibul maal.

Ringkasnya, pada masalah ini ada tiga pihak yang terkait: shahibul maal (pemodal), mudharib (amil bagi shahibul maal), dan amil lain/pihak ketiga (amil bagi mudharib). Modal yang dipakai adalah modal dari shahibul maal.

Masalah ini menjadi perbincangan panjang di kalangan fuqaha. Ringkasnya, pada masalah ini ada beberapa keadaan:

a. Akad dilakukan tanpa seizin shahibul mal.
Para fuqaha dari semua madzhab melarang praktik akad seperti ini.
Al-Imam Malik rahimahullah menyatakan, “Sang amil tidak diperbolehkan melakukan akad qiradh (mudharabah) dengan pihak lain kecuali dengan perintah/instruksi shahibul maal.” (Al-Mudawwanah, 5/104)
Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Al-Mughni (6/461) menguraikan, “Tidak diperbolehkan bagi mudharib (amil) menyerahkan harta (modal) kepada pihak lain sebagai akad mudharabah….”

b. Akad dilakukan dengan seizin shahibul maal
Para fuqaha membagi izin ini menjadi dua:

1) Izin secara umum (إِذْنٌ عَامٌّ)
Seperti ucapan shahibul maal kepada amil: “Kelola modal ini sekehendakmu/menurut pandanganmu.”
Madzhab Hanafi dan madzhab Hambali menganggap sah perizinan secara umum ini, sehingga sang amil bisa melakukan akad mudharabah dengan pihak ketiga.
Sebagian fuqaha mensyaratkan adanya izin khusus dari shahibul maal, dan pendapat ini yang lebih tepat, khususnya di zaman sekarang, dengan alasan:
- Lemahnya amanah dan agama keumuman orang.
- Kemudahan fasilitas masa kini, khususnya alat komunikasi, sehingga memudahkan bagi amil untuk meminta izin secara khusus kepada shahibul maal. (Lihat Ar-Riba 2/1062)

2) Izin secara khusus (إِذْنٌ خَاصٌّ)
Yaitu perizinan secara khusus dari shahibul maal kepada amil, seperti ucapan: “Silakan melakukan akad mudharabah dengan pihak lain.”
Seluruh fuqaha menganggap izin khusus ini sebagai legalitas untuk pengesahan akad. Bila sang amil sudah mengantongi izin khusus dari shahibul maal, maka dia bisa melakukan akad mudharabah dengan pihak lain dengan modal yang ada. Masalahnya adalah, apakah sang amil (pengelola pertama) mendapatkan laba dari mudharabah dengan pihak lain tersebut?

Jawabnya adalah:
Kondisi sang amil pada akad ini tidak lepas dari dua keadaan:

a. Sang amil tidak terlibat dalam pengelolaan modal usaha
Madzhab Malikiyah (Maliki), Hanabilah (madzhab Hambali), dan Syafi’iyah (madzhab Syafi’i) menyatakan: Tidak ada laba bagi sang amil. Sebab laba mudharabah hanya tercapai dengan dua hal: modal dan amal (kerja). Keduanya tidak ada pada sang amil. Modal milik shahibul maal, sedangkan amal (kerja) dilakukan oleh pihak lain. Pendapat inilah yang shahih. (Al-Mughni, 6/463-464)

b.Posisi amil pada kondisi ini hanya sebagai wakil shahibul maal. Dia hanya mendapatkan upah wikalah (sebagai wakil) yang diberikan shahibul maal. Sementara laba dibagi antara shahibul maal dengan pihak ketiga.

Faedah
Sebagian pihak mungkin akan mengatakan: ”Fuqaha membolehkan sang amil membayar orang lain untuk mengelola modal usaha. Boleh juga mewakilkannya kepada orang lain. Lantas apa bedanya masalah ini dengan yang sebelumnya?”
Jawabnya adalah: Ada perbedaan penting yang harus diperhatikan:
- yang diperbolehkan fuqaha adalah hal tersebut masih dalam cakupan amalan mudharib (amil) di mana sang amil tidak terpisah dengan amalan mudharabah.
- adapun yang ditiadakan oleh fuqaha adalah ketika sang amil tidak terlibat dalam amal mudharabah sedikitpun, sebagaimana yang diuraikan di atas. (Ar-Riba 2/1068)

Faedah
Perbedaan antara laba dan upah ada dua:
• Laba tidak dapat dipastikan pada setiap kondisi. Terkadang banyak, mungkin sedikit, bahkan bisa jadi tak ada laba sedikitpun bila terjadi kerugian pada usaha mudharabah.
Sedangkan upah, sesuatu yang pasti apapun kondisinya. Tidak terkait dengan laba/untung-rugi sebuah usaha mudharabah.
• Laba pada usaha mudharabah hanya dicapai dengan modal atau kerja (amal), sementara upah tidak. (Ar-Riba, 2/1068-1069)
b. Sang amil ikut terlibat dalam pengelolaan usaha. Kondisi ini hanya disebutkan oleh Syafi’iyah, sementara yang lain menghukumi sama dengan kondisi sebelumnya.
Di kalangan Syafi’iyah sendiri ada ikhtilaf dan yang rajih menurut mereka adalah tidak dapat laba dan akad tersebut tidak diperbolehkan. Demikian tarjih An-Nawawi t dalam Ar-Raudhah (5/132). (Lihat Ar-Riba, 2/1053-1082)

5. Melakukan akad mudharabah dengan banyak pihak.
Masalah ini kaitannya dengan percampuran modal usaha dari banyak shahibul amal. Gambaran masalahnya adalah mudharib (amil) melakukan akad mudharabah dengan shahibul maal (pemodal) lalu dia melakukan akad yang sama dengan pemodal-pemodal lain. Apa hukumnya?
Pada prinsipnya, amil tidak boleh2 melakukan akad mudharabah lagi dengan pihak/pemodal lain. Namun para fuqaha membolehkannya dengan ketentuan:
a) Izin khusus dari pemodal awal dan keridhaannya.
Bila diizinkan maka diperbolehkan dengan kesepakatan ulama (Al-Mughni 6/465). Bila tidak diizinkan, maka syarat kedua harus terpenuhi, yaitu:
b) Tidak memadharatkan pemodal awal
Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t menyebutkan bahwa bentuk madharat yang menimpa pemodal awal adalah salah satu dari dua perkara:
• Sang amil sibuk dengan mudharabah kedua hingga melalaikan mudharabah pertama.
• Sang amil mengelola usaha mudharabah kedua yang sejenis dengan mudharabah pertama, yang berakibat penurunan harga.
Misal: Pada mudharabah pertama, amil membelanjakan modal dalam bentuk pakaian. Pada mudharabah kedua juga dibelanjakan dengan bentuk serupa. Akibatnya terlalu banyak barang serupa menumpuk di pasaran, harga pun jadi turun. (Asy-Syarhul Mumti’, 4/270)

Terkadang, bentuk usaha yang dikelola berbeda, modal pertama dalam bentuk sembako, modal kedua dikelola dalam bidang otomotif. Pada prinsipnya diperbolehkan. Namun terkadang, sang amil tersibukkan dengan salah satunya, lalai dari yang lain. Inilah yang tidak diperbolehkan (Asy-Syarhul Mumti’ 4/270).

Ringkasnya, perlu ada izin khusus dari pemodal awal. “Bila tidak dizinkan namun tidak memadharatkan dia, maka diperbolehkan tanpa ada khilaf”, demikian uraian Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Al-Mughni (6/465).

Apabila dua syarat tersebut tidak terpenuhi, apakah sang amil boleh mencampur semua modal yang ada?
Pada prinsipnya, yang ditekankan adalah keadilan, transparan, kejujuran, serta tidak ada unsur riba dan gharar (pertaruhan).

Dua kemungkinan yang bisa ditampilkan di sini:
a. Pemisahan total harta-harta mudharabah dengan harta-harta yang lain.
Kelebihan teknik ini adalah bahwa pendapatan dan biaya dapat dipisahkan dari masing-masing dana dan dapat dihitung dengan akurat. Untung-rugi juga dapat dihitung dan dialokasikan dengan akurat.

Kelemahannya adalah menyangkut masalah moral hazard (penyimpangan moral) dan preferensi investasi si mudharib (amil). Akan timbul pertanyaan: “Ke portofolio (surat berharga yang menunjukkan bukti penanaman modal, red.) mana dana tersebut diinvestasikan?”

“Dalam portofolio mana account officer1 ditugaskan?”

“Bagaimana si mudharib (amil) menjelaskan jika rate of return (tingkat pengembalian/hasil dari suatu investasi, red.) dari dana pemegang saham ternyata lebih besar dibandingkan dengan rate of return dana mudharabah?”

Saya (penulis) punya usulan sederhana tapi tepat: “Masing-masing modal dari shahibul maal dikelola secara tersendiri, sesuai kesepakatan masing-masing pemodal terkait dengan persentase bagi hasil dan yang lainnya. Lalu masing-masing usaha dilakukan pembukuan (akunting) secara tersendiri.”

Dengan cara di atas akan tegak prinsip keadilan, transparan, tidak ada gharar dan riba, sangat menguntungkan pihak amil sebab dia mendapatkan laba di masing-masing pemodal.

Kelemahannya terletak pada pengelolaan usaha dan pembukuan. Amil akan memikirkan seabrek usaha, pikirannya akan bercabang, dan dibutuhkan perhatian serta keseriusan ekstra. Namun itu bisa diperingan dengan dua cara:
- Menunjuk wakil untuk masing-masing usaha yang dikelola
- Menggaji para pegawai untuk meringankan perkerjaannya.

b. Percampuran seluruh modal2
Dengan cara ini, amil menyatukan seluruh modal untuk sebuah usaha. Masing-masing modal dari shahibul maal menjadi semacam saham sesuai dengan persentase besar kecilnya modal, dan laba masing-masing dihitung sesuai dengan sahamnya.

Teknik ini cukup sederhana, dapat menghilangkan munculnya masalah etika dan moral hazard seperti di atas, tapi menimbulkan kesulitan dalam hal akunting.

Yang ditekankan pada teknik ini adalah ketelitian, kejujuran, transparansi, dan laporan pertanggungjawaban kepada para pemodal. (Lihat Bank Syari’ah hal. 139)

Faedah
Bila ketentuan di atas tidak terpenuhi namun sang amil tetap meneruskan akadnya maka semua laba adalah milik pemodal, sedangkan amil hanya mendapatkan upah seorang pegawai.

Kaidahnya, kata Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t: “Apabila akad mudharabah tidak sah, maka seluruh laba adalah milik pemilik modal dan amil mendapatkan upah sebagai pegawai.” (Asy-Syarhul Mumti’, 4/270)

6. Amil diharuskan mengerjakan segala sesuatu yang bisa dilakukan seorang amil dan dia tidak mendapatkan upah/laba khusus untuk itu.
Adapun pekerjaan di luar kebiasaan maka dia bisa menggaji pegawai yang diambilkan dari modal (termasuk biaya operasional usaha). (Al-Mughni 6/470)

7. Apabila amil melakukan tindakan kecerobohan yang membuat hilang/rusaknya aset, maka dia harus memberi ganti rugi.
Begitu pula bila dia melakukan aktivitas yang tidak boleh dia lakukan atau membeli sesuatu yang dilarang untuk dibeli, maka dia harus membayar ganti rugi.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama, diriwayatkan dari Abu Hurairah, Hakim bin Hizam, Abu Qilabah, Nafi’, Iyas, Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, Al-Hakam, Hammad, Malik, Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan ashabur ra’yi (Al-Mughni 6/468).

8. Amil tidak boleh membeli barang dengan harga yang melebihi modal usaha.
Bila dia lakukan maka ada dua kemungkinan:
a. Dia beli dengan niat yang lebih menjadi tanggungannya. Maka jual belinya sah dan kelebihan barang menjadi miliknya, tidak termasuk dalam akad mudharabah.
b. Tidak berniat untuk menanggungnya, maka jual belinya tidak sah. (Al-Mughni 6/459)


Laba (الرِبْحُ)
Terkait dengan laba juga ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan:

1. Laba mudharabah sesuai dengan kesepakatan pemodal dan mudharib (amil).
Al-Imam Ibnul Mundzir t dalam kitab Al-Ijma’ (hal. 111) menyatakan: “Para ulama sepakat, sang amil diperbolehkan menentukan persyaratan laba, baik itu 1/3, ½, atau sesuai kesepakatan kedua belah pihak….” (Al-Mughni 6/437)
Laba yang dipersyaratkan sesuai kesepakatan tidak mesti 50:50 (fifty:fifty). Bisa jadi shahibul maal lebih banyak atau lebih sedikit. Begitu pula laba mudharib.
2. Laba mudharib harus dipastikan dengan jelas dan diketahui persentasenya (الرِبْحُ مَعْلُومٌ)
Ini termasuk syarat sah akad mudharabah. Bila pemodal menyerahkan modal usaha tanpa menyebutkan persentase laba mudharib, maka akad tersebut tidak sah. Untung-rugi ditanggung penuh pemodal dan amil hanya mendapatkan upah sebagai karyawan. Ini adalah pendapat Ats-Tsauri, Abu Tsaur, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, dan Ashhabur Ra’yi. Pendapat inilah yang rajih. (Takmilah Al-Majmu’ 15/113 dan Al-Mughni 6/440-441)
3. Laba mudharabah dipersyaratkan dalam bentuk persentase: 25%, 50%, 60%, atau 1/3, ¼, 2/3, dan seterusnya.
Ibnul Mundzir rahimahullah menjelaskan: “Seluruh ahli ilmi yang kami kenal bersepakat, akad qiradh (mudharabah) dinyatakan batal bila salah satunya atau keduanya mempersyaratkan (laba) untuk dirinya dalam bentuk nominal uang tertentu. Di antara ulama yang kami hafal (nama-nama)nya adalah Malik, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Abu Tsaur, dan Ashhabur Ra’yi….”
Ini juga madzhab Al-Imam Ahmad rahimahullah, disebutkan Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Al-Mughni (6/448).

Penentuan laba dalam bentuk nominal terlarang karena alasan-alasan di bawah ini:
a. Ada unsur pertaruhan (judi)
Sebab, bisa jadi usaha tersebut menghasilkan laba sedikit hanya cukup untuk jatah amil. Atau bahkan mengalami kerugian sehingga modal usaha pun terambil untuk jatah laba mudharib. Bahkan bisa terjadi kerugian total, pemodal pun harus merogoh kocek lagi untuk memberikan jatah laba mudharib.
Pada semua kondisi di atas, yang dirugikan adalah pemodal. Mungkin pula yang terjadi sebaliknya, usaha yang dikelola mendapatkan laba melimpah ruah, sang mudharib (amil) hanya mendapatkan nominal yang dipersyaratkan.
Kondisi di atas meniadakan sikap keadilan, dan yang diuntungkan adalah pemodal.

b. Menimbulkan ketimpangan dalam mengelola usaha mudharabah.1
4. Laba dibagi setelah modal kembali.
Maka sang mudharib (amil) tidak bisa mengambil laba sebelum modal dikembalikan.Tidak ada khilaf di kalangan ulama dalam masalah ini. Ibnu Qudamah rahimahullah menguraikan dengan jelas masalah ini dalam Al-Mughni (6/472):
“Mudharib tidak berhak mengambil sedikit pun laba (mudharabah) hingga dia menyerahkan modal kepada shahibul maal (pemodal). Bilamana pada modal usaha ada kerugian dan keuntungan, maka keuntungan yang ada dipakai untuk menutup kerugian. Baik untung-rugi tersebut pada sekali usaha, atau kerugian terjadi pada salah satu akad jual beli sedangkan akad lain ada keuntungan. Ataupun salah satunya terjadi pada serangkaian usaha, sedangkan yang lain terjadi pada safari usaha berikutnya.
Sebab pengertian “laba” adalah sesuatu yang lebih dari modal usaha. Bila tidak ada kelebihan maka tidak ada laba. Kami tidak mengetahui adanya khilaf (ulama) dalam masalah ini….”

Faedah
Ibnu Qudamah rahimahullah juga menyatakan: “Apabila pada usaha mudharabah tampak keuntungannya, maka sang mudharib tidak boleh mengambil sedikit pun laba tersebut tanpa seizin pemodal. Kami tidak mengetahui adanya khilaf di kalangan ulama dalam masalah ini….” (Al-Mughni 6/484)
Bila sang mudharib atau pemodal menuntut pembagian laba yang tampak sebelum modal kembali, maka ada dua kemungkinan:
a. Salah satunya menolak pembagian laba
Dalam kondisi demikian yang didahulukan adalah ucapan pihak yang menolak, sehingga laba tidak boleh dibagi.
b. Keduanya sama-sama ridha
Dalam kondisi seperti ini, pendapat mayoritas ulama sebagaimana yang dinukil Ibnul Mundzir t, sang mudharib tidak boleh mengambil laba hingga modal kembali (Al-Mughni 6/484-485).
5. Kaidah dalam masalah mudharabah:
الْوَضِيعَةُ فِي الْمُضَارَبَةِ عَلَى الْمَالِ خَاصَّةً لَيْسَ عَلَى الْعَامِلِ مِنْهَا شَيْءٌ
“Kerugian pada akad mudharabah ditanggung harta (modal), sang amil tidak menanggung kerugian sedikit pun.” (Al-Mughni 6/447)
Maksudnya, bila pada usaha mudharabah terjadi kerugian, pada prinsipnya yang menanggung adalah pemilik modal, bukan mudharib (amil). Kerugian sang amil adalah dia tidak mendapatkan apapun dari usaha mudharabah.
Lebih jelasnya, usaha mudharabah mengalami beberapa kemungkinan:

a. Mendapatkan laba
Maka laba itulah yang dibagi sesuai persentase jatah yang disepakati setelah modal kembali.

b. Tidak untung tidak rugi (kembali modal)
Maka pemodal mendapatkan kembali modalnya sedangkan amil tidak mendapatkan apa-apa.

c. Terjadi kerugian
Ada dua kemungkinan lagi untuk kondisi ini:
1) Rugi dan modal masih sisa
Maka kerugian ditanggung modal, shahibul maal hanya mendapatkan sisa modal yang ada. Sementara amil tidak mendapatkan apa-apa.
2) Rugi total
Kerugian ditanggung modal, shahibul maal kehilangan modalnya, amil tidak mendapatkan apa-apa.
Bila usaha mudharabah mengalami kerugian, maka pemodal tidak bisa menuntut amil ganti rugi kecuali pada satu keadaan, yaitu bila kerugian terjadi murni akibat keteledoran/kecerobohan/tindak sewenang-wenang sang amil.2

Faedah penting
Ibnu Qudamah rahimahullah menegaskan: “Bilamana shahibul maal mempersyaratkan ganti rugi atas amil atau ikut andil dengan saham saat kerugian, maka persyaratan tersebut batal. Kami tidak mengetahui adanya khilaf…” (Al-Mughni 6/490. Lihat Fatawa Al-Lajnah 14/335)
Jika terjadi akad mudharabah dengan syarat di atas maka termasuk akad pinjam meminjam/utang-piutang yang ada unsur kemanfaatan (bunga). Inilah riba.

Kaidah yang disepakati ulama:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap akad pinjam-meminjam yang ada unsur manfaat (bunga) maka dia adalah riba.”
Akad di atas bukan قِرَاضٌ (mudharabah) lagi tapi قَرْضٌ (pinjaman). (Lihat Fatawa Al-Lajnah, 14/340)

الْعَاقِدَانِ
(Kedua belah pihak yang melakukan kontrak mudharabah)

Yang dimaksud adalah pemodal (shahibul maal) dan mudharib (amil). Ketentuannya sebagai berikut:

1. Pemodal dan amil adalah pihak yang diizinkan transaksinya secara syar’i yaitu aqil (berakal) dan baligh.
Mudharabah adalah sebuah akad kerjasama dua pihak untuk menjalankan usaha. Maka dipersyaratkan padanya apa yang dipersyaratkan pada jual beli.
Masalah ini sudah penulis singgung dalam majalah Asy Syariah Vol. III/No. 25/1427 H/2006 hal. 16 rubrik Kajian Utama.

2. Diperbolehkan melakukan akad mudharabah dengan orang kafir. Ini adalah pendapat Ahmad, Al-Hasan Al-Bashri, dan Al-Auza’i rahimahumullah. Pendapat inilah yang rajih, dikuatkan oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah dalam Al-Mughni (6/400).
Dalilnya adalah keumuman firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)

Juga tindakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melakukan muamalah duniawi dengan Yahudi. Lihat Shahih Bukhari (no. 2068).
Namun dengan ketentuan, tidak boleh melakukan transaksi atau jual beli barang haram sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Bila si kafir melakukan hal di atas, maka dia wajib memberi ganti rugi modal yang dipakai untuk itu.
Di antara cara untuk mengantisipasi masalah ini adalah yang mengelola usaha adalah amil muslim, atau amil kafir dengan pengawasan ketat. (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 14/286-288)

3.  Diperbolehkan bagi wali anak kecil atau orang gila untuk mengembangkan harta mereka pada akad mudharabah, baik itu ayahnya, kakeknya, mushiy (yang diberi wasiat), hakim (pemerintah), atau orang yang dipercaya hakim. (Takmilah Al-Majmu’, 15/111)

Ijab Qabul (الصِيْغَةُ)

Lafadz ijab qabul bisa menggunakan kalimat قِرَاضٌ, مُضَارَبَةٌ, atau مُعَامَلَةٌ.
Akad mudharabah bisa diresmikan dengan ijab qabul menggunakan kalimat apapun, dengan bahasa apapun yang dipahami sebagai mudharabah.

Akad dianggap sah dengan menggunakan lafadz ijab qabul atau cara lain yang dipahami sebagai mudharabah. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:

1. Akad mudharabah dianggap batal dengan kematian salah satunya atau kegilaan yang menimpa salah satunya, baik itu sesudah berjalannya usaha atau sebelumnya. Namun bila ahli waris mereka hendak melanjutkan akad tersebut, maka diperbolehkan (Al-Mughni 6/488, 485).

2. Akad mudharabah dianggap batal bila modal usaha hilang/hancur sebelum usaha dijalankan. Bila ingin melanjutkan akad, maka harus didatangkan modal baru (Al-Mughni, 6/490).

Demikian sedikit ulasan tentang hukum-hukum dan ketentuan mudharabah dalam Islam. Sesungguhnya masih banyak lagi masalah yang perlu diangkat namun dicukupkan uraian di atas karena keterbatasan lembar majalah. Wallahu a’lam.
1 Dzimmi adalah orang kafir yang hidup bersama kaum muslimin di wilayah Islam.
2 Asy-Syaikh Ibnul Utsaimin t menegaskan bahwa hukumnya adalah haram. (Asy-Syarhul Mumti’ 4/272)
1 Account Officer (AO) adalah pejabat bank yang bertugas sejak mencari nasabah yang layak sesuai kriteria peraturan bank, menilai, mengevaluasi, mengusulkan besarnya kredit yang diberikan. Pada praktiknya, ia menjadi konsultan investasi.
2 Teknis inilah yang dipakai di bank-bank syariah di Indonesia.
1 Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah 14/319, Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz 19/324.
Faedah:
Adapun nominal yang dipastikan dari laba, tidaklah diperbolehkan sebab termasuk riba. Karena termasuk qiradh (pinjaman) yang dipersyaratkan adanya sebuah kemanfaatan. (Fatawa Al-Lajnah 14/288)
Begitu pula tidak boleh disepakati adanya laba tertentu sekian persen tiap bulannya, sebab mudharabah mengandung kemungkinan untung dan rugi. (Al-Lajnah Ad-Da’imah, 14/360)
2 Lihat Fatawa Al-Lajnah (14/308 dan 334)

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)

Sumber: http://asysyariah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar