Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Kamis, 12 Juli 2012

SURURIYAH TERUS MELANDA INDONESIA


Oleh: Al-Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Umar As-Sewed
(Dimulai dengan Khutbatul Haajjah)
Alhamdulillah, ama ba’du
Ikhwani fiddin a’azakumullah,

Disini ada pertanyaan yang berkaitan dengan fitnah Sururiyyah. Dan berkaitan pula dengan tokoh-tokohnya dan orang-orangnya. Ditanyakan disini dari mulai ABU QATADAH
(Da’i Al Sofwah Jakarta, red), ABU HAIDAR (As Sunnah, Bandung, red),YAZID JAWWAS (rekan Abdul Hakim Abdat, da’i Al Sofwah/Al Haramain, red), ABU NIDA’ (At Turots, Jogjakarta red), AUNUROFIQ GUFRON (Ma’had Al Furqan, Gresik, red), YUSUF BAI’SA (ex-direktur Ma’had Al Irsyad, Tengaran, Salatiga, red), ABDURRAHMAN ABDUL KHOLIQ, AINUL HARITS, ARIFIN, ABDUL HAKIM ABDAT (da’i Al Haramain/Al Sofwah), dan lain-lainnya. dan kemudian ditanyakan pula AL-SOFWA, AT TUROTS, AL IRSYAD, dan lain-lain.
Tentunya lebih tepat kalau saya jawab dari belakang dulu, dari organisasinya dulu, dan lebih bagus lagi kalau saya menerangkan pada antum tentang fikrohnya dulu, ya’ni fikroh Sururiyyah dulu . Ya’ni Sururiyyah berasal dari kata Surur atau dari nama MUHAMMAD SURUR NAYIF ZAINAL ABIDIN. Muhammad Surur adalah seorang yang tadinya Ikhwanul Muslimin (IM), kemudian dia keluar dari IM, dan kemudian mengaku Salafy. Orang yang sejenis Muhammad Surur ini banyak, seperti ABDURRAHMAN ABDUL KHALIQ itupun dari IM kemudian keluar dan kemudian mensyiarkan dirinya sebagai Salafy atau mengaku Salafy.
Orang-orang jenis ini mereka keluar Ikhwanul Muslimin dari Harokah IM, atau partai politik IM atau keluar dari kelompok firqoh IM, dan menyatakan taubat dari IM, dan menyatakan taubat “saya keluar dan saya taubat” seperti juga Muhammad Quthub itu juga mengaku keluar dan kembali kepada Salaf , tetapi dalam perjalanan mereka yang katanya mau kembali kepada Salaf, ternyata masih memiliki fikroh Ikhwaniyyah. Fikrohnya Ikhwanul Muslimin atau prinsip cara berfikir Ikhwanul Muslimin. Yang tentunya kita harus tahu bahwasannya prinsip IM ini berarti atau prinsip Sururiyyah ini berari sama dengan prinsip IM sesungguhnya, hanya beda istilah saja.
Apa yang dikatakan oleh para IM juga diucapkan pula oleh Sururiyyin, hakikatnya. Dengan cara dan bentuk istilah yang berbeda tapi intinya sama maka. Kalau begitu sururiyyah sama dengan ikhwaniyah dan kita perlu menerangkan tentang Ikhwanul Muslimin itu sendiri. Ikhwanul Muslimin, prinsip bid’ah mereka yang menjadikan mereka menjadi kelompok sempalan yang keluar dari Ahlus Sunnah adalah karena mereka memiliki prinsip “NATA’AWAN FIMA TAFAKNA WA NA’DZIRU BA’DINA BA’DON FI MAKHTALAFNA” kata mereka “kita saling kerjasama apa yang kita sepakati dan kita hormat-menghormati saling memaklumi apa yang kita berbeda”.
Ini prinsipnya IM, saya ulangi Nata’awan fima tafakna, “Kita saling kerja sama saling bantu membantu dalam apa yang kita sama, kita sepakati dan kita memaklumi hormat menghormati, dengan apa yang kita berbeda”. Dengan prinsip ini IM tidak menganggap ada ahlil bid’ah sama sekali, semuanya kawan tidak ada lawan. “Ahlil bid’ah mereka sama-sama sholat dengan kita, maka kita tolong menolong dalam apa yang kita sepakati, mereka sama-sama…” pokoknya apa yang kita sama kita kerja sama, ini IM. Sehingga HASAN AL-BANNA, AT-TUROBI, dan sekian banyak tokoh-tokoh mereka selalu berusaha menggabungkan antara Sunnah dengan Syi’ah, dan mereka mengatakan yel-yel Laa Syarqiyyah, Laa Gharbiyyah, Laa Sunniy, wa Laa Syi’ah, Islamiyyah, Islamiyyah, itu yel-yel yang selalu mereka dengungkan anasid dengan sair, dengan nyanyi dengan ikrar, “Tidak timur tidak barat tidak Sunni tidak Syi’ah yang penting Islam” kata mereka ini prinsip mereka kemudian ditebarkan pada masyarakat. “Kalian jangan ribut terus, sudahlah jangan saling menyalah-nyalahkan, semuanya apakah dia Salaf apakah dia Sufi, apakah dia Mu’tazili, Syiah, semua itu saudara, semua Muslimin. Apa yang kita sama kita tolong menolong dan apa yang kita beda, kita hormat-menghormati”, katanya begitu .Ini sepintas kilas perkaranya agak masuk akal, “Iya ya, kalau nggak gini gak akan bersatu”, sepintas kilas kalau kalau dipikir akal saja.
Padahal kata para ulama prinsip ini akan meruntuhkan agama secara keseluruhan dan prinsip ini menggugurkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. [ketika kamu] mau mengingkari kebid’ahan, [mereka katakan: ] “ …jangan ya akhi kita harus saling menghormati, kita jangan menyalahkan mereka”, begitu, sehingga tidak ada amar ma’ruf nahi munkar. Dan berarti membolehkan manusia berjalan di jalan bid’ah manapun, ini sudah jelas sesatnya. Sehingga di dalam Ikhwanul Muslimin Jangan kamu kira mereka sama statusnya, fikirannya, aqidahnya.
Di kalangan IM ada Sufi, Syi’ah,ada semua ahli bid’ah kecuali Salafy. Kenapa? Yang (katanya) Salafy dalam masalah Aqidahnyapun prinsipnya tetap prinsip ikhwan. PRINSIP AQIDAHNYA YANG KATANYA SALAFY, TETAPI TETAP MENGHORMATI AHLUL BID’AH. DAN TERNYATA INI ADALAH YANG NAMANYA SURURIYYIN. Dalam AQIDAH KATANYA MEMPELAJARI AQIDAH SALAF, KATANYA, TETAPI PRINSIPNYA SAMA, SESAMA AHLUL BID’AHPUN HARUS SALING MENGHORMATI DAN SEBAGAINYA. INI PRINSIP UTAMANYA.
Namun sekarang ketika orang-orang yang dulunya keluar dari IM tadi apakah Muhammad Surur apakah Abdurrahman Abdul Kholiq apa MUHAMMAD QUTHB dan menyatakan “IM itu salah, IM itu sesat kami kembali kepada salaf”, ternyata mereka mengajarkan aqidah Salaf, mengajarkan aqidah salaf sehingga sama dengan Salafiyin, tetapi mereka tetap mengatakan bahwa Ahlul bid’ah juga punya kebaikan, jadi jangan dimusuhi 100 persen, mereka juga punya kebaikan, kita bisa ambil kebaikan dari mana saja. Nah ini lihat, kalimat “mereka juga punya kebaikan, kita bisa ambil kebaikan dari mana saja” itu sesungguhnya terjemahan dari apa yang dikatakan Ikhwanul Muslimin, yaitu saling hormat-menghormati, inilah yang akhirnya menjadi masalah. Akhirnya segala macam orang-orang yang keluar dari IM yang dielu-elukan taubat masya Allah, sebagai seorang Salafy sekarang. Ternyata warnanya kok lama kelamaan agak berbeda kok aneh, kok agak beda, ketika tambah jauh, tambah kelihatan berpisahnya antara para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah Salafiyun dengan tokoh-tokoh mereka. Agak berbeda, terus begitu, kemudian dalam masalah sikap pemerintah juga berbeda, dalam masalah politik juga berbeda, mereka sama seperti IM.
Sekali lagi sama, Cuma istilah-istilahnya yang berbeda. Mereka mengatakan pentingnya Tsaqofah Islamiyyah, ini Ikhwanul Muslimin. Tsaqofah Islamiyah adalah wawasan.kata Ikhwanul Muslimin “Kita jangan terpaku dengan Quran Sunnah saja, tetapi tidak mengerti situasi dan kondisi politik yang ada, kita harus ikut menyaksikan kondisi politik sepaya kita bisa bersikap supaya kita bisa berjuang dengan jihad politik”, katanya. Itu IM, terang-terangan mengatakan jihad politik. Makanya banyak istilah-istilah yang dipakai oleh para politikus sekarang ini, ada jihad politik, ada apa segala macem itu, itu karena diantaranya mereka banyak terbawa dengan tokoh-tokoh IM di dalam partai Keadilan dan sejenisnya. Kemudian mereka yang telah keluar dari IM, ternyata fikroh-fikroh itu masih ada, tetapi istilahnya agak ganti dengan bahasa Fiqhul Waqi’. SALMAN AUDAH, A’IDH AL QORNI, kemudian siapa lagi … Muhammad Surur dan sebagainya semuanya mengelu-elukan “Jangan kita selalu kitab-sunnah,kitab sunnah tetapi tidak memperhatikan lingkungan kita, lingkungan situasi-kondisi kita tidak tahu, kita harus tahu, kita harus belajar satu ilmu namanya Fiqhul Waqi’, memahami kenyataan yang terjadi”. Sama toh dengan yang tadi? Kalau tadi dengan istilah Tsaqofah, sekarang dengan istilah fiqhul waqi. Abdurrahman Abdul Khaliq ketika Fiqhul Waqi’nya dibahas oleh para Ulama, lain lagi dia istilahnya bukan Fiqhul Waqi’, tetapi setali tiga uang, persis.
Kata Abdurrahman Abdul Kholiq, “Kita dalam memahami, dalam berda’wah ini selain ini, kita harus punya Shifatul ‘Asr”. Ini istilahnya Abdurrahman Abdul Kholiq. Apa Shifatul ‘Ashr?, Al Ashriyah dengan gaya bahasa dia bilang “Ashriye, kita harus tahu Al Ashriye”, yakni “keadaan kondisi situasi politik yang ada”, begitu, sama ternyata. Dan ingat bukan berarti Ahlussunnah wal jamaah dan para Ulamanya menentang perlunya Fiqhul Waqi’ atau Tsaqofah atau shifatul Ashr bukan menolak perlunya. Perlu tetapi itu berada di bawah, di bawah dan di bawahnya dan hukumnya fardlu kifayah. Bukan harus apalagi wajib apalagi diutamakan diatas ilmu-ilmu lain. Ini mereka menggembar-gemborkan dengan keras dan mereka mengangkat setinggi tingginya, ilmu yang besar, ilmu yang tinggi yaitu Fiqhul Waqi’ shifatul ashriye dan seterusnya.
Kenapa sih? Ada apa sih? Kok mereka menggembar-gemborkan itu. Sama dengan Salaf mereka, Salaf mereka lho ya, yang tidak sholeh yaitu Ikhwanul Muslimin. Sama yaitu ingin mengangkat tokohnya tapi tidak punya ilmu yang menonjol, mau mengangkat tokohnya ini, ingin mengangkat Sayyid Qutub, dari sisi apa? Dia ahli dalam bidang apa? Ibn Katsir ahli dalam bidang tafsir sehingga disebut sebagai ahli tafsir dan seterusnya. Kemudian para Ulama, Syaikh Utsaimin, Syaikh Bin Baz fuqoha ahli faqih masya Allah. Dan para ulama terkenal dengan ilmu mereka sehingga ada yang disebut sebagai Faqih, Ahli Tafsir, Muhadits seperti Syaikh Al-Albany, ada yang disebut sebagai Mufassir ahli tafsir, dan sebagainya. Lantas, mereka mau mengangkat tokoh-tokonya ini, mau mengangkat Sayyid Quthub.Ini mau di masukkan ke golongan mana? kepada Mufassirin, bukan ahli tafsir, mau digolongkan Muhaditsin, bukan ahli hadits, mau digolongkan Fuqoha bukan ahli fiqih, ini ahlinya apa? Akhirnya mereka muncul ide, ini orang walaupun dalam masalah itu tidak menonjol tetapi ia memiliki ilmu yang peting yaitu memahami situasi dan kondisi politik, situasi dan kondisi masyarakat dan sebagainya, ini ahli ini orang, jadi kita harus angkat Fiqhul Waqi. Jadi kata Syaikh Robi dan kata ulama lain yang mengatakan bahwa istilah Fiqhul Waqi, adalah untuk mengangkat tokoh-tokohnya, jadi diapun ‘alim minal ulama. Ahli dibidang apa? Ahli di bidang Fiqhul Waqi’. Jadi kamu ngertinya fiqhul syari’ah, fiqhul ahkam, ini Fiqhul Waqi’, dan subhanallah ini diikuti oleh para sururiyyin.
Diantaranya Haddatsana Umar Jawwas, qola sami’tu ABDUL MALIK (seorang Surury yang belajar di Riyadh sama tokoh sururi disana namanya ABDUL KARIM, yang ini turunannya bikin pondok ‘Alamus Sunnah di Bogor dan As-Sunnah di Cirebon), bilangnya : “Bahwasanya Ulama itu ada dua, ada Ulama Syumul ada Ulama Takhossus”. Dan ada sanad lain, sanadnya saya dengar dari Yahya Ba’adil (kakak Yazid Ba’adil, Jember), ini sanadnya lebih ‘ali, dia pulang dari Riyadh, duduk sepesawat dengan Abdul Karim (tokoh yang tadi itu), setelah tanya jawab, dia masih belum kenal betul siapa dia. Terus cerita kepada saya : “Kemarin ketemu orang namanya Abdul Karim, begini-begini… “; [ana bilang: ] “Hah, ente ketemu, ngomong apa dia [Yahya Ba’adil ] ?”, dia bilang katanya : “Ulama itu ada dua ada ulama takhosus dan ada ulama syumul”.
Ulama takhosus itu ulama dalam bidang fiqih ya fikih saja, ahlu tafsir, tafsir saja, ahli hadits, hadits saja, tapi gak ngerti yang lain, adapun ulama syaamil, ulama lengkap, yaitu ulama yang mengerti semuanya itu dan mengerti Fiqhul Waqi’, jadi .. Ustadz Muhammad : “Siapa yang dimaksud itu, ente nggak tanya?”, jawab Yahya : “Iya saya nggak tanya”. Ustadz Muhammad, “Coba tanya…”. Ustadz Muhammad :”Ana bilang, sesungguhnya kalau dia ditanya yang dimaksud takhosus tuh, Syaikh Albani hadits saja, Syaikh bin Baz,… karena sudah dikatakan dalam majlis-majlis lain mereka bilang begitu, “Syaikh bin Baz itu ngerti apa tentang politik”, begitu katanya, “Mereka tuh ngerti apa, sehingga percuma fatwanya gak diterima”, jadi mereka menganggap ulama yang syumul itu Qaradhawi, Muhammad Al-Ghazali, Sayyid Quthb dan sebagainya itu tadi.
Dikatakan lengkap karena dia mengikuti apa yang terjadi sedangkan ulama-ulama tadi itu ulama takhosus khusus itu saja di bidangnya, sehingga, kata orang tadi, “Kalau kita meminta fatwa tentang politik jangan sama mereka, jangan tanya sama mereka karena fatwanya nggak bisa diterima, mereka nggak ngerti Fiqhul Waqi’, karena mereka nggak ngerti Shifatul ‘Ashr, karena mereka nggak, ngerti apa itu tadi, Tsaqofah”. Jadi tanyanya sama… Akhirnya ditulislah buku DALILUTH-THOLIBAH oleh MUHAMMAD KHOLAF, judul bukunya Dalilut Tholibah, Bimbingan untuk pelajar Putri, isinya ?, ketika masalah ahkam dan sebagainya dari Syaikh Muhammad Al Utsaimin yang dinukil, dan habis itu ada tanya jawab dalam masalah Da’wah dijawab oleh Salman bin Fahd Al Audah. Ini menunjukkan prinsipnya dia, Muhammad Khalaf adalah pendiri Al-Sofwah, nah terjawablah Al Sofwah.
Jadi dia menulis buku itu dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, nggak tau apa judulnya dalam bahasa Indonesia, jadi begitu ketika masalah fiqih Syaikh Utsaimin, ketika masalah da’wah, nggak terima Syaikh Utsaimin, “Salman Audah yang lebih mengerti Fiqhul Waqi’”, inilah model-model Sururiyin. Apakah Ikhwanul Muslimin, ataupun Sururiyyin, atau nanti ada nama lainnya, jenis lainnya, maka mereka semua prinsipnya sama bahwa mereka akan menjauhkan para Salafiyyin dari Ulamanya dan mereka berusaha mentaqrib (mendekatkan) Ahlus Sunnah dengan Ahlul bid’ah. Maka kamu lihat tokoh-tokohnya, satu-satu tadi itu, bagaimana keadaannya, bagaimana Yazid Jawwas dengan tokoh-tokoh DEWAN DA’WAH (DDII, red) dan tokoh-tokoh IM, bagaimana Yusuf Ba’isa dengan SALIM BAJRI, yang Mu’tazilah yang menolah Hadits Shahih Bukhary, yang katanya “Jangan taklid dengan Imam Bukhary”, ini masih tetep bareng dengan Yusuf Ba’isa sekarang ini. Lalu, apa lagi yang lebih besar dari itu.
Kita yang kemarin terpaksa ketemu dengan ahlul bid’ah itu gemetarnya sampai hari ini belum hilang.”Wa atuubu ilallah” karena masalah kemarin sampai Laskar Jihad yang sudah besar kita beberkan, karena masalah itu tadi yang kita takuti, bagaimana kita bergaul dengan Ahlul bid’ah, Tidak, Coret, Silang, Habis, Masa-masa itu kita tutup!. Kalau sampai jihad membawa kita kepada pergaulan dengan ahlul bid’ah seperti itu, tidak ada jihad-jihadan, Batil !, Bubar!.Khan begitu !!. Ini…, tidak dalam keadaan jihad atau bukan jihad bukan dalam perjuangan, bukan perang, bukan dalam keadaan apapun, sama mereka ahlan-ahlanan.buat acara bersama, bikin pertemuan bersama dan seterusnya.
Dan kemudian, baru setelah kita jawab beberapa tokoh, Muhammad Sururnya, Abdurrahman Abdul Kholiqnya, dan kemudian Salman Audah, kemudian Abdul Karim Al Katsiri dari Riyadh, nah ini mereka. Kemudian dari sisi politiknya, mereka membolehkan masuk ke dalam parleman atau masuk dalam partai-partai. Tidak mesti diantara mereka sampai masuk ke dalam marhalah ini. Diantara mereka masih marhalah satu, ada yang marhalah dua ada yang ketiga ada yang sudah keempat, Tetapi ciri yang umum adalah itu tadi, yaitu mereka bergampang-gampang dengan dengan Ahlul Bid’ah, meremehkan ahlul bid’ah, maksudnya meremehkan itu, meremehkan bahayanya.
Bukan artinya kita mengecilkan, jelas kita juga mengecilkan mereka, tetapi yang dimaksud adalah mereka meremehkan bahayanya ahlul bid’ah. “Mereka juga punya kebaikan, mereka juga punya suatu kelebihan, kita diperintahkan oleh Allah untuk mengambil ilmu dari mana saja, jangan lihat siapa yang berbicara, lihat ucapannya bagaimana, jadi ucapannya yang kita lihat orangnya siapa saja Ahlul Bid’ah atau Ahlus Sunnah” begitu, ini sudah terucap dari Yusuf Ba’isa banyak, entah dari yang lain saya belum tau.
“…Maka mereka ini ada, ternyata turunannya Abdul Karim Al-Katsiri, turunannya mendirikan pondok, membiayai di ‘Alamus Sunnah Bogor dan di Cirebon ini, As Sunnah. Kemudian Abdurrahman Abdul Khaliq, (Al-Irsyad-peny) Tengaran, membiayai, membantu, mengirimkan orangnya dan datang ke Tengaran. Jadi sudah tidak bisa diingkari lagi, tidak bisa diingkari lagi kalau mereka ini grupnya Abdurrahman Abdul Khaliq yang sudah dibantah oleh para ulama. Bukan satu-dua ulama, tetapi para ulama, termasuk Syaikh Muqbil yang di Yaman atau Syaikh Rabi’ yang di Saudi, yang berjauh-jauhan keduanya membantah Abdurrahman Abdul Khaliq. Demikian pula ulama yang lain, banyak.

Pesantren Al-Irsyad Tengaran menjadi saksi…….
Ini…( Abdurrahman Abdul Khaliq-peny), datang ke Indonesia, ke Tengaran itu disambut, diberi tempat dan dibikin daurah oleh Yusuf Utsman Ba’isa, yang sesungguhnya masih misan saya, anak paman saya. Seperti itu, datang dikasih tempat, diberi kesempatan untuk bicara. Diundang semua para da’i. Waktu itu kita sudah tahu Abdurrahman Abdul Khaliq, tetapi ada berita dia taubat, menulis surat kepada Syaikh Bin Bazz dan menyatakan pernyataan taubatnya….maka saya hadir dalam keadaan bertanya-tanya, benar sudah taubat atau tidak. Saya duduk, dia berbicara. Ini da’i semua nih, da’i kumpul semua, Abu Nida’ ada, Sholeh Su’aidi ada, siapa lagi…. semua…., Yusuf yang mengundangnya, Ahmas Faiz[1] ada, lengkap, Abu Haidar ada.
Kemudian bertanya:”Syaikh, bagaimana mengatakan Yusuf Qaradhawi dengan Yusuf Al-Quradly, apa boleh itu?”
….Abdurrahman Abdul Khaliq ngamuk, ngamuk besar, saya sampai bengong, dibela mati-matian Yusuf Qaradhawi, “Afna hayatahu fi da’wah”
Saya mendengar sendiri, yakni tidak pakai sanad, sami’tu, tinggal kalian percaya sama saya atau tidak, Asma biudinayya, saya mendengar dengan telinga saya sendiri dia mengatakan :”Afna hayatahu fi da’wah, Yusuf Qaradhawi ini menghabiskan umurnya dalam dakwah[2], kemudian kamu cela seperti itu? WALLAHI HADZA ADALAH PERBUATAN KHAWARIJ” kata dia, KHAWARIJ ITU KAFIR, kemudian disebutkan tentang kafirnya Khawarij.
Saya bingung, satu pembelaannya terhadap Qaradhawi mati-matian padahal Qaradhawi aqlani. Sampai Syaikh Muqbil menulis kitab “Iskatu Kalbun awi fi Raddi ‘ala Yusuf Qaradhawi”, Mendiamkan Anjing Menggonggong sebagai Bantahan Kepada Yusuf Qaradhawi. Disebutkan Iskatu Kalbun awi fi Raddi ‘ala Yusuf Qaradhawi, ini dibela mati-matian oleh Abdurrahman Abdul Khaliq, itu yang pertama.
Dan kemudian yang kedua, dia mengkafirkan Khawarij, padahal Ali bin Abi Thalib sendiri mengatakan minal kuffri farru, justru dari kekufuran itu mereka lari. Kata Ali bin Abi Thalib ketika ada yang mengatakan kufar, tidak, justru karena takut kafir mereka sampai ekstrim, sampai melampaui batas.
Kemudian yang ketiga, CELAANNYA TERHADAP SALAFIYYIN sehabis itu :”Memang Salafiyyin itu kaku[3]….” dan seterusnya.
Wallahi, demi Allah saya mengeluarkan air mata waktu itu, nangis, kenapa?
Bukan hanya ucapan Abdurrahman Abdul Khaliq yang bejat, tetapi dengan senyum-senyumnya para du’at, kenapa mereka kok senyum-senyum melihat ucapan kayak gini ini? Melihat ini kenapa? Sholeh Su’aidi, kemudian Abu Nida’ dan sebagainya, seakan-akan tidak ada masalah dan merasa menang bisa mengalahkan Ustadz Ja’far (semoga Allah memberikan hidayah kepadanya-peny) dan ustadz Muhammad. Nah …kena lo!! Seakan-akan begitu, senyum-senyum dengan jawaban (tentang-peny) Qaradhawi sambil gini-gini, sambil gerakkan badannya, ‘ajib. Ini juga yang membikin kita sedih.
Maka ini dosanya Yusuf Ba’isa menyebarkan kesesatan melalui Abdurrahman Abdul Khaliq dan mengundang orang-orangnya. Maka da’i itu pulang, da’i pulang itu akan disampaikan kepada murid-muridnya, itu Tengaran.
Dan juga termasuk turunannya dari Abdurrahman Abdul Khaliq, karena pemimpin organisasi dana bantuan Ihya’ut Turots, maka diapun mengucurkan dananya kepada berbagai macam pihak untuk menjadi corongnya, diantaranya Abu Nida’ cs di Yogya[4] yang kemudian bikin pondoknya Bin Bazz atau apa….kemudian yang di Solo, Imam Bukhari dan seterusnya. Kemudian membiayai untuk menerbitkan majalah As-Sunnah, Al-Furqon. Kalau Al-Furqon dengan majalahnya mereka, mereka punya majalah Al-Furqon, majalahnya Sururi Abdurrahman Abdul Khaliq, Abdurrahmaniyyun.
Kemudian yang ketiga, turunannya Muhammad Surur. Muhammad Surur punya yayasan di London, di Birmingham. Punya yayasan namanya Al-Muntada, grupnya…dan menerbitkan majalah As-Sunnah, sama dengan yang di Solo.
Kemudian As-Sunnah ini pertama dipuji oleh Ulama, karena biasa, sururiyun pertama menyebutkan yang bagus-bagus, Salafi semua Salaf, wah… bagus, dan kemudian bergeser kepada apa yang mereka mau sampai pada titik puncaknya ucapan mereka yang jahat kepada Ulama, yaitu mengatakan bahwa Taghut itu bermacam-macam, ini kata Muhammad Surur di dalam majalah As Sunnah, Toghut itu bertingkat tingkat, Toghut yang paling tinggi adalah Clinton dan sebentar lagi Bush katanya, menujukkan kalau mereka tahu Fiqhul Waqi’, jadi setelah Clinton itu pasti Bush padahal belum diganti pada waktu itu, dan Toghut tingkat keduanya adalah para pimpinan-pimpinan negara Arab, apa semua pimpinan negara Arab kufar semua? Atau ada yang kufar? Atau tidak kufar semua? Kok dikatakan Toghut, Toghut itu lebih dari kafir sudah. Dikatakan toghut selanjutnya adalah para raja-raja Arab, karena apa? Karena mereka menyembah taghut Bush atau Clinton itu tadi, dan mereka berkiblatnya adalah ke Gedung Putih, bukan ke Kab’ah katanya, termasuk raja Saudi yang dimaksud. Dan kemudian tingkatan yang ke tiga dari Toghut adalah para Ulama-ulamanya, Ulama-ulama arab, ini yang dimaksud adalah Saudi, kelihatan.
Yaitu yang mencarikan fatwa untuk para taghut-togutnya. Kalau Toghutnya ingin halal maka mencarikan dalil untuk menghalalkannya, kalau mereka ingin haram maka mereka mencari dalil-dalil untuk mengharamkannya, kalau mereka sedang bertikai dengan Iran maka mereka para ulama-ulamanya mengumpulkan dalil tentang jeleknya syi’ah, jelaskan maksudnya kemana walaupun disebutnya Arab tapi jelas maksudnya adalah Saudi dan berarti ulamanya adalah ulama yang kita kenal, apakah Syaikh Bin Baz, apakah Syaikh Utsaimin itui yang dimaksud, dan lain-lainnya. Kalau berseteru dengan Iran mereka cari dalil tentang jeleknya Syi’ah, dan kalau berseteru dengan Irak, nah ini mulai tambah dekat, karena pada waktu itu kejadian Irak, baru, maka mereka ramai-ramai mencari dalil jeleknya Ba’tsi, dst. Sosialisme. “Mereka ini adalah para penjilat-penjilat munafiqun”, katanya. Dengan tulisan inilah hancur As-Sunnah dan grupnya, sampai para Ulama membantah dengan keras, habis sudah, ditahdzir. Setelah ditahdzir, sebagaimana biasanya mereka selalu berganti pakaian. Ditahdzir ganti pakaian itu biasa. Maka mereka mengatakan, ” Memang As-Sunnah itu jelek, As-Sunnah itu ekstrim,… ” dan sebagainya.
Akhirnya bikin yayasan baru, namanya nama baru, bikin majalah, majalah baru. Yayasannya Al-Muntada, majalahnya adalah Al-Bayan, bukan lagi As-Sunnah tetapi AL-BAYAN. Sehingga Salafiyyin di Saudi kalau sedang menjelekkan Sururiyyin, mengatakan lakumul Bayan was Sunnah wa lanal kitab was sunnah “kamu itu punya Al-Bayan dan As-Sunnah, sedangkan kami berpegang kepada Al-Kitab dan Sunnah.” Maksudnya Al Bayan dan As-Sunnah artinya majalah Al-Bayan kemudian As-Sunnah.
Dan yayasan Al-Muntada London ini membuka cabang di Indonesia, dan ini tidak pakai sanad lagi, dan saya langsung diajak untuk medirikannya, dan pada saat itu saya tidak tahu apa-apa sama sekali nggak ngerti. Karena seperti biasa mengaku Salaf, saya tidak pernah denger yang namanya Al-Muntada sama sekali, wala di London wala di indonesia wala dimanapun, ana gak paham makanan apa itu, gak tau. Orangnya “kita, da’wah Salafiyah di Indonesia perlu dikasi dukungan dan sebagainya, kita perlu bikin yayasan dana bantuan untuk membantu Salafiyin”, untuk membantu Salafiyin, toyyib kita bikin, saya termasuk pendirinya. Namanya Al-Muntada, persis sama dengan apa yang di London jadi jangan pura-pura, saksinya masih hidup sampai sekarang. Kemudian dalam keadaan saya masih di situ, mereka ganti menjadi Al-Sofwa, lho kok diganti Al-Sofwa padahal saya gak pernah ikut rapat dan sebagainya. “Tidak, mereka minta ganti nama”, selalu setiap ada keputusan “apa kita tidak bisa punya pendapat?” padahal kita pendiri waktu itu, tetapi semua keputusan Muhammad Kholaf yang bilang “mereka…, mereka….” Atau dia istilahkan dengan “Ashabi…, ashabi….”. “Sahabat-sahabatku minta begini, sahabat-sahabatku minta begini…”, Siapa? Saya berfikir berarti ini ada atasannya, berarti ini adalah cabang dari sana. Sampai kemudian saya datang kepada Syaikh Rabi’, waktu saya tugas di Qosim di Unaizah saya ada kesempatan ke Madinah mampir saya ke tempat Syaikh Rabi’ tanya langsung tentang Al-Sofwah, Dulunya namanya Al-Muntada, ” Ah…, Al Muntada?”, “Ya, terus ganti dengan Al-Sofwah” . “Al-Muntada sama dengan yang di London?”. “Na’am, ya syaikh, katanya begini dan begini”, saya terangkan,”Kalau itu betul dari mereka, lihat nanti, mereka akan menjadi penghalang pertama dakwah Salafiyyah, dan saya tidak ke sana lagi selamanya abadan, abidiina. Dan saya bukan lagi pendirinya Alhamdulillah, karena dulu kita mendirikan Al-Muntada kemudian dirubah oleh mereka diganti dan entah tidak ngerti lagi saya pada waktu itu, sudah lain sama sekali. Dan di dalamnya, waktu saya di situ saja pernah kita tegur adanya orang dari IM,” Syaikh ini orang dari Ikhwan?”, “La (tidak, red).., kita tarik supaya jadi Salafy”, katanya. Ya sampai hari ini dia masih tetap. orang Lampung pada waktu itu Da’i Ikhwani, di Lampung digaji oleh Al-Sofwah. Kenapa tau? Ya karena sama saya sekelas orang itu di LIPIA dan tahu betul dia ini IM
Sehingga Ikhwana fiddin a’azzakumullah,
Sudah ada tiga jalur: (1-peny) Jalurnya Abdul Karim, jalurnya ke ‘Alamus Sunnah dan As Sunnah Cirebon, dan (2-peny) Abdurrahman Abdul Khaliq, ke (Al-Irsyad-peny) Tengaran dan kemudian ke Yogya dan Solo itu, Abu Nida’ dan Ahmas Faiz[5]. Kemudian (3-peny) Muhammad Surur-nya langsung dengan As-Sunnah dan Al-Bayannya masuk ke Al-Sofwa dan kemudian dari Al-Sofwa ini disebarkanlah majalah Al-Bayan[6] tadi. Dan itu terang-terangan, bundelnya Al-Bayan di Al-Sofwa itu lengkap dan disebarkan di seluruh Indonesia, termasuk ke Solo ke grupnya Ahmas Faiz dan grupnya Abu Nida’ termasuk yang dikirimi. Entah itu apakah masih berlanjut, karena saya tidak tahu, ataukah tidak.
Kemudian ternyata mereka juga membantu dana kepada segala macam Ahlul bid’ah, termasuk Ngruki (Al-Mukmin Ngruki, Abu Bakar Ba’asyir-peny). Ngruki yang jelas-jelas seperti itu yakni pemikirannya, pemikiran NII, kalaupun apakah asli ataukah pecahan saya nggak tahu, pokoknya pemikirannya seperti itu, pemikiran Khawarij, KGB, Khawarij Gaya Baru, itu dibantu, sampai kita tegur waktu itu

Itu dalam keadaan masih kita tegur oleh kita, apalagi ketika sudah di boykot, sudah di tahdzir mungkin tambah bebas mereka. Dengan alasan ” O.. tidak, kita tidak menyumbang gerakannya mereka, kita hanya menyumbang kitab. Jadi menyumbang kitab itu suaya mereka baca kitab”. Ternyata ketika ada seorang yang ke sana, ada gedung baru, gedung perpustakaan bertingkat, gedung besar, tanya : “Ini dibangun dari mana dananya?”, “Anu… dikasih sama Al-Sofwah”. Ternyata bukan buku tapi dikasih betul-betul berupa gedung yang alasannya buat perpustakaan. Ini juga dari kedustaan dia, membangun masjidnya ahlul bid’ah, banyak ya…. Hadza Al-Sofwah, dan YAZID JAWWAS mengatakan “Al-Sofwah itu Salafy”, padahal tadinya ketika dia masih sama kita dia mengatakan bahwa Al-Sofwa itu ikhwani, Surury, tapi ketika dia bersama mereka sudah meninggalkan Salafiyyin, terus omongnya sudah lain. Jalur apalagi yang belum saya sebut? Sudah ya?.
Dari Al-Sofwa menyebarkan kepada di antaranya yang dibangun Al-Sofwah, dengan da’i-da’inya, dengan biayanya dari A sampai Z adalah pondoknya Asmuji, di Cilacap, bahkan sampai diadakan Dauroh,yang pengajar-pengajarnya diambil dari grupnya mereka Sururiyin di Riyadh, asli ini orang Arab mengajarkan bagaimana pemikiran-pemikiran Sururiyyin, diajarkan oleh mereka. Yang juga dibantu oleh Al-Sofwa dan dan da’inya dari Al-Sofwah, sampai diadakan dauroh yang mengisi daurohnya adalah IM, IM Arab, bayangkan yang IM Indonesia saja bahaya apalagi IM arab, yang biasa pakai bahasa Arab dan pakai dalil-dalil, itu adalah AUNUR ROFIQ GHUFRON, GRESIK, yang sampai Sururiyyin sendiri yang hadir ngomong “kok yang ngisinya Ikhwan ya?”, tahu mereka yang mengisinya adalah Ikhwanul Muslimin, yang menyampaikan adalah ANAK BUAHNYA ABU NIDA yang di Jogja, yang pernah di Pakistan, Abu siapa itu…? Itu yang mengatakan ” iya , diantara mereka ada Ikhwan” katanya.
Bayangkan bukan lagi Sururi tapi Ikhwan ini yang ngisi, karena masalah fulus. Dikasih mobil, dikasih dauroh, dikasih bangunan, apa lagi..? Dan ini rasanya sudah terjawab atau paling tidak tersebut semua rangkaiannya dan orang-orangnya juga kan berarti? Aunur Rofiq Gufron sudah, Yusuf Baisa sudah kamu tahu, Abu Nida sudah disinggung. Abu Haidar sama dengan Al-Sofwa, karena bekerjasama dengan Al-Sofwa sampai sekarang, bahkan Al-Sofwa bikin cabang di Bandung dan yang mengurusnya Abu Haidar cs. Adapun Abdul Hakim Amir Abdat dari satu sisi lebih parah dari mereka, dan sisi lain sama saja. Bahwasannya dia ini, dari satu sisi lebih parah karena dia otodidak dan tidak jelas belajarnya, sehingga lebih parah karena banyak menjawab dengan pikirannya sendiri. Memang dengan hadits tetapi kemudian hadits diterangkan dengan pikirannya sendiri, sehingga terlalu berbahaya, mengerikan, sampai-sampai dia melepas hijab ketika kajian[7], ” tidak ada…, mana? Hijab itu?..” begitu. jadi akhwat tidak pakai hijab dengan ikhwan, kemudian dia menertawakan gamis, ini ihtiza biSunnah, memperolok-olokan Sunnah. Keras sekali hukumnya dalam hukum Islam. Sururiy yang tadi itu tidak sampai separah ini, dia mengatakan kepada teman-teman yang pakai jubah itu bahwa mereka pakai rok katanya. ” Ada apa kamu pakai rok? Kayak perempuan”, maksudnya mau membantah.kalau kamu katakan “Inikan sunnah”, dan dia akan bantah bahwa ini bukan sunnah sekalian menonjolkan ilmunya nih saya tahu, dengan cara memperolok-olokkan Sunnah. Padahal kalaupun itu adalah Jibliyyah, karena paling sedikitnya adalah jibiliyyah (sesuatu yang dipakai oleh Rasulullah namun tidak dianjurkan pada ummatnya dan bukan Sunnah) itupun para Ulama mengatakan “Tidak boleh doperolok-olokkan”. Kenapa? Karena Kalau memperolok-olokan berarti memperolok-olokan apa yang dipakai Rasul.hadza adzim, besar sekali disisi Allah. Ini kekurangan ajarannya Abdul Hakim ini disebabkan karena dia menafsirkan seenak sendiri dan memahami seenaknya sendiri. Tafsirnya dengan Qultu, saya katakan, saya katakan , begitu. Ya.., di dalam riwayat ini…ini… dan saya katakan, seakan-akan dia kedudukannya seperti para ulama, padahal dari mana dia belajarnya.
Ini yang jadi masalah sehingga banyak yang disaksikan oleh teman-teman yang perlu diteliti lagi, itu banyak berita-berita tentang Abdul Hakim, yang dia ngobrol dengan perempuan tanpa hijab sama sekali, pakai celana panjang, pakai kaos ketat, ketika ditegur, “Saya sedang menasehati”, terus juga dia masih merokok, kemudian juga masih sering musbil, masih sering pakai pantalon, karena dia mencela gamis dia pakai pantalon, celana ketat yang sampai disebutkan oleh Syaikh Yahya Al Hajuri di Yaman, ketika ditanyakan tentang Abdul Hakim , “Siapa?”, lalu diterangkan kemudian sampai pada pantalon (celana tipis yang biasa dipakai untuk acara resmi ala Barat, red), “Hah huwa Mubanthal (pemakai panthalon, celana panjang biasa yang memperlihatkan pantatnya dan kemaluannya itu)”, “Iya syaikh”, “Allah, yakfi, yakfi, yakfihi annahu mubantol”. “Cukup kamu katakan dengan dia memakai panthalon saja untuk dikatakan, “Jangan mengaji sama dia”, sudah cukup bagi saya, apalagi yang lebih dari itu.
Seorang da’i Seorang yang mengajarkan Sunnah maka harus dimulai dari dirinya untuk memakai yang tidak membentuk pahanya dan pantatnya, itu sudah harus. Ini ketika ditanyakan kepada Syaikh Yahya Al Hajuri, ada catatannya, ada kasetnya. Ini Abdul Hakim Abdat.

Jadi ikhwana fiddin a’azzakumullah
maka untuk selebihnya kalian harus mengkaji kitab-kitab bagaimana sikap Ulama terhadap Ahlul bid’ah, karena ini yang paling ditakuti oleh Sururiyyin, kalau saja disini ada seratus orang, di antara mereka ada Surury, tapi kita nggak tahu yang mana lalu antum ajarkan kitab-kitab manhaj, dia akan panas, gelisah seperti jin diruqyah, imma lari, imma membantah, protes, immma dia bingung, atau yang paling baiknya sadar saat itu, Alhamdulillah kalau begitu Sehingga kajian manhaj itu sangat penting, atau khususnya. Karena manhaj itu luas sekali, semua kitab-kitab para ulama semuanya manhaj. Kitab-kitab yang berbicara tentang sikap Ahlus Sunnah terhadap ahlul bid’ah. Nanti kita akan melihat betapa jahatnya tokoh-tokoh yang ditanyakan tadi ini. Jahat, sangat. Para ulama sedemikian kerasnya terhadap ahlul bid’ah dan begitu hati-hatinya sampai memperingatkan umat untuk hati-hati terhadap mereka, ini malah mengatakan, “Tidak apa-apa, mereka punya kebaikan”, sehingga terlihat 180 derajat antara para ulama dengan Sururiyyin ini, setelah kita membaca Seperti apakah kitabnya Lamuddurul Mantsur, atau kitab yang baru saya dapatkan ini Ijma’ dari Para Ulama tentang Tahdzir terhadap ahlul bid’ah terus kitab…
Bahkan sesungguhnya pada kitab-kitab para Ulama yang berbicara tentang Manhaj Ahlus Sunnah itu selalu ada bab khusus tentang bab wajibnya kita untuk menjauhi ahlil bid’ah , mesti , hampir setiap kitab As-Sunnahnya Al Barbahari ada keterangan tentang masalah itu, kemudian Abu Utsman Ashobuni, Aqidatus Salaf Ashabul Hadits ada bab itu bahwa ciri Ahlus Sunnah adalah benci terhadap Ahlul Bid’ah, dan menjauhi ahlil bid’ah dan mentahdzir ahlul bid’ah. Dalam Syarhus Sunnah dalam Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, kemudian dalam Syari’ah Al-Ajurry, kemudian Minhaj Firqatun Najiyah Ibnu Baththah, itu semua ada. Yang menunjukkan mereka semua sepakat untuk memperingatkan umat dari ahlul bid’ah dan mentahdzir ahlul bid’ah, membenci mereka, menghajr mereka, memboikot mereka dan tidak bermajlis dengan mereka, itu sepakat. Sehingga apa yang mereka sebarkan dari prinsip-prinsip ikhwaniyyah dan Sururiyyah ini, adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan Sunnah Rasulullah, dan bertentangan dengan 180 derajat.
Wallahu Ta’ala A’lam bish showab.
Subhanaka Allahuma wabihamdika ashadu ala ilahaila anta astagfiruka wa atubu ilaik,

Sekali lagi untuk lebih jelasnya dengan kajian kitab tadi.
Bolehkah Salafiyyin hadir dalam daurah Masyayikh Yordan yang diadakan Hizbiyyin?
Pertanyaan :
Bagaimana tentang subhat mereka yang menyatakan, “bahwa mereka Salafy, kenapa tidak mau menghadiri dauroh di Surabaya yang mendatangkan Syaikh Ali Hasan?”, itu syubhat yang sering mereka lontarkan kepada kita.

Jawaban Ustadz Muhammad:
Pernah ditanyakan tentang kepada Syaikh Yahya Al Hajuri tentang masalah Ali Hasan Abdul Hamid yang datang ke Surabaya. Ditanyakan “bagaimana Syaikh, ada suatu majlis yang didatangi Ali Hasan dan sebagainya, dari Urdun dan yang hadir di sana campur, ada ahlus sunnah ada ahlul bid’ah, ada berbagai macam kelompok, sururi dan sebagainya. apakah dibenarkan kami tidak datang ke sana, karena tidak mau ketemu dengan mereka, dengan ahlil bid’ah ini?
Kata Syaikh:
“Ada mereka di sana? Wallahi saya berpendapat bahwa bukan saja boleh, tidak perlu kamu duduk disana untuk hadir di majlis seperti itu. Kamu bisa hadiri majlis-majlis lain dari para Ulama dan kamu bisa membaca kitab para Ulama, kamu bisa mendengarkan kasetnya, dengan berbagai macam cara daripada kamu duduk dengan ahlil bid’ah.” Sampai seperti itu, dan beliau terheran-heran dengan Ali Hasan Abdul Hamid.
Wallahu Ta’ala a’lam.

Pertanyaan :
Bagaimana dengan Abu Qatadah yang sedang mereka elu-elukan?

Jawaban Ustadz Muhammad:
Abu Qatadah ini sebuah contoh yang bagus untuk menunjukkan akibat duduk dengan ahlul bid’ah. Abu Qatadah ini datang dari Yaman, dari Yaman mereka sudah sama-sama paham, sampai datang ke Indonesia, diajak kakaknya ketemu Abu Nida, dan kemudian di sana ngobrol, kemudian hilang nggak balik lagi. Abu Qatadah. Jadi mereka merasa bangga punya lulusan Yaman, lulusan Syaikh ini. Karena merasa dapat satu orang dari Yaman, karena yang belajar dari Yaman Salafiyyin semuanya, adapun Sururiyyin, tidak cocok di Syaikh Muqbil, akhirnya pindah ke tempat Abul Hasan, seperti Sholeh Su’aidi, akhirnya sekarang, Abul Hasan ditahdzir, jadi nasib mereka tetap tidak berubah, mereka ingin mendapat stempel Salafiyyin, namun setelah duduk di Syaikh tidak betah karena dibantai terus sama teman-teman, kemudian pindahnya ke Abul Hasan, ternyata dengan bangga ditulis, akan diisi oleh Sholeh Su’aidi, murid Abul Hasan Al-Misri, na’am dauroh di Purwokerto, ana bilang kasihan mereka nggak tau, Abul Hasan sudah ditahdzir dengan keras oleh para Ulama, mereka mengelu-elukan orang yang sudah ditahdzir oleh para Ulama. Abul Hasan kasar sekali ucapannya terhadap Syaikh Rabi’ dan kurang ajar betul, dan para Ulama sudah marah kepada Abul Hasan, bahkan bukan Abul Hasannya, pembela-pembelanya kena dan ikut jatuh, jatuh bareng, termasuk di antaranya adalah da’i Yordan, wallahu a’lam siapa yang dimaksud, karena yang disebutkan hanya da’i Yordan, Urduniyyin, Yordan setelah ditinggal Syaikh Albany lemah katanya. Sedang ramai pula di tingkat tinggi para Ulama, tentang Abul Hasan[8].
[Sumber Asli : http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&idartikel=496 dengan beberapa keterangan tambahan])
(Bab VI, Bundel artikel Badai Fitnah Dakwah Ihya’ At-Turats cs.)



[1] Dedengkot Ihya’ At-Turots Indonesia, pimpinan majalah Sururi As-Sunnah At-Turotsy sekaligus murid besar Syarif Hazza’, Dajjal Ihya’ dari Mesir.
Syaikh Muqbil berkata memperingatkan umat dari tipe orang-orang semacam ini:
“Orang yang menjual dakwah demi dinar adalah orang yang bangkrut dan merugi: “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang-orang yang menyeru kepada Allah, dan mengerjakan amal sholeh dan berkata: ’sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’?” (QS. Fushshilat/41: 33)
Sungguh bangkrut dan merugi orang yang menjual dakwah demi membangun masjid, [dia berkata]: ‘Bangunkan untuk kami sebuah masjid dan kami, insya Allah, Salafy.’ Ya, tetapi ‘Salafy’-nya Abdurrahman Abdul Khaliq yang membolehkan demokrasi, membolehkan pemilu, dan membolehkan demonstrasi.
Tetapi kami Salafy, kami tidak menginginkan masjidmu. Dan kami tidak menginginkan dinarmu, Allah telah mencukupi kami dari merasa butuh dari hal itu. Dan kami tidak menginginkan bantuanmu.
Kami harus menjelaskan kesesatan-kesesatanmu dan menunjukkan betapa kamu berseberangan dengan al-Kitab dan as-Sunnah, Wallahul-musta’an, dan hal itu tidak bisa disangkal lagi.
Dan alhamdulillah, Syaikh Rabi’ telah membuat [bantahan atas kesesatan-kesesatan Abdurrahman Abdul Khaliq], semoga Allah membalasnya.
(Abdurrahman Abdul Khaliq) Ya, dia seorang mubtadi’, dan hendaklah yang hadir memberitahu yang tidak hadir. Karena dia menyeru kepada hizbiyyah, Allah berfirman dalam kitab suci-Nya: “dan perpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (Ali ‘Imran (3): 103) [http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id
artikel=263] –peny.[2] Inilah- salah satu jenis dakwah-yang dengannya umur Qaradhawi dihabiskan (sebagaimana yang dimaksud oleh Abdurrahman Abdul Khaliq gembong besar Ihya’ At-Turots):
Kesesatan Qaradhawi - Menuduh Ulama Jumud serta Mengagungkan Para Penulis, Rasionalis, dan Mubtadi’ Sebagai Intelektual Independen.
Kita ketahui bersama bahwa ulama As Sunnah telah direndahkan hak-hak mereka oleh ahli bid’ah dan orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit. Dan ini tidaklah membahayakan mereka karena Allah telah mengangkat nilai mereka dan menjadikan mereka diterima oleh manusia. Sudah sejak lama para ahli bid’ah menyifati ulama umat Islam sejak dahulu kala dengan sifat-sifat yang membikin orang lari seperti Al Hasyawiyah (orang-orang yang sempit pandangan), Al Mujassimah (orang yang beranggapan bahwa Allah memiliki jism/tubuh), Al Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk), dan menuduh mereka sebagai orang yang berlebihan dan keras, dan lain-lain.
Akhirnya Qaradhawi telah memberikan kepada kita sifat yang lain bagi ulama tersebut, yaitu sifat jumud (kaku/beku). Sungguh ia telah berbicara dalam bukunya Al Ijtihaad fii Syarii’atil Islamiyah halaman 47 tentang sebagian ijtihad-ijtihad dan ia mengambil contoh dengan zakat fitrah dan hukum mengeluarkannya, apakah dikeluarkan dalam bentuk harta ataukah boleh diganti dengan harganya (uang)? Dia berkata :
Ibnu Hazm menolak dikeluarkannya zakat mal dan zakat fitrah dengan harganya (diganti uang). Walaupun ada kebutuhan dan maslahah yang menuntutnya dan inilah yang kita lihat dari para ulama yang jumud terhadap nash-nash di hari ini. Mereka berfatwa kepada orang-orang banyak tentang zakat fitrah dan melarang sama sekali menggantinya dengan harga (uang). Mereka hanya memperbolehkan makanan pokok penduduk negeri, baik gandum ataupun yang sejenisnya dan hampir-hampir tidak bisa didapati dengan mudah oleh orang-orang kaya ataupun tidak bisa diambil manfaatnya oleh orang fakir di negara-negara Islam yang sudah mulai membeli roti (siap) saji dan tidak butuh lagi biji-bijian tersebut.
Pembaca, sebaiknya Anda mengetahui siapa saja ulama yang berpendapat tidak boleh mengganti zakat fitrah dengan harganya. Akan aku sebutkan di sini nama-nama orang besar dan yang masyhur di antaranya : Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Abu ‘Ubaid Al Qasim bin Salam, Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd, Ibnu Qudamah, Al Kharqi, Al Baghawi, An Nawawi, Ibnu Taimiyah rahimahumullah dan dari ulama sekarang adalah Syaikh ibn Baaz, Syaikh Shalih Al Fauzan, Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, dan sebagainya. Rujuklah tentang masalah ini di kitab Al Mughni karangan Ibnu Qudamah juz III, Al Muhalla masalah nomor 704, Al Fath juz III/370, Majmu’ Fatawa juz XXV, Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd (134), Syarhus Sunnah karya Al Baghawi 6/54, Taudhihul Ahkam 3/11, Majmu’ Durus wa Fatawa Al Haramul Makky Ibnu Utsaimin juz II/380-382, Fatawa Islamiyah II halaman 90-100, Al Muntaqa min Fatawa As Syaikh Shalih Al Fauzan V/106.
Pembaca, tidak tersamar lagi olehmu bahwa orang-orang tersebut adalah para imam ahli ilmu dan penunjuk jalan bagi manusia. Mencela mereka sama artinya dengan mencela agama. Kendati demikian, Qaradhawi telah lancang mensifati mereka dengan jumud terhadap nash-nash karena ia tidak ingin bila mereka merasa cukup ketika berhadapan dengan nash akan tetapi ia ingin agar mereka menentang nash dan mengalihkan maknanya seperti kebiasaannya.
Sebaliknya –pembaca– Anda dapatkan Qaradhawi memuji sekelompok orang-orang masa kini yang sebagian dari mereka terkenal dengan kesesatan dan penyimpangan sebagaimana tidak tersamar lagi bagi para pencari Al Haq.
Sebagian orang yang dipuji-puji Qaradhawi itu sama sekali tidak mengenal ilmu melainkan sekedar terkenal sebagai penulis atau sastrawan. Akan tetapi tatkala mereka cocok dengan pemikirannya dan berjalan sesuai dengannya, ia memuji mereka sebagai para cendekiawan, ilmuwan, penemu, dan sebagainya. Inilah nash perkataannya :
Sesungguhnya umat kita di era baru ini telah memilih para cendekiawan dan pemikir dalam masalah ilmu pengetahuan, sastra, pelbagai macam seni. Maka mengapakah ia tidak bisa melahirkan para ilmuwan seperti mereka dalam bidang fiqh dan ijtihad. Siapakah yang mengingkari kepandaian Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Abdul Majid Sulaim, Mahmud Syalthut, Muhammad Al Hidhr Husain, At Thahir bin Asyuur, Faraj As Sinhuri, Ahmad Ibrahim, Abdul Wahab Khalaf, Muhammad Abu Zahrah, Ali Al Khafif (Al Qaradhawi, Al Ijtihaad fii Syarii’ah Al Islaamiyah halaman 146)

Lihatlah wahai pembaca, ia telah menjadikan orang-orang tersebut sebagai cendekiawan-independen sedangkan para imam seperti Ahmad, Malik, Syafi’i, Ibnu Taimiyah, Ibn Baaz, Ibnu Utsaimin, Al Fauzan, dan sebagainya sebagai orang-orang jumud (kaku)!
Untuk memperjelas sikapnya terhadap ulama dahulu dan sekarang, ia telah menulis buku pegangan untuk para da’i yang berjudul Tsaqaafatud Daa’iyah. Di dalamnya, ia telah menyusun satu pasal khusus memuat buku-buku Islam kontemporer. Ia menyebut 26 kitab dan tidak terdapat satu pun kitab ulama Salafiy baik sekarang ataupun terdahulu. Dia hanya menyebut kitab-kitab dari para pemimpin Ikhwanul Muslimin, baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Inilah nash perkataannya :
Dan hendaknya mengambil faedah dari tulisan-tulisan ulama sekarang dari para pemikir Islam di pelosok dunia Islam pada bidang-bidang yang asasi dalam aturan (perundangan) Islam dan kami pilihkan sebagian buku hanya sebagai contoh bukannya membatasi.
Kemudian dia menyebutkan 26 kitab dari orang-orang terkenal karangan mereka seperti Al Maududi, Al Ghazali, Sayyid Quthub, Al Banna, Sa’id Hawwa, Abbas Mahmud ‘Aqqad, Abul Hasan An Nadwi, dan Qaradhawi sendiri.
Qaradhawi telah menjadikan penyembuh dari kelemahan dan kemunduran serta tercabik-cabiknya Muslimin adalah kembalinya mereka kepada Islam yang diajarkan oleh sekelompok orang-orang masa kini yang mereka adalah orang-orang Freemasonry, Sufi Hasyafi, ataupun para penulis yang sama sekali bukan ahlul ilmi. Inilah nash perkataannya :
Sesungguhnya obat satu-satunya bagi kelemahan dan perpecahan ataupun kemunduran Muslimin adalah kembalinya mereka kepada Islam yang benar. Sebagaimana yang didakwahkan oleh para mujaddid (pembaharu) yang asli seperti Jamaluddin (Lihat biografi Jamaluddin Al Afghani dari Kitab Al Madrasah Al Aqlaniyah milik Dr. Fahd Ar Ruumi. Ia telah menyebutkan hubungan Afghani dengan Masuniah dan dakwahnya kepada Masuniah begitu juga dengan Muhammad Abduh) , Al Kawakiby, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Iqbal, Hasan Al Banna, Shadiq Ar Rifai, atau para pemikir lainnya. (Min Ajli Shahwati Raasyidah, halaman 101)

Saudaraku, lihatlah bagaimana ia telah menjadikan kembali kepada Islam adalah sebagaimana yang didakwahkan oleh orang-orang tersebut. Dan ia tidak memberikan arahan kepada umat ini agar kembali pada Islam dengan pemahaman para pendahulu umat ini (As-Salaf). Ini tidak lain hanyalah karena sikapnya kepada As-Salaf dan permusuhannya terhadap manhaj mereka sebagaimana ia telah mensifati mereka dengan Al-Jumud (beku).
(Sumber : Kitab Raf’ul Litsaam ‘An Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari’atil Islaam, Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al-‘Udaini edisi Indonesia Membongkar Kedok Al Qaradhawi, Bukti-bukti Penyimpangan Yusuf Al-Qaradhawi dari Syari’at Islam. Penerbit Darul Atsar Yaman.
(Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=651)-peny.

[3] Tidaklah ucapannya ini membikin gembira kecuali terhadap Hizbiyyun Ahlul Batil!!-peny.
[4] Orang ini adalah jenis manusia yang sangat licik! Mentalbis umat seakan selalu menyandarkan semua persoalan kepada para ulama, padahal hanya untuk berlindung diri dari berbagai kejahatan hizbiyyah yang dilakukannya. Ketika diperingatkan tentang kesesatan Salman Al-Audah cs, Abu Nida’ mengambangkan peringatan tersebut dengan mengatakan:”Kita menunggu fatwa Kibarul Ulama”. Tetapi setelah fatwa Kibarul Ulama menjelaskan kesesatan Salman cs, maka Abu Nida’ cs. Berkata:”Kita tidak boleh taqlid kepada ulama!”
Ketika diperingatkan dari kesesatan Abdurrahman Abdul Khaliq dan Sururiyyun , maka Abu Nida’ cs. mengambangkan persoalan tersebut dengan berfatwa:”Kita menunggu fatwa Kibarul Ulama”. Merekapun juga berkata:”Syaikh Rabi’ adalah Shighar ulama”. Padahal, ketika dia berbicara, di Saudi telah keluar tulisan yang mengumpulkan para ulama Salafiyyin yang telah mentahdzir Abdurrahman Abdul Khaliq. Kalau dia beralasan (ketika) belum mendapatkan buku itu, lalu apakah sampai saat ini diapun belum mendapatkan informasi kesesatan dan kejahatan Abdurrahman Abdul Khaliq?! Yang seorang Salafiyyin yang baru belajar manhaj Salaf sekalipun –Insya Allah- sudah mengetahuinya?! Ternyata sampai saat inipun dia tidak bisa lepas dari Dinar Hizbiyyah Abdurrahmaniyyah Turotsiyyah celaka!! Dan ketika ditanya oleh seorang AKHWAT BANTUL tentang ketegasan sikapnya terhadap gembong besar Ikhwanul Muslimin, lagi-lagi akal bulusnya keluar dengan berlindung dibalik ucapan:”Kita menunggu fatwa Kibarul Ulama seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shalih Al-Utsaimin” dan ucapannya kepada AKHWAT tersebut:”tentang Ukhti sudah berani menta’yin pada SYAIKH HASAN AL-BANNA RAHIMAHULLAH sebagai ahlul bid’ah itu terserah Ukhti”(Risalatikum, Majalah As-Sunnah, edisi 18/Th.2/1996). Pembaca tentu sudah dapat memiliki gambaran siapakah yang memiliki manhaj Salafy tulen dan siapa pula yang menjadi “algojo” Sururiyyin-Turotsiyyin-Ikhwaniyyin untuk mentalbis, mencabik-cabik dan memecahbelah barisan dakwah Salafiyyah! Seorang AKHWAT Bantul ataukah seorang Abu Nida’! Ketika datang ke Madinah, dia dibawa oleh para Thullab (pelajar) Jami’ah Islamiyyah Madinah dari kalangan Salafiyyin menghadap Syaikh Rabi’ dan Syaikh Abu Yasir Khalid Ar-Raddadi Hafidhahumallah. Keduanya telah menasehatinya mengenai penyelewengan-[enyelewengan Abdurrahman Abdul Khaliq. Hal ini sama sekali tidak diingatnya dan tidak disampaikannya kepada teman-temannya. Yang dia ingat adalah bahwa Syaikh Rabi’ belum membid’ahkan Abdurrahman Abdul Khaliq!! Dan tentu saja ingatannya juga tetap melekat kepada …dinar Hizbiyyahnya! Justru dia berkawan dengan orang-orang yang sefikrah dan pembela Abdurrahman Abdul Khaliq seperti Yusuf Ba’isa dan Syarif Hazza’! Abu Nida’ juga telah dititipi kaset yang berisi nasehat-nasehat Syaikh Rabi’ mengenai penyelewengan Abdurrahman Abdul Khaliq. Dia diberi amanah untuk menyebarkannya di Indonesia tetapi justru mendiamkannya. Ketika ditanya tentang kaset tersebut, dia beralasan bahwa kasetnya hilang!! Mana sikap amanah dia?! Kalau benar-benar hilang, paling tidak dia seharusnya memberi kabar tentang keberadaan kaset tersebut. Tetapi justru dia diam dan baru memberi tahu setelah ditanya. Bukankah dengan berbagai sikap dan sepakterjangnya berarti dia telah mendzalimi dan menyesatkan umat? Berapa banyak kaum Muslimin menjadi bingung dengan sikap “liciknya” ini!! Siapa saja orang-orang yang bergaul dan berta’awun Hizbiyyah dengan gembong Ihya’ di Indonesia ini? Simak uraiannya di bab-bab berikutnya. Insya Allah-peny.

[5] Abu Nida dan teman-temannya berkata: “Pada hakekatnya buku-buku ini serta kaset ini adalah pasif (seperti benda mati)”, padahal mereka mengatakannya setelah sampai kepada mereka sebagian buku dan kaset diantaranya:
1. Jama-atun Wahidah la Jama-at, karya Syaikh Rabi’
2. Hajrul Mubtadi, karya Syaikh Bakr Abu Zaid
3. Manhaj Ahlussunnah fi Naqdirrijal, karya Syaikh Rabi’
4. As Siyasah baina Firasatil Mujtahidin (Madarikun Nadhor), karya Syaikh Abdul Malik Al Jaza-iry
Mereka inginkan dengan kata-kata ini agar teman-teman kita dari Salafiyyin sibuk berdiskusi dengan mereka dan tidak merasa cukup dengan buku dan kaset tersebut. Maka apa yang antum akan katakan pada ucapan ini dan orang yang mengatakannya?

Jawab (Syaikh Ahmad bin Yahya Al-Hajuri Hafidhahullah) :
Saya katakan: Perkataan semacam ini adalah igauan, bagaimana seperti benda-benda mati? apakah kita ambil faedah dari benda-benda mati berbentuk sunnah-sunnah?, apakah kita ambil faedah agama dari batu dan pohon?, inilah benda–benda mati. Akan tetapi kitab-kitab itu?…apakah mereka (Ulama’) mengupayakan kesungguhan mereka yakni menghabiskan waktunya pada sesuatu seperti benda-benda mati? mereka yang menyusun buku, dan menulis, capek dan bergadang hanya karena sesuatu yang tidak dihasilkan dari padanya kecuali seperti benda–benda mati?.

Apa faedahnya kalau begitu? Ini, di dalam ucapan ini -kalau seandainya orang yang bodoh itu berakal, di dalamnya penghinaan terhadap para Salafush Shalih dan pelecehan terhadap mereka yakni bahwa mereka menyia-nyiakan upaya mereka dan memberikan waktu mereka, waktu mereka yang berharga pada sesuatu yang itu seperti benda-benda mati, seperti benda mati tiada faedahnya -Hasbunallah Wani’mal Wakil, buku-buku yang membawa kebaikan untuk manusia, buku-buku ini adalah dakwah kepada Allah, tidak boleh melecehkannya.
Dakwah kepada Allah diatas ilmu dan cahaya, buku-buku ini adalah nasehat untuk kaum muslimin, [ Agama adalah nasehat untuk Allah untuk kitab-Nya untuk RasulNya, untuk para pimpinan kaum muslimin dan kaum muslimin secara umum] (HR Muslim) buku-buku ini adalah buah hidupnya para Ulama’ cendekiawan dan inti sari hidup mereka. Engkau tidak ambil faedah dari kehidupan para ulama? kamu katakan bahwa ini adalah benda-benda mati, dari apa kalau begitu kamu ambil faedah?, kamu ambil faedah dari igauannya hizbiyyin (para fanatisme golongan).
Ini, seperti kalian ketahui adalah sebagian dari lemparan–lemparan yang mereka lemparkan, dan ungkapan-ungkapan yang diungkapkan Hizbiyyun, sebuah kalimat yang dilontarkan oleh Hizbiyyuun dan Sururiyyun. Dan begitulah, jika engkau debat dia, dia akan mengatakan: Saya tidak niatkan, kita tidak memaksudkan makna itu, tidak saya niatkan, kita tidak memaksudkannya.
Allah berfirman :
وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ
[Katakanlah bahwa kebenaran itu dari Tuhanmu] (Al Kahfi :29).
Allah juga berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
Artinya [ Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dan katakanlah kata-kata yang benar , Dia akan memperbaiki amal kalian dan akan mengampuni dosa kalian ] (Al Ahzab : 70-71).

Perkataan ini tidaklah benar, dimana kamu tuduh bahwa buku-buku ini adalah layaknya benda-benda mati dan benda mati itu tidak diambil manfaat darinya, padahal ini membawa agama, maka engkau (kalau begitu) melecehkannya dan melecehkan pengarang-pengarangnya dari para ulama Ahlussunnah.!
Hati-hati! perkataan ini tidak keluar kecuali dari manusia… semoga Allah menunjuki mereka, pada kakekatnya orang ini dari jenis… –saya tidak ragu- dan dengan memuji Allah saya tahu kata-katanya dengan hanya mendengar seperti perkataan ini. Saya tidak ragu bahwa dia dari jenis penebar keraguan, jenis yang bingung, jenis yang bodoh, jenis yang kehilangan Tarbiyah yang bagus di tangan didikan Ahlussunnah, jenis… ya, dia tidak terdidik oleh Ahlussunnah- jenis yang telah lewat sebutannya, dari Sururiyyah dan semacamnya.
Kalau tidak, maka demi Allah, tidaklah keluar sebuah kitab dari kalangan Ahlussunnah dari seorang alim dari Ulama’ Sunnah, kecuali akan merasa senang dengannya seorang sunny karena itu adalah pertolongan dan dia akan mengharap agar adanya seorang Sunny/Ahlussunnah yang mengerjakan masalah ini agar menerangkan kepada manusia bahanya kemungkaran itu.

Ini adalah masalah tolong–menolong atas kebaikan dan ketaqwaan sebagaimana Allah perintahkan. Maka ini adalah perkataan yang tidak pantas untuk ditoleh, karena kalimat yang semacam ini, yang bersorak dengannya sururiyyah akan hilang seperti faswatu ‘ajuz. Ya, tidak ada nilainya, ya.
Tambahan penting dari redaksi :
Abu Nida’ adalah tokoh yang berada dibalik pendatangan dana Kuwait di wilayah Jogjakarta. Abu Nida’ jarang sekali muncul di permukaan, karena lebih sibuk untuk membuat proporsal, mencari dana, melakukan pencarian lokasi masjid, ponpes baru dst, sehingga seperti dinyatakan para saksi, isi otaknya hanya fulus saja.
Berikut data yang dapat kami dapati sbb :
1. Tercantum dalam situs atturots.or.id yang sudah mati, namanya beserta nama pembesar Majelis Turots Al Islami lainnya, seperti Arif Syarifuddin, Abu Sa’ad Muhammad Nur Huda, Kholid Syamhudi, Lc, Tri Madiyono. Simak di download Center www.salafy.or.id/download.php file atturots.network.zip.
2. Tercantum dalam Download Center www.salafy.or.id/download.php file atturots.network.zip, adanya kerjasama Majelis At Turots Al Islami Jogjakarta dengan Lajnah Al Khairiyah Musytarokah Jum’iyah Ihya’ At Turots Kuwait, yang telah diperingatkan ulama akan bahayanya, juga Haiatul Ighatsah cabang Dammam (yang belakangan dananya juga dinikmati oleh Abdullah Amin, Kediri. Abdullah Amin punya majelis ta’lim di Malang bersama ustadz Sururi lainnya)
3. Atas usaha proposal ke Hizbiyyun, dan menjual “proporsal” inilah, Abu Nida’ cs berdirilah Ma’had Jamilurrahman, Islamic Center Bin Baz, Ma’had Imam Bukhari dst. 4. Tercatat, Abu Nida’ pernah mengisi bersama Yazid Bin Abdul Qodir Jawas, Aunur Rofiq bin Ghufron (PP Al Furqan, Gresik), Mubarok Ba Mu’alim (Ma’had Ali Al Irsyad pimpinan Abdurahman At Tamimi, Surabaya), pada bulan April tahun 2003 di Lampung. Nampak jelas mereka-mereka adalah rekan-rekan Abu Nida’, saling berkaitan dengan antara Al Irsyad, At Turots dan Al Sofwa dan para dainya. Simak artikel khusus kategori Sururiyyah yang lainnya berkenaan dengan Yazid Jawwas, Aunur Rafiq Gufron. 5. ABU NIDA’ HADIR DALAM ACARA DI MA’HAD ALI AL-IRSYAD AL-ISLAMIYAH SURABAYA, PADA FEBRUARY 2001, DI MARKAS ABDURAHMAN AT TAMIMI BERDIALOG DENGAN SYAIKH ALI HASAN. Nampak jelas keterkaitan Abu Nida’ dengan Ma’had Ali Al Irsyad dan da’i-da’i yang bersama mereka!!
4. Bukti terbaru, dalam rangkaian acara daurah Masyayikh Yordan ke-5 2006, peran Abu Nida’ dan jajaran Ihya’ At-Turotsnya tidak lagi tersembunyi, lebih dari itu mereka tampil terang benderang sebagai pemandu, pendamping, moderator dan penerjemah bahkan berunjuk gigi dengan mendatangkan Syaikh Musa Nasr ke Markas Besar Ihya’ At-Turots Indonesia di Ma’had Jamilurrahman dan Ma’had Bin Bazz sebagaimana dipublikasikan secara kronologis dan detail oleh situs Turotsy-Ikhwani, mus$$$.or.$$. (peny.)

[6] Kami hadirkan pula bukti stempel Ma’had Al-Irsyad Tengaran terhadap majalah Sururi Internasional ini (Al-Bayan). Dan ini sekaligus bantahan terhadap tulisan Abdullah Taslim:” Juga yang perlu ana ingatkan di sini, dan hendaknya ini menjadi renungan untuk kita semua, bahwa para ulama Ahlusunnah yang berselisih pendapat dalam masalah ini, tidak kita dapati salah seorang pun di antara mereka yang lantas menuding ulama yang lainnya sebagai hizbi atau sururi karena memuji dan membolehkan hubungan dengan yayasan-yayasan tersebut!”( February 17th, 2006 4:09 pm, Konsultasi Ustadz: Fitnah Sururiyyah, mus$$$.or.$$)
Kita tanyakan kepadanya:
Apakah para Masyayikh tersebut berbeda pendapat dalam menyikapi Majalah Al-Bayan milik Al-Muntada London yang dipropagandakan oleh Al-Irsyad Tengaran, Al-Sofwa Al-Muntada dan grupnya Abu Nida’-Ahmas Fais?!
Apakah Masyayikh Salafiyyin berbeda pendapat mengenai bolehnya bekerjasama dakwah dengan gembong-gembong Ikhwanul Muslimin seperti yang dilakukan oleh Ustadz-ustadz yang engkau katakan dalam tulisanmu ini “ustad-ustad Salafiyin yang kita kenal dakwah mereka di atas manhaj salaf, seperti ustad Abdul Hakim Abdat, Yazid Jawwas, Aunur Rafiq Ghufran, Abdurrahman at Tamimi, Ahmas Faiz, ustad-ustad di pondok Jamilurrahman, pondok Imam Bukhari dan lain-lain”?! Adapun bukti ilmiyyahnya, silakan engkau baca tulisan ini!!
Apakah para Masyayikh Salafiyyin berbeda pendapat dalam menyikapi Mubtadi’ gembong besar Ihya’ At-Turots Abdurrahman Abdul Khaliq yang datang ke Pesantren Tengaran untuk membela Qaradhawi dan dakwah Ikhwanul Muflisinnya?! Dan ingat bahwa dirimu berada satu shaf bersama orang-orangnya Abdurrahman Abdul Khaliq itu!!
Apakah para Masyayikh Salafiyyin berbeda pendapat dalam bersikap terhadap keteguhan Manhaj Syaikh Rabi’ Hafidhahullah?! Sekali lagi ingat, bahwa dirimu satu barisan bersama orang-orang yang telah melecehkan Syaikh Rabi’ Hafidhahullah!!
Apakah Masyayikh Salafiyyin juga akan berbeda pendapat tentang Al-Sofwa yang menjadi kepanjangan tangan Al-Muntada London yang mempropagandakan kaset-kaset bahasa Arab para gembong Sururi Internasional?!
Dan jangan engkau coba-coba membuta mata dan menutup telinga bahwa dinar Ihya’lah yang selama ini telah memecahbelah umat!!
Jujur saja, bukankah tulisanmu inilah yang dikehendaki oleh orang-orang Ihya’ At-Turots?! Membikin Abdurrahman Abdul Khaliq,Abdullah Sabt dan seluruh jajaran hizbinya tersenyum bangga penuh kemenangan?! Benar-benar engkau telah menolong mereka dalam menghadapi serangan Salafiyyin!! Kalau demikian keadaannya, sekarang ajarilah anak-anak ingusan itu Al-Wala’ dan Al-Bara’ yang sebenar-benarnya sebagaimana yang engkau dapatkan di kuliah Mastermu di Madinah!! Satu pertanyaan yang mengganjal, mungkinkah di kaidah Al-Wala’ wal Bara’mu terwujud bahwa pada persoalan yang sama antara Abdurrahman Abdul Khaliq dan jajaran Ihya’nya dengan Salafiyyin di pihak lainnya dapat tersenyum bersama-sama?! Mungkinkah tulisanmu ini bisa membuat Salafiyyin tersenyum lega dan di pihak lain orang-orang Ihya’ tersenyum bangga?! Allahu yahdik!!
“Aku Heran Dari Orang Yang Menjual Kesesatan Dengan Petunjuk!
Dan Aku Lebih Heran Dari Orang Yang Membeli Dunia Dengan Agama”

[7] Corong Sururiyyin yang sejenis dengan Abdul Hakim dalam masalah “bebas hijab” adalah Abdullah Shaleh Hadrami As-Sururi Al-Hizby sebagaimana akan datang bukti dan penjelasannya. Insya Allah-peny.
[8] Di situs sahab.net, ada kurang lebih 218 artikel yang khusus membahas tentang Da’i fitnah ini!! Abul Fitan Al-Ma’ribi Al-Mishri-peny.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar