Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Rabu, 20 Juni 2012

Berawal Dari Pandangan Mata


‘Pandangan mata’ ternyata bukan perkara remeh. Darinya, bisa muncul berbagai macam bahaya atau kejelekan bagi yang dipandang. Sekilas memang tak masuk akal, namun banyak kenyataan menunjukkan sebaliknya.

Si kecil tumbuh begitu lincah dan menggemaskan. Duhai, tak ada yang pantas diucapkan

selain rasa syukur kepada Rabb seluruh alam! Betapa bahagia rasanya memandang dan menikmati segala tingkah dan celotehnya.
Tak jarang komentar kekaguman berdatangan dari setiap mata yang memandang. Namun ungkapan semacam itu terkadang dianggap tabu, hingga ayah atau ibu biasanya segera menyergah, “Jangan dipuji, nanti jadi sakit lho!” atau pun dengan tanggapan-tanggapan semacam.
Terkadang pula terjadi, ayah dan ibu dibuat bingung karena buah hati mereka jatuh sakit, rewel, atau turun berat badannya tanpa sebab yang pasti. Pengobatan di dokter ahli sekalipun seakan tak membawa hasil.Ada apa sebenarnya di balik pujian? Benarkah pujian dapat menyebabkan si buah hati jadi celaka? Ataukah ada faktor lainnya? Haruskah kita mempercayai sesuatu yang rasanya sulit dicerna oleh akal itu? Sesungguhnya semua itu bukan semata akibat dari pujian yang terlontar, akan tetapi berawal dari pandangan. Pandangan mata seseorang dapat berpengaruh buruk pada diri orang yang dipandang, baik pandangan mata itu menatap dengan kedengkian atau pun kekaguman.  telah menyebutkan tentang adanya pengaruh pandangan mata ini melaluiIAllah  .rlisan Rasul-Nya yang mulia
Pandangan mata, atau diistilahkan dengan ‘ain, adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang dianggap bagus disertai dengan kedengkian yang muncul dari tabiat yang jelek sehingga mengakibatkan bahaya bagi yang dipandang. (Fathul Bari, 10/210)
Hal ini dijelaskan pula oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t bahwa ‘ain itu benar-benar ada dan telah  berfirman:
Pandangan mata, atau diistilahkan dengan ‘ain, adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang dianggap bagus disertai dengan kedengkian yang muncul dari tabiat yang jelek sehingga mengakibatkan bahaya bagi yang dipandang. (Fathul Bari, 10/210) Hal ini dijelaskan pula oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t bahwa ‘ain itu benar-benar ada dan telah  berfirman:Ijelas adanya secara syar’i maupun indrawi. Allah

“Dan hampir-hampir orang-orang kafir itu menggelincirkanmu dengan pandangan mereka.” (Al-Qalam: 51)
Ibnu ‘Abbas z dan selain beliau menafsirkan ayat ini bahwa orang-orang kafir itu hendak menimpakan ‘ain kepadamu dengan pandangan mata mereka.
 menjelaskan tentang keberadaan ‘ain ini,

“Dan hampir-hampir orang-orang kafir itu menggelincirkanmu dengan pandangan mereka.” (Al-Qalam: 51) Ibnu ‘Abbas z dan selain beliau menafsirkan ayat ini bahwa orang-orang kafir itu hendak menimpakan ‘ain kepadamu dengan pandangan mata mereka. menjelaskan tentang keberadaan ‘ain ini,rDemikian pula Rasulullah  sebagaimana disampaikan oleh putra paman beliau, ‘Abdullah bin ‘Abbas c bahwa  bersabda:rNabi
“’Ain itu benar adanya. Seandainya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, tentu akan didahului oleh ‘ain. Apabila kalian diminta untuk mandi, maka mandilah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2188, Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, 1/164-165)
Al-Imam An-Nawawi t mengatakan, hadits ini , dan tidak akan
“’Ain itu benar adanya. Seandainya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, tentu akan didahului oleh ‘ain. Apabila kalian diminta untuk mandi, maka mandilah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2188, Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, 1/164-165) Al-Imam An-Nawawi t mengatakan, hadits ini , dan tidak akanImenjelaskan bahwa segala sesuatu terjadi dengan takdir Allah  terjadi kecuali sesuai dengan apa yang telah Allah takdirkan serta didahului oleh ilmu Allah tentang kejadian tersebut. Sehingga, tidak akan terjadi bahaya ‘ain ataupun segala sesuatu yang baik maupun yang buruk kecuali dengan takdir . Dari hadits ini pula terdapat penjelasan bahwa ‘ain itu benar-benar adaIAllah  dan memiliki kekuatan untuk menimbulkan bahaya. (Syarh Shahih Muslim, 14/174)
‘Ain dapat terjadi dari pandangan yang penuh kekaguman walaupun tidak disertai perasaan dengki (hasad). Demikian pula timbulnya ‘ain itu tidak selalu dari seseorang yang jahat, bahkan bisa jadi dari orang yang menyukainya atau pun orang yang shalih. (Fathul Bari, 10/215)
Bahkan di antara para shahabat yang notabene mereka itu adalah orang-orang yang paling mulia setelah para nabi pun, terjadi ‘ain ini. Kisah tentang hal ini dituturkan oleh Abu Umamah, putra Sahl bin Hunaif z:
“‘Amir bin Rabi’ah pernah melewati Sahl bin Hunaif yang sedang mandi, lalu ia berkata, ‘Aku tidak pernah melihat seperti hari ini dan aku tak pernah melihat kulit seperti kulit wanita yang dipingit.’ Tidak berapa lama, . Orang-orang pun
‘Ain dapat terjadi dari pandangan yang penuh kekaguman walaupun tidak disertai perasaan dengki (hasad). Demikian pula timbulnya ‘ain itu tidak selalu dari seseorang yang jahat, bahkan bisa jadi dari orang yang menyukainya atau pun orang yang shalih. (Fathul Bari, 10/215) Bahkan di antara para shahabat yang notabene mereka itu adalah orang-orang yang paling mulia setelah para nabi pun, terjadi ‘ain ini. Kisah tentang hal ini dituturkan oleh Abu Umamah, putra Sahl bin Hunaif z: “‘Amir bin Rabi’ah pernah melewati Sahl bin Hunaif yang sedang mandi, lalu ia berkata, ‘Aku tidak pernah melihat seperti hari ini dan aku tak pernah melihat kulit seperti kulit wanita yang dipingit.’ Tidak berapa lama, . Orang-orang punrSahl terjatuh. Kemudian dia didatangkan ke hadapan Nabi  mengatakan kepada beliau, ‘(Wahai Rasulullah), segera  bertanya, ‘Siapa yang kalian tuduhrselamatkan Sahl, ia telah terbaring.’ Nabi  dalam hal ini?’ Mereka menjawab, ‘Amir bin Rabi’ah.’ Beliau pun berkata, ‘Atas dasar apa salah seorang di antara kalian hendak membunuh saudaranya? Apabila seseorang melihat sesuatu yang menakjubkan dari diri saudaranya, hendaknya ia mendoakan kebaikan padanya.’ Kemudian beliau meminta air dan memerintahkan ‘Amir untuk berwudhu’, maka ‘Amir pun membasuh wajahnya, kedua tangan hingga sikunya, kedua kaki hingga lututnya, serta bagian dalam sarungnya. Lalu beliau memerintahkan untuk menuangkan air itu pada Sahl.” (HR. Ibnu Majah no. 3500, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3908/4020 dan Al-Misykah no. 4562)
Tergambar pula dengan jelas dalam kisah ini, apa yang  pada seseorang yang terkena ‘ain. Demikian pula
Tergambar pula dengan jelas dalam kisah ini, apa yang  pada seseorang yang terkena ‘ain. Demikian pulardilakukan oleh Rasulullah  :rdalam perintah Rasulullah

“’Ain itu benar adanya. Seandainya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, tentu akan didahului oleh ‘ain. Apabila kalian diminta untuk mandi, maka mandilah.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar t  ini menunjukkan, apabila seseorang

“’Ain itu benar adanya. Seandainya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, tentu akan didahului oleh ‘ain. Apabila kalian diminta untuk mandi, maka mandilah.” Al-Hafidz Ibnu Hajar t  ini menunjukkan, apabila seseorangrmenerangkan bahwa perkataan Rasulullah  diketahui menimpakan ‘ain, maka ia diminta untuk mandi, dan mandi ini merupakan cara pengobatan ‘ain yang sangat bermanfaat. Dituntunkan pula bila seseorang melihat sesuatu yang mengagumkan hendaknya segera mendoakan kebaikan padanya, karena doanya itu merupakan ruqyah (pengobatan) baginya. Beliau juga menyatakan bahwa ‘ain yang menimpa seseorang dapat mengakibatkan kematian. (Fathul Bari, 10/215)
 memerintahkan
 memerintahkanrRasulullah  untuk melakukan ruqyah, yaitu pengobatan dengan Al Qur’an dan dzikir-dzikir kepada Allah, terhadap orang yang terkena ‘ain. Beliau memerintahkan hal itu pula kepada istri beliau, ‘Aisyah x:
 memerintahkannya untuk
 memerintahkannya untukr“Rasulullah  melakukan ruqyah dari ‘ain.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5738 dan Muslim no. 2195)
Begitu pula yang beliau perintahkan ketika melihat seorang anak perempuan yang terkena ‘ain pada wajahnya. Peristiwa ini dikisahkan oleh istri beliau, Ummu Salamah x:
 pernah melihat seorang anak perempuan
Begitu pula yang beliau perintahkan ketika melihat seorang anak perempuan yang terkena ‘ain pada wajahnya. Peristiwa ini dikisahkan oleh istri beliau, Ummu Salamah x: pernah melihat seorang anak perempuanr“Rasulullah  di rumah Ummu Salamah yang pada wajahnya ada kehitam-hitaman. Beliau pun berkata, ‘Ruqyahlah dia, karena dia tertimpa ‘ain’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5739 dan Muslim no. 2197)
Diceritakan pula oleh Jabir bin ‘Abdullah ketika  menyuruh agar anak-anak Ja’far bin Abu Thalib z
Diceritakan pula oleh Jabir bin ‘Abdullah ketika  menyuruh agar anak-anak Ja’far bin Abu Thalib zrRasulullah  diruqyah:

 berkata kepada Asma’ bintu ‘Umais, “Mengapa aku lihat

 berkata kepada Asma’ bintu ‘Umais, “Mengapa aku lihatrNabi  anak-anak saudaraku kurus-kurus? Apakah karena kekurangan?”. Asma’ menjawab, “Bukan, akan tetapi mereka cepat terkena ‘ain.” Beliau pun berkata, “Ruqyahlah mereka!”. Asma’ berkata: Maka aku serahkan urusan ini kepada beliau, lalu beliau pun berkata, “Ruqyahlah mereka.” (Shahih, HR. Muslim no. 2198)
Bahkan Jibril  ketika beliau sakit dengan doa:
Bahkan Jibril  ketika beliau sakit dengan doa:r pernah meruqyah Rasulullah u
“Dengan nama Allah aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitkanmu dan dari setiap jiwa atau pandangan yang dengki. Semoga Allah menyembuhkanmu, dengan nama Allah aku meruqyahmu.” (Shahih, HR. Muslim no. 2186) senantiasarRasulullah  memohon perlindungan dari ‘ain, sebagaimana dikabarkan oleh shahabat yang mulia, Abu Sa’id Al-Khudri z:
 senantiasa berlindung dari jin dan
 senantiasa berlindung dari jin danr“Rasulullah  pandangan manusia, hingga turun surat Al-Falaq dan surat An-Naas. Ketika keduanya telah turun, beliau menggunakan keduanya dan meninggalkan yang lainnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2059 dan Ibnu Majah no. 3511, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah no. 2830)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t mengatakan bahwa menjaga diri dari ‘ain boleh dilakukan dan bukan berarti meniadakan tawakkal kepada Allah. Bahkan sikap
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t mengatakan bahwa menjaga diri dari ‘ain boleh dilakukan dan bukan berarti meniadakan tawakkal kepada Allah. Bahkan sikap Idemikian ini termasuk tawakkal, karena tawakkal adalah bersandar kepada Allah  rdisertai melakukan ‘sebab’ yang diperbolehkan atau diperintahkan. Rasulullah  pun memohonkan perlindungan untuk Al-Hasan dan Al-Husain dengan doa:
“Aku memohon perlindungan bagi kalian berdua dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan dan binatang berbisa, dan dari setiap pandangan yang jahat.”
terhadap kedua putranya,
“Aku memohon perlindungan bagi kalian berdua dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan dan binatang berbisa, dan dari setiap pandangan yang jahat.” terhadap kedua putranya, uDemikian pula yang dilakukan Nabi Ibrahim  Nabi Ishaq dan Nabi Isma’il ‘alaihimus salam. (Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, 1/165-166)
Betapa ayah dan ibu akan berduka bila pandangan mata itu menimpa buah hatinya. Tentu mereka akan berusaha sekuat tenaga di atas jalan Allah dan Rasul-Nya untuk menghindarkannya, jauh sebelum ‘ain itu datang menerpa. Buah hati tercinta, semogalah selamat selamanya.
Wallahu a’lamu bish shawab.
Betapa ayah dan ibu akan berduka bila pandangan mata itu menimpa buah hatinya. Tentu mereka akan berusaha sekuat tenaga di atas jalan Allah dan Rasul-Nya untuk menghindarkannya, jauh sebelum ‘ain itu datang menerpa. Buah hati tercinta, semogalah selamat selamanya. Wallahu a’lamu bish shawab. ?Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran sumber:  www.asysyariah. com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar